Jumat, 30 November 2007

Bupati Manuk Lakukan Penipuan dan Pembohongan Publik

Bupati Manuk Lakukan Penipuan dan Pembohongan Publik

Tindakan Bupati Lembata, Andreas Duli Manuk ini benar-benar kebangetan. Frater ordo Fransiskan pun jadi korban.
Ihwal ceritanya dikisahkan kembali Frater Kristoforus Tara, OFM yang bertemu Bupati Manuk pada acara Kaul Kekal Frater baru dari ordo Fransiskan di biara Redem Torys, Yogyakarta, 12 September 2007 lalu.
Ketika acara ini selesai, Frater Kris coba membangun komunikasi dengan bupati. Awalnya, Frater Kris bertanya, “Bapak, kami dengar disini (Yogyakarta-Red) bahwa ada keterlibatan gereja, dalam hal ini para pastor untuk berjuang bersama masyarakat Lembata guna menentang rencana investasi yang digulirkan oleh pemerintah.”
Bupati menjawab, “Memang selama ini ada peran gereja dalam hal ini para pastor bersama masyarakat menghalangi-halangi program kerja kami ini.”
Frater: “Sejauhmana keterlibatan para pastor dalam persoalan ini, bapak?”
Bupati: “Mereka cukup getol dan aktif mempengaruhi masyarakat, tapi bagi saya, perlawanan ini masih terlalu dini atau di bilang premature, karena kita masih dalam tahap eksplorasi belum ada penandatanganan MoU tentang rencana eksploitasi”.
Frater: “Kapan rencana eksploitasi dilakukan?”
Bupati: “Jadi begini prosesnya: Kita masih pada tahap eksplorasi. Setelah eksplorasi selesai, kita belum maju pada tahap eksploitasi, tetapi ada satu tahap yang akan kita lalui, yaitu penelitian atau pengkajian. Hasil eksplorasi itu akan diteliti dan dikaji oleh Badan Penelitian milik perusahaan, sehingga pada kesimpulannya bahwa kandungan emas di Lembata itu bisa dilakukan eksploitasi atau tidak. Rekomendasi hasil penelitian itu juga belum final, tetapi hasil penelitian itu akan kita (pemerintah-Red) dan DPRD Lembata bahas. Hasilnya itu nanti bermuara pada kesimpulan bahwa apakah kandungan emas di Lembata layak dieksploitasi atau tidak.”
Frater: “Apakah dalam penelitian ini tidak bisa melibatkan elemen lain, seperti DPRD, LSM ataupun masyarakat, sehingga obyektifitas hasil penelitian itu bisa terjamin?”
Bupati: “Ini cukup perusahaan saja yang lakukan, karena itu menjadi kewenangan perusahaan. Toh hasilnya juga akan kita bahas bersama DPRD Lembata ko’, apanya yang mesti diragukan?”
Frater: “Bapak, kami dengar disini juga bahwa studi banding DPRD Lembata ke Buyat Minahasa itu penuh dengan ke-fiktif-an dan rekayasa belaka, karena tim STUBA tidak sampai ke lokasi tambang Minahasa. Sementara yang sampai kesana hanyalah tim STUBA dari JPIC OFM yang selama ini mengadvokasi masyarakat?”
Bupati: “Itu bohong. Tidak benar yang disampaikan itu, karena tim STUBA-nya JPIC OFM itu tanggal 8 September 2007 sudah meninggalkan lokasi tambang Minahasa. Sementara tim dari DPRD Lembata tanggal 9 September 2007 baru sampai ke lokasi. Jadi tim STUBA JPIC OFM itu sudah pulang baru tim STUBA DPRD sampai lokasi?”
Frater: “Sikap terakhir bapak atas ulah dan keterlibatan para pastor ini, bagaimana?”
Bupati: “Saya sangat marah dengan ulah mereka. Mereka telah membuat masyarakat resah dan terkotak-kotak dalam kubu pro dan kontra. Saya minta kepada mereka untuk tidak menciptakan konflik dan polemik berkepanjangan”.

