Sabtu, 19 April 2008

BOROK "DUKUN" DAK 2007 LEMBATA TERKUAK

LEWOLEBA--Sepandai-pandainya tupai melompat, sekali kelak jatuh jua. Pepatah klasik itu tampaknya cocok untuk melukiskan ulah oknum pejabat di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dikbud) Kabupaten Lembata, yang disebut-sebut sebagai Dukun Dana Alokasi Khusus (DAK) Tahun Anggaran 2007. Bagaimana tidak? Di hadapan Pansus DAK 2007 DPRD Lembata, sejumlah Kepala Sekolah penerima DAK 2007 mengakui ulah sang Dukun.
Para Kepala Sekolah itu menjelaskan bahwa mereka diintervensi oleh Mikael Bala, sang Dukun DAK, untuk membatalkan kontrak kerjasama dengan rekanan CV Kupang Indah dan membuat kontrak kerjasama baru dengan rekanan yang lain. Mereka bahkan mengaku diancam tidak akan dapat bantuan lagi, jika coba-coba membangkang terhadap perintahnya. Uniknya, sang Dukun yang menyiapkan dokumen kontrak. Padahal, rekanan yang direkomendasikan itu sama sekali tak pernah menunjukkan batang hidungnya di sekolah.
Kalangan DPRD Lembata bertekad untuk menyingkap mafia proyek di lingkup Dinas Dikbud Lembata tersebut. Disinyalir, sang Dukun punya andil besar dalam praktek berbau KKN tersebut.
Yang menarik, sang Dukun tengah membangun rumah megah di kawasan Pada, Kecamatan Nubatukan. Dia juga dikabarkan membeli sebuah rumah dengan pekarangan yang cukup. Sejumlah pejabat di Lembata memang terheran-heran melihat rejeki yang diperoleh sang Dukun. Adakah sangkut pautnya dengan proyek DAK 2007? Tidak ada yang tahu persis. Namun diperkirakan dari gajinya sebagai pegawai negeri sipil eselon III, kecil kemungkinan untuk memiliki harta demikian banyak. Apalagi, saat yang hampir bersamaan, sang Dukun membeli sebuah mobil yang tergolong mewah di Pulau Lembata.
Upaya untuk mendapatkan konfirmasi dari sang Dukun, sampai saat ini belum berhasil. Dikabarkan, Mikael Bala sedang melakukan perjalanan dinas keluar daerah. (eli/fre)

PANSUS JOBER OMONG KOSONG

LEWOLEBA--Tekad DPRD Lembata untuk menguak keanehan pengelolaan pembangunan mega proyek Joint Bersama (Jober) Bahan Bakar Minyak (BBM) ternyata cuma isapan jempol. Setelah membentuk Panitia Khusus (Pansus) yang dipimpin Frans Making, BA (Fraksi Partai Golkar), sampai tidak kelihatan beraktifitas. Pansus hanya sekali melakukan pemeriksaan terhadap Kabag Ekonomi Setda Lembata, Longginus Lega, SE dan panitia tender dan Pengawas Teknis Pemerintah (PTP).
Sebelumnya, mereka sangat getol mempersoalkan pelaksanaan megaproyek tersebut. Disinyalir, diamnya Pansus Jober karena ada "main mata" antara anggota Pansus dengan rekanan pelaksana proyek PT Djasa Uber Sakti. Wartawan yang sehari-hari meliput kegiatan DPRD Lembata sama sekali tidak melihat adanya aktifitas Pansus Jober. Mereka hanya menyaksikan Pansus dana DAK 2007 dan Pansus Pabrik Es. Dua Pansus ini terlihat cukup gencar memburu -para pelaku kecurangan dalam pengelolaan kedua tersebut. (fre)

Senin, 07 April 2008

SIFLAN ANGI: Pilkada Sikka Akan Melahirkan Pemimpin Ilegal


Penyelenggaraan Pilkada Sikka saat ini telah sampai pada tahapan kampanye. Tetapi sejauh ini, ada kelompok yang tidak puas dan masih terus berupaya mencari kebenaran. Malah Panitia Pengawas (Panwas) Pilkada Sikka pun telah merekomendasikan kepada KPU Pusat agar menghentikan proses yang sedang berlangsung dan mengambilalih kegiatan ini. Apa akar persoalan yang memicu ketidakpuasan tersebut?
Berikut ini petikan wawancara wartawan DEMOS NTT, J.K. Fery Soge dengan anggota DPRD Sikka, Siflan Angi di Maumere, Rabu (2/4/2008). Dengan gaya lugas dan tanpa tedeng aling-aling, Siflan Angi menyoroti masalah-masalah pokok seputar pelaksanaan Pilkada yang disebutnya ilegal.