Bohong
Sementara itu, Pater Mikhael Pruhe,OFM pimpinan STUBA JPIC OFM, yang dimintai keterangannya atas pernyataan Bupati Manuk, menyesalkan pernyataan Bupati Manuk. “Pernyataan yang disampaikan bupati itu penuh dengan tipuan dan kebohongan belaka. Saya katakan bahwa bupati Lembata telah melakukan penipuan dan pembohongan publik. Dia menipu dan membohongi para Frater yang barusan mengucapkan kaul kekal dan masyarakat Lembata serta publik pada umumnya. Saya katakan bahwa tim kami sampai di lokasi tanggal 3 September 2007. Setelah sampai di lokasi saya menanyakan kepada masyarakat lokasi tambang Buyat dan unsur pemerintah serta DPRD setempat, apa kemarin dulu ada tim Studi Banding dari Lembata yang datang kesini? Mereka semua mengatakan bahwa tidak pernah ada orang dari Lembata yang datang ke sini untuk melakukan studi banding. Padahal jadwal STUBA-nya DPRD Lembata adalah dari tanggal 2-12 Agustus 2007,” tegas Pater Mikhael.
Lebih lanjut Pater Mikael mengatakan, “Pemerintah Lembata bersama DPRD Lembata telah menipu rakyatnya sendiri, karena STUBA yang dilakukan itu penuh dengan kebohongan dan kepalsuan belaka, karena tim STUBA DPRD pada dasarnya mereka tidak sampai ke lokasi, lalu mereka kemana pada saat itu? Hanya Tuhan dan Lewotanahlah yang mengetahui dan membalas semua kebohongan mereka”.
Menyinggung pernyataan bupati bahwa kelompok pro dan kontra dalam masyarakat timbul karena ulah dan aktifitas para pastor dan kelompok LSM peduli advokasi lainnya, Pater Mikael menambahkan, “Pemerintah sedang mengkambinghitamkan kami. Apa mereka tidak sadar bahwa masyarakat terpolarisasi dalam kubu pro-kontra itu bukankah karena disebabkan oleh ambisi binatang mereka dalam menggulirkan rencana investasi tambang? Jadi tolong jangan fitnah yang bukan-bukanlah. Kita buktikan saja siapa yang menurut Tuhan dan Lewotanah berjuang dengan tulus untuk kebaikan Lewotanah Lembata, mereka ataukah kami bersama masyarakat?” (*/sinar uyelindo)

Semalam Disel, Imran Tegar Tolak Tambang

Semalam Disel, Imran Tegar Tolak Tambang

Ini baru pejuang namanya. Kendati sempat dijebloskan ke ruang tahanan polisi, Imran Husein, Ketua Mahasiswa Uyelewun (MAWU) Kupang, menyatakan tetap bersikukuh berjuang menolak tambang Lembata. “Tekad saya dan kawan-kawan sudah bulat, terus berjuang menolak rencana tambang di Lembata. Bagi saya, Lembata sudah di ujung kehancuran atas rencana ini. Dosa dan kesalahan pemerintah Lembata ini sudah tidak bisa ditolerir lagi. Sehingga menempatkan mereka pada titik yang tidak berdaya lagi. Sehingga untuk apa lagi mempertahankan pemerintahan seperti ini,” tandasnya.
Lebih jauh, dia mengharapkan agar segenap komponen rakyat Lembata segera bangkit dari ketaksadaran untuk melihat kondisi riil daerah dan pemerintahannya. “Jika kita harus menunggu pemerintahan ini berakhir secara konstitusional, maka jangka waktu yang terlalu lama. Kita akan terus diintimidasi. Maka tawaran saya, revolusi harus segera digulirkan di bumi Lembata,” tegas Imran berapi-api.
Dikisahkan bahwa dirinya “diamankan” polisi pasca aksi damai tolak tambang di Bean, 19 November 2007. Berikut petikan penuturan Imran seputar “pengamanan” dirinya oleh aparat kepolisian:
Saat berjalan pulang dari Bean, saya tidak tahu kalau terjadi insiden massa dengan Sulaiman Syarif. Ketika itu, banyak batu dan kayu di sepanjang ruas jalan. Saya pikir aksi tolak tambang sudah selesai, sehingga saya bergabung dengan rombongan wakil bupati untuk kembali.
Tiba-tiba Sulaiman Syarif meneriakkan massanya untuk tidak membiarkan saya pergi. Dia perintahkan massanya untuk menahan saya. Saya dipukul dua kali. HP dan jaket saya jatuh.
Lalu, Sulaiman mengancam akan membunuh saya. Tangan kirinya memegang kerah baju saya, dan di tangan kanannya dia pegang parang sepada panjang. Dia seret saya ke pinggir jalan.
Polisi yang mengawal wakil bupati berlari mendekati kami dan langsung mengamankan saya. Selanjutnya, saya dibawa ke Polsek Buyasuri, dan dimasukkan ke sel.
Sekitar 30 menit kemudian, saya dikeluarkan lagi. Ketika itu, massa Sulaiman Syarif memadati Polsek dan meminta agar saya dikeluarkan untuk diadili. Akhirnya, polisi melakukan pengawalan ketat, membawa saya keluar, dan saya dinaikkan ke motor untuk diberangkatkan ke Polsek Omesuri. Tapi, sebelum naik sepeda motor, saya dipukul di bagian belakang kepala sebanyak dua kali.
Dua orang polisi mengawal saya ke Balauring, dan dijemput Kapolsek Omesuri di Buriwutung dengan menggunakan mobil patroli. Sampai di Balauring, saya langsung dijebloskan ke sel sejak pukul 19.30. Tapi malam itu, Kapolres telepon meminta saya diantar ke Polres Lembata di Lewoleba. Akhirnya, pukul 22.00 malam saya dikeluarkan dari sel dan diantar Kapolsek Omesuri dan anak buahnya ke Polres Lembata di Lewoleba.
Kami tiba di Polres sekitar pukul 00.30 Witeng. Hanya polisi piket yang ada di Polres, sehingga saya langsung dijebloskan ke ruang tahanan.
Esok pagi sekitar pukul 08.00, saya dipanggil menghadap Kapolres. Ketika itu, Kapolres ditemani Kasat Intel dan Kasat Reskrim. Mereka menjelaskan kepada saya bahwa saya tidak ditahan, tapi hanya diamankan. Setelah itu, pukul 09.00, saya dibebaskan. Namun dikenakan wajib lapor. Tapi, saya tidak mau, karena saya merasa bukan tahanan polisi.
Dan, saya juga sudah melaporkan tindakan penganiayaan dan rencana pembunuhan yang dilakukan Sulaiman Syarif dan massanya terhadap saya. Laporan ini langsung disampaikan ke Polres Lembata di Lewoleba.
Sementara itu, Sekretaris Baraksatu, Anton Leumara men­desak Polres Lembata untuk mengusut tuntas laporan Imran Husein.
Dia juga mengingatkan aparat pemerintah di Kecamatan Omesuri dan Buyasuri agar tidak menjadi spionase investor dan antek-anteknya di Pemkab Lembata. “PNS itu pegawai negeri sipil, yang digaji dengan uang rakyat, bukan uang penguasa atau investor. Tugas PNS adalah melayani rakyat bukan menginteli rakyat. Sangat memalukan kalau PNS justru jadi provokator,” tandasnya.
Anton Leumara menangkap indikasi adanya oknum-oknum pejabat yang sengaja memperkeruh keadaan di Kedang. “Buktinya, ada oknum PNS yang sibuk masuk keluar kampung mencari orang untuk mendukung tambang dengan tawaran sepeda motor megapro, HP camera dan uang Rp 2 juta per bulan. Ini jelas-jelas tindakan provokatif,” tegas dia, sembari mengingatkan Bupati Manuk agar tidak memutarbalikkan fakta seolah-olah aktifis tolak tambang yang memprovokasi masyarakat. (*/sinar uyelindo)

Kamis, 29 November 2007

Biarawati Dimarahi Istri Bupati Manuk

Insiden Bandara Wunopito
Biarawati Dimarahi Istri Bupati Manuk

Entah setan apa yang merasuk, Ny. Margareta Manuk, istri Drs. Andreas Duli Manuk --Bupati Lembata, tak kuasa menahan emosinya. Biarawati SSpS pun jadi korban. Dihardik, dimarahi di depan umum. Persis di ruang tunggu Bandar Udara Wunopito, Lewoleba, Lembata. Duh!