Proses Pilkada Sikka ini nampaknya akan berjalan terus walau ada rekomendasi dari Panwas agar dihentikan. Bagaimana pendapat Anda?
Pilkada Sikka yang sedang berlangsung ini adalah Pilkada ilegal. Karena apa? Karena proses ini tidak berjalan sesuai aturan dan penyelenggara--dalam hal ini KPUD Sikka tidak netral.

Bisa jelaskan lebih rinci?
Hemat saya, saat KPUD mulai berperan sebagai penyelenggara Pilkada Sikka, mereka harus netral dan independen. Artinya, mereka tidak memihak kepada paket calon mana pun, dan tidak berpikir untuk kepentingan siapa pun. Pada proses verifikasi tahap pertama, KPUD telah melakukan kesalahan fatal. Karena apa? Mereka dengan serta-merta langsung menggugurkan tiga paket calon. Padahal dalam jadwal ada tahapan verifikasi tahap pertama dan tahap kedua.
Artinya, jika pada tahap pertama, paket calon yang belum melengkapi persyaratan sesuai ketentuan undang-undang, harus diberi kesempatan untuk melengkapi berkas-berkas yang masih kurang. Tapi faktanya ketika itu, KPUD langsung membuat keputusan dengan menggugurkan tiga paket calon. Dari proses ini, dapat saya katakan, KPUD Sikka sudah tidak netral.
Karena keputusan yang diambil tidak sesuai aturan, mereka menuai aksi demo dan berbagai kecaman pedas. Akhirnya mereka terpaksa memperbaiki kesalahan itu dengan memberi kesempatan kepada semua paket yang telah mendaftar untuk melengkapi kembali berkas-berkas mereka.
Dari tahapan verifikasi kedua, KPUD meloloskan lima paket calon yang dipandang telah memenuhi semua persyaratan. Ternyata ada masalah juga. Misalnya, ada partai yang mendukung paket calon yang digugurkan pada verifikasi tahap pertama, sekarang dianggap absah.

Dari fakta ini, apakah Anda percaya KPUD melakukan verifikasi ulang?
KPUD Sikka tidak melakukan verifikasi ulang. Contoh yang menyolok itu kasus PKB. Pada tahap pertama, PKB dinyatakan sah mendukung Paket YOSUA, tetapi pada verifikasi kedua, KPUD memutuskan bahwa PKB tidak sah untuk mendukung paket YOSUA. Acuan mana yang dipakai KPUD untuk menyatakan bahwa PKB yang sah adalah yang mendukung Paket MESRA?
Pada verifikasi tahap pertama, KPUD menyatakan Paket MESRA gugur karena DPC PKB yang sah adalah DPC PKB yang mendukung Paket YOSUA. Ketika itu Ketua KPUD, Robby Keupung menyatakan secara tegas bahwa benar PKB yang sah adalah PKB yang bergabung di Koalisi Bagi Rakyat. Bahkan kepada pers, dia memperlihatkan SK pemecatan Ketua PKB Sikka atas nama Dedy da Silva dan SK pengangkatan pengurus PKB Sikka yang baru atas nama Bertolomeus Moa Tidung. Bukan hanya itu. Dia juga memperlihatkan surat rekomendasi DPP PKB yang ditandatangani oleh Sekjen DPP PKB, Yenny Wahid. Tetapi pada verifikasi tahap kedua, pernyataan tegas yang disampaikan Robby Keupung bersama bukti-bukti yang ditunjukan itu, sama sekali diabaikan. Dia malah mengatakan bahwa PKB yang berada di Koalisi Sikka Sejahtera merupakan DPC PKB yang sah karena DPP PKB tidak menarik dukungan.