Sejumlah calon penumpang dan penghantar di ruang tunggu Bandar Udara Wunopito Lewoleba, Senin (1/10/2007), benar-benar terpana. Suasana santai menanti keberangkatan pesawat Trans Nusa Trigana Air tujuan Kupang berubah tegang. Antrean penumpang yang berarak menuju pintu keluar ke arah pesawat dibikin tertegun. Bagaimana tidak? Istri orang nomor satu di Lembata, Ny. Margareta Manuk bersama segerombolan lelaki bertubuh kekar dan berpakaian serba hitam tiba-tiba masuk ke ruang tunggu dengan raut wajah yang tegang.
Ini memang pemandangan yang tidak lazim. Biasanya, Ny Reta Manuk turun dari pesawat langsung menuju ruang VIP. Tapi, kali ini benar-benar unik. Ketika turun dari pintu pesawat, Ny Reta Manuk langsung menuju ruang tunggu penumpang umum.
“Mana suster”, “Mana suster”, “Mana suster...,” teriak Ny. Reta Manuk seolah-olah sudah tahu kalau Suster Hironima sedang berada di ruang tunggu.
Begitu melihat suster, Ny. Reta langsung menohok dengan nada suara tinggi. “Suster yang sms ya?” teriak Ny Reta tanpa tedeng aling-aling.
Sontak saja, semua calon penumpang Trans Nusa tujuan Kupang terkejut. Sebagian penumpang dan pengantar tampak menggeleng-gelengkan kepala. Mereka sama sekali tak menyangka, kalau tokoh perempuan yang setia mendampingi orang nomor satu Lembata itu bisa bertindak demikian. “A... kenapa bisa begitu,” ketus sejumlah tanpa berani menghentikan tindakan Ny Reta Manuk.
Tapi, Suster Hironima tampak tenang. “Ya, saya yang sms,” ujarnya dengan suara pelan sembari memperhatikan Ny Reta dengan seksama. Ny Reta langsung menyergap, “Suster jangan begitu”. “Suster jangan begitu,” katanya berulangkali.
Ia langsung menimpali dengan banggga, “Supaya suster tahu, saya sudah enam tahun membangun Lembata ini”.
Masih dengan sikap tenang, Suster Hironima menjawab, “Kalau saya salah, minta maaf.”
Pastor Jhon yang berada persis disamping Suster Hironima berusaha menengahi. “Ibu, harus bicara baik-baik. Mereka ini membawa suara kenabian,” ujar Pastor Jhon.
Tapi, Ny. Reta malah menghardiknya. “Kau jangan campur,” tohok Ny Reta. Entah ia tahu atau tidak, kalau yang bicara adalah seorang rohaniawan Katolik.
Ny Reta Manuk terus mengoceh. Dan... “Ibu minta maaf, pesawat mau berangkat... jadi saya jalan dulu,” ujar Suster Hironima sembari meninggalkan Ny. Reta dan rombongannya.

Jumpa Pers
Sepekan kemudian, Minggu (7/10/07), Ny. Reta Manuk menggelar jumpa pers di kediamannya. Ini merupakan reaksi atas jumpa pers Suster Hironima di Sekretarait Lembata Center, yang juga dihadiri P. Vande Raring SVD, Ketua KPRL Lembata, Yohanes Boro serta beberapa masyarakat yang bersimpati terhadap insiden Wunopito.
“Susterlah yang pertama sekali mengirim SMS ke nomor saya. Waktu itu, saya berada di Denpasar, dan Bapak (Ande Manuk) masih berada di Jakarta. Jadi itu omong kosong. Suster jangan putar bale,” ungkap Ny Reta dalam dialek Nagi yang kental.
Dikatakan, sms pertama suster tertanggal 27 September 2007 pukul 12:05. Isinya: “Maaf ya kami tidak akan menjual tanah kami.” Disusul lagi dengan sms kedua pada pukul 19:34.
Ny Reta menegaskan bahwa dirinya tidak punya urusan dengan Suster Hironima, apalagi menyangkut tambang. “Saya mau tanya, dia punya tanah dimana? Dia punya orang tua punya tanah dimana? Bapak (Ande Manuk—Red) sudah pernah jual dia punya tanah dimana?” tandasnya, seraya menyambung, “Suster juga suruh kami berdoa agar tidak dimukahi Tuhan dan Lewotana. Apa maksudnya? Koq, dia bisa suruh kami berdoa? Jadi dia pikir saya punya anak mati itu karena dimurkahi Tuhan? Saya sementara susah dengan anak saya. Jadi jangan ganggu otak saya.”
Toh begitu, Ny Reta mengakui adanya insiden Wunopito. Dikatakan, dirinya sempat meminta Wabup Andreas Nula Liliweri untuk mempersiapkan pertemuan dirinya dengan suster Hironima. “Jadi waktu saya marah, saya bilang suster saya menghargai atribut yang kau pake itu tetapi kau punya hati busuk. Kenapa campur aduk sampe laki-laki punya urusan. Kita ini urus perempuan-perempuan. Saya ini urus perempuan orang Lembata,” ungkap Ny Reta menirukan ucapannya di Bandara Wunopito.
Ny Reta menilai biarawati tak sepantasnya mengirim sms demikian. “Memang tidak pantas dia sms seperti itu kepada saya, karena ini laki-laki punya urusan, menyangkut pertambangan. Saya tidak suka orang bicara sembarangan. Saya punya kemauan baik untuk membangun Lembata. Membangun perempuan-perempuan Lembata. Saya ini urus perempuan-perempuan Lembata. Dia jangan campur terlalu jauh. Ini urusan laki-laki. Perempuan itu urus perempuan,” ungkap istri orang nomor satu Lembata ini.
Uniknya, ketika disodor pertanyaan seputar tambang, Ny. Reta Manuk menuturkan, “Kita ini mau dapat uang dari mana untuk membangun Lembata kalau bukan dari investor. Barang dalam tanah (baca: tambang) itu orang mau kasih keluar supaya bisa menopang kita punya hidup ka...!”
Jumpa pers di kediaman pribadi Bupati Manuk bagai pasar ikan. Pasalnya, para “pengawal” rumah pun ikut-ikutan memberikan penjelasan yang sebenarnya sudah disampaikan Ny Reta Manuk. Tak cuma itu, beberapa wanita yang bertugas sebagai juru masak pun ikut memberi penjelasan. Padahal, jumpa pers itu dihadiri pula Kabag Humas Setda Lembata, Ambrosius Lein. (tabloid demos)

Warga Tolak Caretaker Kades Dikasare

Warga Tolak Caretaker Kades Dikasare

Ratusan warga Desa Dikesare tak kuasa menyembukan kekesalannya atas sikap Bupati Lembata yang memberhentikan kadesnya, Rafael Suban Ikun. Kontan saja, mereka segera menghimpun diri dan memper­siapkan aksi unjukrasa ke kantor camat Lebatukan dan kantor Bupati Lembata. Ijin dari Polres Lembata pun sudah dikantongi.
Sayangnya, ketika tengah menanti hari “H” beraksi, Wabup Lembata, Drs. Andreas Nula Liliewerr mengirim staf Kesbang­lin­mas, Markus Lela Udak untuk “merayu” massa agar tidak me­lancarkan aksi. Wabup bah­kan menyanggupi untuk menerima utusan warga di ruang kerjanya.
Sikap kompromis ini disambut hangat warga desa, kendati dalam suasana batin yang was-was. Lima orang utusan warga Desa Dikesare pun dikirim menemui Wabup Liliweri, Senin (11/11). Tanpa kompromi mereka langsung menuntut agar Pemerintah Kabupaten Lembata menarik kembali Surat Keputus­an (SK) Bupati Lembata tentang Pemberhentian Kepala Desa Dikesare Kecamatan Lebatukan. Menurut warga, pemberhentian itu tidak sesuai prosedur dan membingungkan.
Lima utusan itu adalah Fran­sis­­ko Making, Emanuel Ma­king (ketua BPD), Batolo­me­us Bos, Fidelis Kewa­man, dan Yohanes Vianye. Hadir dalam pertemuan itu Kepala Bagian Pemerintah Desa Wilem Sogen, Kepala Bagian Tata Pemerintah Setda Lembata, Said Kopong, Asisten II Setda Lembata, Lukas Witak dan beberapa pejabat lain, termasuk Kasat Intel Polres Lembata, Iptu Jamaludin.
Koordinator utusan warga Desa Dikesare, Fransisko Making mengatakan, kehadiran mereka untuk meminta klarifikasi soal pemberhentian Kepala Desa Dikesare. Mereka mena­nyakan dasar atau alasan dikeluarkan SK pemberhentian itu. Mereka juga minta Bupati Lembata Andreas Duli Manuk menarik kem­bali SK pem­ber­hentian itu. Masyarakat Dikesare, kata dia, juga minta supaya Kepala Desa Dikesare Rafel Suban Ikun yang ter­pilih untuk ke­dua kalinya itu segera dilantik.
Wakil Bu­pati Lembata Andreas Nula Liliweri dan Ke­pala Bagian Pe­merintah De­sa, Wilem Sogen men­­jelaskan usul­an Pe­ja­bat Caretaker ke­pala desa itu sebe­nar­­nya atas usulan BPD. Na­mun hal itu tidak dilakukan oleh Badan Per­wa­kilan Desa (BPD) se­hing­ga Peme­rintah Dae­rah menge­luar­kan SK pember­hen­tian Ke­pa­la Desa Dikesa­re dan me­­nunjuk Ca­­reta­ker Pe­jabat Ke­pala Desa Di­ke­­sa­re, yakni Ma­­king Gre­go­rius (Se­kretaris Keca­matan Lebatu­kan). Wakil Bupati Lembata menga­ta­kan SK itu dikeluar­kan karena masa jabatan Ke­pala Desa Dikesare Ra­fel Suban Ikun sudah ber­akhir 20 Juni 2007­. Hal yang sama di­sam­paikan Asisten II Setda Lem­bata, Lukas Lipat­aman Witak.
Ini benar-benar membi­ngung­kan. Pasalnya, Ke­tua BPD Dikesare, Ema­nuel Making mengatakan sebelum pemilihan kepala desa ia sebagai ketua BPD sudah berkonsultasi de­ng­an seksi tata pemerin­tahan Keca­matan Leba­tu­kan soal pejabat kepala de­sa. Na­mun, ketika itu, ke­pala tata pemerintahan menga­takan tidak menjadi soal dan pejabat kepala desa itu hanya formalitas saja.
Berdasarkan hasil konsultasi itu maka mereka tidak atau mengusulkan pejabat kepala desa dan proses pemilihan kepala desa berjalan dengan aman dan demokratis. “Mana yang kami pegang, orang kecamatan omong lain, peme­rintah kabupaten omong lain. Setahu saya pemerintah keca­matan itu perpan­jangan tangan pemerintah kabupaten,” tandasnya.
Emanuel Making juga menga­­takan kalau hanya alasan masa jabatan kepala desa Dikesare sudah berakhir 20 Juni 2007, mengapa hanya dia saja yang mendapat SK Pemberhen­tian, sementara banyak kepala desa di Kecamatan Lebatukan yang masa jabatannya juga sudah berakhir tapi tidak diber­hentikan. Bahkan ada pemilihan kepala desa lebih dahulu dari pemilihan kepala desa Dikesare.