Mengapa bisa begitu?
Menurut saya, ini bukti dari ketidakpahaman terhadap makna aturan main yang ada. Ini juga pernyataan konyol dan bodoh. Karena apa? Secara hukum, ketika ada SK baru, maka SK lama dengan sendirinya gugur. Jadi, tidak perlu lagi ada penarikan dukungan, seperti dikatakan Roby Keupung. Karena SK baru itu sah secara hukum. Ini artinya, Ketua KPUD Sikka, dengan tahu dan mau memasuki wilayah intern partai. Karena yang berhak menentukan sah tidaknya sebuah kepengurusan partai di tingkat DPC adalah DPP partai bersangkutan, bukan KPUD Sikka.
Dari pernyataan ini, sangat kentara pula bahwa mereka tidak melakukan amanat pasal 43 ayat (2) PP Nomor 6/2005 yang berbunyi: “Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi penelitian kelengkapan dan keabsahan administrasi pencalonan, serta klarifikasi pada instansi yang berwenang memberikan surat keterangan.”
Ketika para pengurus Koalisi Bagi Rakyat (Kobar) dan Panitia Pengawas (Panwas) meminta hasil verifikasi yang sudah dilaksanakan, KPUD Sikka tidak bisa berkutik karena tidak ada bukti bahwa mereka telah melakukan penelitian kelengkapan dan keabsahan administrasi pencalonan serta klarifikasi pada instansi yang berwenang memberikan surat keterangan, dalam hal ini DPP PKB. Karena apa? Karena mereka ke Jakarta untuk konsultasi dengan KPU Pusat bukan melakukan penelitian dan klarifikasi.
Jadi, keputusan KPUD Sikka ini diambil hanya berdasarkan asumsi atau pendapat. Ini betul-betul fatal dan ngawur. Karena itu, saya katakan penyelenggaraan Pilkada Sikka ini ilegal.

Jika demikian, apakah proses ini masih layak untuk diteruskan?
Karena proses ini ilegal, maka mestinya harus segera dihentikan. KPUD harus tahu bahwa proses ini tidak sama dengan tender proyek. Kalau tender proyek aturannya sudah jelas. Apabila terjadi kesalahan administrasi, kontraktor-kontraktor yang merasa tidak puas dibolehkan melakukan sanggahan, tapi pengerjaan proyek jalan terus.
Penyelanggaraan Pilkada ini jangan disamakan dengan tender proyek. Pilkada ini tidak mengacu pada Keppres No. 80. Aturan Pilkada sudah jelas, kalau dalam proses ini ada yang tidak beres, maka harus dihentikan.

Tapi, nampaknya proses ini akan berjalan terus…
Ya, kelihatannya ibarat anjing menggonggong, kafilah terus berlalu. Saya hanya mau ingatkan bahwa KPUD Sikka telah menanam bom waktu dengan melakukan kesalahan fatal ini. Akibatnya bisa sangat berbahaya kalau diteruskan. Karena apa? Karena proses ini ilegal.

Jika proses Pilkada ini ilegal, berarti pemimpin yang bakal terpilih juga ilegal...
Ya, jelas. Kalau proses ini ilegal, maka pemimpin yang terpilih pun sudah barang tentu ilegal. Masyarakat Kabupaten Sikka ini mau dibawa kemana?

Pasal 42 ayat (1) huruf (j) UU No. 32/2004 berbunyi: “DPRD mempunyai tugas dan wewenang melakukan pengawasan dan meminta laporan KPUD dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah”. Mengapa amanat ini tidak dilakukan?
Pertanyaan itu betul sekali. Harusnya DPRD memanggil KPUD untuk meminta klarifikasi. DPRD harus tanya kepada KPUD kenapa bisa ribut-ribut begini. DPRD harusnya melakukan uji petik dengan paket-paket yang tidak puas dan dengan KPUD. Dari uji petik ini, DPRD bisa membuat kesimpulan dan memberi jalan keluar yang menyejukan sehingga proses ini benar-benar aman dan sesuai aturan. Tapi, amanat UU itu tidak dilakukan karena ada faktor X.

Bisa dijelaskan?
Masyarakat Kabupaten Sikka pasti sudah tahu apa yang saya maksud. Tapi baiklah. Yang saya maksud dengan faktor X itu adalah hubungan antara Ketua DPRD Sikka dan Ketua KPUD Sikka. Ketua DPRD itu statusnya ayah, sementara Ketua KPUD itu statusnya anak. Jadi, mana mungkin, ayah mau bertindak tegas terhadap anak. Inilah faktor X itu. Dan ini tidak benar. Seharusnya DPRD bisa memanggil KPUD sehingga persoalan yang ada bisa dijernihkan.