Kontan saja, situasi mulai tegang. Wabup dan Asisten II yang mulai terpojok tampak berusaha membangun argu­mentasi pembelaan diri. Wabup Liliweri beralasan bahwa selain karena alasan masa jabatan berakhir, juga ada laporan dari masyarakat terkait perilaku Kepala Desa Dikesare. Akan tetapi, Fransisko Making lang­sung menohok bahwa bagi mereka tidak ada masalah kalau hanya laporan dari Usman Gega (calon Kepala Desa yang kalah). Bahkan, soal “ulah” Usman, mereka sendiri sudah mengha­dap pihak kecamatan Lebatukan untuk klarifikasi. Namun saat itu Usman Gega tidak hadir. Dia bahkan menilai laporan Usman Gega salah alamat, karena seharusnya pengaduan itu disampaikan kepada panitia pemilihan kepala desa bukan ke kecamatan atau ke kabupaten.
Liliweri tak habis akal, ia langsung menepis. Diakui bahwa pengaduan Usman memang salah alamat. Menurut dia, laporan yang dimaksud bukan dari Usman Gega, tetapi masya­rakat lainnya. Sayangnya, ia tidak menjelaskan siapa yang melapor­kan Kades Ikun ke pemerintah kabupaten.
Asisiten II Setda Lembata Lukas Witak bahkan memperte­gas ucapan Wabup. Dikatakan, laporan yang disampaikan menyangkut korupsi yang dila­kukan oleh Kades Dikesare. “Kalau omong ten­tang korupsi kita punya telinga ini berdiri se­mua,” ujarnya. Terus?
Sabar dulu. Fransisko Making balik meng­ingatkan bahwa pada tanggal 19 Juli 2007, Ba­dan Pengawas (Banwas) Lembata sudah mela­kukan pemeriksaan terhadap Kades dan seluruh staf desa. Hasilnya, Banwas menya­takan tidak menemukan adanya indikasi tindakan korupsi.
Tak ayal lagi, ini menyulut emosi Wabup. De­ngan nada suara keras, Wabup meminta Making menyebutkan atau menjelaskan jenis-jenis pemerik­saan. Namun dengan santai Making mengatakan, “Saya tidak tahu.”
“Kau stop omong itu,” tohok Lukas Witak. Sua­sana pertemu­an makin panas. Witak mene­gas­kan bahwa pemberhentian Kades Dikesare guna memper­lancar proses admnistrasi. Dikatakan, desa akan mengalami kesulitan kalau Pemerintah Desa Dikesare mengurus administrasi, misalnya tentang keuangan desa. “Uang desa tidak mungkin bisa dicairkan kalau ditandata­ngani Rafel Suban Ikun karena masa jabatannya sudah berakhir. Karena itu perlu ditunjuk seorang pejabat kepala desa sebe­lum kepala desa terpilih dilantik,” kata Lukas Witak.
Tapi, Ketua BPD Dikesare, Emanuel Ma­king balik menyergap bahwa tanpa Dana Alokasi De­sa (ADD) mereka tetap bisa hidup. Ya, “kami te­tap bisa hidup tanpa ADD,” tandasnya.
Emanuel Making juga mengatakan mereka tetap tidak menerima pejabat kepala desa yang ditunjuk bupati. Kalau pemerintah tetap tidak mau maka mereka mengancam akan melantik sen­diri kepala desa yang mereka pilih secara demo­kratis. Pernyataan Emanuel Making ini mem­buat beberapa peja­bat emosi dan minta menarik kembali pernya­taannya.
Suasana pertemuan selama kurang lebih dua jam ini tegang. Lima utusan warga desa Dikesare itu tidak terima penjelasan pemerintah karena itu meraka minta supaya Wabup dan jajarannya bisa menjelaskan sendiri kepada masyarakat Dike­sare.
Semua permintaan masyarakat itu tidak ter­penuhi. Utusan diminta menjelaskan ke masya­rakat. Emanuel making dan Fransisko Making mengatakan mereka tidak puas dengan penje­lasan pemerintah.
Asal tahu saja, pasal 35 Perda Lembata Nomor 5 Tahun 2006, menyebutkan, “Kepala Desa diberhentikan sementara oleh Bupati tanpa melalui usulan BPD karena berstatus sebagai tersangka karena melakukan tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar dan atau tindak pidana terhadap keamanan negara.”Sejauh ini, Rafael Suban Ikun tidak per­nah dikenakan status sebagai ter­sangka. Pun, BPD sama sekali tak pernah mengusul­kan pember­hentian­nya. Karena itu, mereka menilai keluar­nya SK pem­berhentian sebagai tindakan sewe­nang-wenang yang melecehkan demo­krasi di desa.(fredy wahon/hu flores pos)

"Civil Society" di Lembata

"Civil Society" di Lembata
Oleh Fredy Wahon

ADEGAN sidang paripurna DPRD Lembata membahas draf rekomendasi tentang pertambangan tembaga dan emas di Kabupaten Lembata oleh PT Merukh enterprise ricuh. Suasana sidang yang dipimpin Frans Making, BA itu sejak awal memang sudah tegang. Maklum, sejak sidang dibuka, anggota Dewan dari PSI, Ahmad Bumi, SH langsung melakukan interupsi. Dia menilai Dewan tidak perlu mengeluarkan rekomendasi. Tapi, sidang jalan terus. Dan... Ahmad Bumi pun terus melakukan interupsi. Ujung-ujungnya, Bumi marah, dan keluar ruang sidang.
Hampir semua orang Lembata memang sudah memprediksikan bahwa Dewan akan memutuskan untuk merekomendasikan mendukung langkah Pemerintah Kabupaten Lembata memperjuangkan investasi tambang oleh PT Merukh Enterprise. Ini terutama dilatari oleh sikap Dewan yang memandang seluruh upaya masyarakat untuk menyampaikan aspirasinya berkaitan dengan rencana tambang sebagai langkah politik para lawan politik. Hal yang sesungguhnya telah menegasikan peran civil society dalam kehidupan pembangunan.
Ada juga anggota Dewan yang nekad membujuk aktivis dan kalangan pers untuk mendukung rencana investasi tambang agar bisa mendapatkan proyek pemerintah. Suatu sikap yang sungguh memalukan!
Dan, saya juga memperoleh informasi bahwa ada oknum-oknum yang memainkan peran sebagai agen pemerintah untuk memata-matai aktor-aktor yang berperan dalam proses penguatan civil society. Sejumlah pejabat pemerintah dan politisi di Dewan bahkan secara terang-terangan menyerang aktivis LSM dan kalangan rohaniwan sebagai biang kerok penolakan masyarakat terhadap rencana investasi tambang. Sebuah tindakan yang sesungguhnya memamerkan keterasingan elite birokrasi dan politisi kita dari informasi pembangunan berkelanjutan.
Realitas kehidupan politik di Nusa Lembata kian hari, kian irasional. Upaya masyarakat untuk mendesakkan perubahan dianggap sebagai bentuk perlawanan untuk menggulingkan pemerintahan yang sah. Hal yang persis sama dengan pola pemerintahan rezim Orde Baru. Kecenderungan politik ke arah tirani mayoritas dipertontonkan secara kasat mata.
Karena itu, bagi saya, penguatan civil society merupakan hal yang patut dilakukan dalam proses mendorong konsolidasi demokrasi. Revitalisasi konsep dan penguatan gerakan masyarakat madani (civil society) hendaknya kembali dilakukan secara serius dan terarah sebagai alternatif utama bagi pembentukan kondisi transisi menuju demokrasi.
Upaya penguatan civil society ini dilakukan agar masyarakat dapat mandiri dan bebas dari intervensi berlebihan dari negara serta dapat ikut serta dalam melakukan kontrol terhadap negara (state) yang umumnya otoriter sementara masyarakat politik (political society) tidak berdaya menjalankan fungsinya secara efektif. Dalam kondisi ini muncul pula sebuah dilema, yakni antara keterlibatan negara dalam mengatur urusan-urusan masyarakat/rakyat dengan keinginan agar masyarakat mandiri dalam mengatur urusan-urusan mereka sendiri.
Istilah civil society yang pertama kali dikemukakan oleh Cicero dalam filsafat politiknya dengan istilah societies civilis sampai kini mengalami perkembangan pengertian. Kalau Cicero memahaminya identik dengan negara, maka istilah ini kini dipahami sebagai organisasi-organisasi masyarakat yang terutama bercirikan kesukarelaan dan kemandirian yang tinggi berhadapan dengan negara, serta keterikatan dengan norma-norma atau nilai-nilai hukum yang diikuti oleh warganya.