Amanat UU itu tidak dilaksanakan, tapi pimpinan Dewan malah sibuk menyoroti kinerja Panwas lantaran memberi rekomendasi kepada KPU Pusat untuk menghentikan pelaksanaan Pilkada Sikka. Bagaimana pendapat Anda?
Ya, ini sebenarnya DPRD sedang membuat lelucon yang tidak perlu dan menunjukkan kebodohan kepada publik. Panwas sudah menjalan tugas dan kewenangannya untuk mengawasi Pilkada. Mereka sudah bekerja sesuai Tupoksi mereka. Kenapa DPRD harus memanggil Panwas untuk memberi klarifikasi karena menemukan kejanggalan dalam pelaksanaan Pilkada? Ada apa ini? Bukannya memanggil KPUD karena telah melakukan kesalahan fatal tetapi memanggil Panwas karena menemukan kejanggalan. DPRD ini lembaga yang terhormat atau apa?

Pimpinan DPRD juga mempersoalkan kehadiran Ketua Panwas di tengah massa YOSUA yang melakukan aksi demo di KPUD Sikka. Ketua Panwas disebut telah melakukan orasi. Komentar Anda?
Aturan mana yang mengatakan Ketua Panwas tidak boleh orasi? Saya kira, Ketua Panwas boleh dan sah memberikan apresiasi politik. Apalagi saat itu situasi mulai memanas. Massa mulai saling dorong dengan aparat keamanan. Dia justru tampil di tengah massa untuk memberi kesejukan. Bahwa benar KPUD telah melakukan kesalahan administrasi dan melanggar kode etik KPU. Seharusnya pimpinan Dewan memberikan apresiasi dan mengucapkan terima kasih kepada Panwas karena mereka telah menjalankan tugas dan kewenangan mereka sesuai aturan. (*)