Pengertian ini sesuai dengan definisi yang diberikan antara lain oleh Jean L Cohen dan Andrew Arato, Alfred Stepan dan Alexis de Tocqueville. Tentu saja aktualisasi civil society ini bisa berbeda, sesuai dengan struktur dan budaya masyarakat masing-masing. Aktualisasi ini juga terkait dengan kondisi politik dan perubahan di masing-masing daerah.
Saya sepakat dengan Dr. Masykuri Abdillah, Direktur Institute for the Study and Advancement of Civil Society (ISACS) Jakarta, bahwa pemberdayaan atau penguatan civil society perlu ditekankan pada empat peran. Pertama, pengembangan masyarakat melalui upaya peningkatan pendapatan dan pendidikan. Fungsi ini mencakup pula peningkatan kesadaran nilai-nilai sosial dan hukum masyarakat serta melakukan social engeneering (rekayasa sosial) dalam kerangka transformasi budaya yang kondusif bagi demokrasi. Memang hal ini sudah dilakukan banyak ormas dan LSM, meski belum optimal karena terbatasnya sumber daya manusia (SDM) dan dana.
Sejalan dengan fungsi ini, perlu diselenggarakan pula pendidikan kewarganegaraan (civic education) agar warga negara benar-benar mengetahui hak dan kewajibannya serta menghormati nilai-nilai sosial dan hukum yang berlaku. Semasa Orba memang ada Pendidikan Moral Pancasila (PMP) yang masuk dalam kurikulum pendidikan nasional serta penataran P-4 yang bisa dianggap sebagai civic education, tetapi sayangnya materi dan metode pembelajarannya sangat dipengaruhi oleh politik Orba, sehingga kegiatan-kegiatan ini hanya merupakan indoktrinasi politik Orba kepada rakyat.
Kedua, advokasi bagi masyarakat yang "teraniaya", yang tak berdaya membela hak-hak dan kepentingan mereka, seperti masyarakat yang terkena penggusuran. Advokasi diperlukan terutama dalam kondisi dimana penegak hukum belum sepenuhnya mampu mengatasi persoalan hukum yang terjadi dalam masyarakat, baik karena masih kurangnya jumlah (kuantitas) aparat maupun karena kualitas dan komitmen mereka yang masih rendah. Fungsi ini bisa berbentuk keterlibatan organisasi-organisasi sosial dan LSM tertentu dalam proses hukum maupun hanya sebagai perantara antara masyarakat dengan lembaga-lembaga advokasi.
Ketiga, kontrol terhadap negara dengan mengkritiki kebijakan-kebijakan publik yang tidak sesuai dengan aspirasi dan kepentingan umum, atau mengkritisi penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan pemerintah dan lembaga-lembaga negara lainnya.
Kontrol yang dilakukan political society seringkali tidak obyektif karena atas pertimbangan politis untuk kepentingan kelompoknya. Dengan demikian, fungsi kontrol yang dilakukan civil society ini masih tetap diperlukan, meski bersifat komplementer bagi fungsi kontrol yang dilakukan parlemen dan political society. Demikian pula, civil society juga tetap diharapkan melakukan kontrol terhadap kinerja parlemen sebagai tempat utama mangkalnya political society.
Keempat, menjadi kelompok kepentingan (interest group) atau kelompok penekan (pressure group), dengan ikut terlibat memberikan in-put dalam proses pengambilan kebijakan publik.
Dengan pelaksanaan peran-peran tersebut, pemberdayaan civil society tidak selamanya berarti memposisikannya berhadapan dengan negara. Sebaliknya juga bisa menjadi mitra negara dalam melakukan berbagai kegiatan kemasyarakatan. Di samping itu, penguatan civil society ini tidak berarti menyerahkan semua persoalan masyarakat diurus mereka sendiri tanpa keterlibatan negara sama sekali.
Nah, di tengah “kemandulan” lembaga politik di Lembata, penguatan civil society merupakan tuntutan kebutuhan yang tidak terelakan. Mari, segenap elemen yang berminat dan punya perhatian pada masyarakat madani untuk bersatu padu melakukan penguatan civil society di tanah Lembata. Tentu, dengan cara, pola dan peran masing-masing. Semoga! (*)