Panwas Pilkada Sikka Siap Dibubarkan

Ini sikap tegas Panitia Pengawas (Panwas) Pilkada Sikka. Lembaga ini tidak mau bertanggungjawab atas pelanggaran yang dilakukan oleh KPUD Sikka dalam penyelenggaraan Pilkada. Karena itu, mereka juga siap untuk dibubarkan. Ada apa lagi?
Proses Pilkada Sikka saat ini telah memasuki tahapan kampanye. Lima paket calon yang telah resmi menjadi calon pemimpin Sikka periode 2008-2013, sibuk keluar-masuk kampung di segenap penjuru Kabupaten Sikka. Setiap hari mereka menawarkan visi, misi dan program kerja kepada warga masyarakat. Singkat kata, proses Pilkada ini nampaknya berjalan aman dan mulus.
Namun, di balik kesan aman dan mulus itu ada ‘perang’ urat syaraf antar sesama penyelenggara Pilkada. KPUD Sikka dan Panwas Sikka sedang bersitegang. Hal ini lantaran surat rekomendasi yang diberikan Panwas Sikka kepada KPU Pusat beberapa waktu lalu yang meminta agar KPU Pusat melalui KPUD NTT menonaktifkan sementara dan atau mengenakan sanksi administrasi kepada anggota KPUD Sikka. Selain itu, Panwas juga merekomendasikan agar KPU Pusat melalui KPUD NTT sesegera mungkin mengambil alih tugas-tugas KPUD Sikka.
Surat rekomendasi Panwas Pilkada Sikka Nomor: 53/PANWAS/SKA/III/2008, tanggal 25 Maret 2008 itu ditandatangani Ketua Panwas Pilkada Sikka, Philipus Fransiskus, S.S dan wakilnya, Yohanes MP Vianey Sanda, S.Sos, M.Si.
Menurut Panwas, kelima anggota KPUD Sikka telah melakukan pelanggaran dalam proses verifikasi ulang terhadap berkas para paket calon Bupati-Wabup Sikka periode 2008-2013, terutama berkas paket YOSUA (Drs. Yoseph Ansar Rera-Urbanus Lora, S.Sos).
Surat rekomendasi ini merupakan keputusan Panwas berdasarkan temuan pada tanggal 24 Maret 2008 bersamaan dengan aksi demo yang digelar kelompok pendukung Paket YOSUA. Mendengar tuntutan massa yang meminta agar KPUD menunjukkan bukti-bukti hasil verifikasi tahap kedua, Panwas pun mengambil inisitif untuk meminta bukti-bukti dimaksud. Tetapi ketika itu Ketua KPUD Sikka, Roby Keupung tidak dapat menunjukkan bukti-bukti tersebut.
Selain itu, Panwas Pilkada Sikka juga menerima surat laporan dari Koalisi Bagi Rakyat (Kobar). Dalam surat tertanggal 20 Maret 2008 itu, Kobar menilai keputusan KPUD Sikka tidak transparan, tidak terperinci dan tidak bertanggungjawab. Pasalnya, KPUD Sikka menyatakan bahwa empat partai pengusung paket YOSUA bermasalah. “Pernyataan KPUD Sikka tersebut tidak memiliki argumentasi hukum yang kuat dan tidak menunjukkan bukti/fakta hukum tentang ketidakabsahan kepengurusan partai politik tersebut, melainkan cenderung menafsirkan secara sepihak dan langsung mempinalti keabsahan kepengurusan keempat partai politik yang tergabung dalam Koalisi Bagi Rakyat,” tulis KOBAR surat tersebut.
Berbekal temuan dan laporan ini, Panwas Pilkada Sikka pun menggelar rapat pleno dan keluarlah surat rekomendasi yang membuat KPUD Sikka ‘kebakaran jenggot’ dan mengambil ancang-ancang untuk membela diri. Ketika berbicara dalam dialog interaktif yang disiarkan Radio Suara Sikka, Roby Keupung menyatakan, pihaknya sangat menyayangkan surat rekomendasi tersebut. Dia juga mempersoalkan mengapa media massa lebih dahulu mendapat surat tersebut ketimbang dirinya sebagai Ketua KPUD Sikka. Pada kesempatan tersebut, Roby Keupung mengatakan bahwa pihaknya tidak bisa memperlihatkan bukti-bukti yang diminta karena merupakan dokumen negara.
Malah pada kesempatan tersebut, Roby menyatakan, surat rekomendasi itu tidak akan mengubah jadwal yang telah ditetapkan. “Saya sudah tahu bagaimana sikap KPU Pusat. Setiap hari saya selalu berkomunikasi dengan orang-orang KPU Pusat. Jadi, walaupun mereka yang berangkat ke Jakarta itu belum kembali, saya sudah tahu hasilnya,” kata Roby Keupung.
Selain karena surat rekomendasi, ‘perseteruan’ antara KPUD Sikka dan Panwas Sikka juga ‘dihangatkan’ oleh sikap Ketua Panwas, Philipus Fransiskus yang tampil berbicara di hadapan massa pendukung paket YOSUA.
Asal tahu saja, Senin (24/3/2008) lalu, sedikitnya 1.000 orang simpatisan dan pendukung paket YOSUA menggelar aksi demo di sekretariat KPUD Sikka. Mereka datang bersama para pengurus Koalisi Bagi Rakyat (KOBAR) untuk mempertanyakan bukti-bukti verifikasi tahap kedua yang menggugurkan paket YOSUA.
Mula-mula aksi itu berlangsung aman dan terkendali. Para tua adat dari lima kecamatan di Sikka, yakni Paga, Mego, Magepanda, Tanawawo dan Bola sempat menggelar sumpah adat tana ka watu pesa di halaman Sekretariat KPUD Sikka. Acara ini dilakukan karena mereka tidak puas, KPUD tidak meloloskan Paket Yosua ke arena Pilkada Sikka.
Acara adat itu berupa penyembelihan seekor babi guna diambil darahnya untuk dioleskan pada pintu kantor KPUD Sikka. Dengan acara ini diyakini bisa mengungkap kebenaran proses verifikasi berkas paket calon.
Usai upacara adat, sejumlah pentolan kelompok pendukung Paket YOSUA mulai berorasi. Mereka antara lain Yoseph Mbele (Ketua Kobar), Gabriel Degha (Ketua DPC Partai Buruh Sosial Demokrat), Edu Sareng (Aktivis LSM), Vitalis Tibo (Mantan Camat Kewapante dan Paga), serta Sil Tibo (Kepala Tata Usaha Perpustakaan Daerah Kabupaten Sikka). Para orator ini, menuntut KPUD menunjukkan bukti-bukti dan alasan mengapa Paket Yosua tidak lolos verifikasi.
Aksi yang semula berlangsung aman itu perlahan-lahan memanas. Pasalnya, para anggota KPUD Sikka tidak bergeming dari ruang kerja mereka untuk menemui massa. Teriakan dan hujatan mulai terdengar di sana-sini ketika para pimpinan aksi tidak berhasil memperoleh jawaban yang memuaskan saat bernegosiasi dengan para anggota KPUD Sikka. Maka, bulatlah tekad massa untuk menyegel kantor KPUD Sikka. Palu dan paku sudah disiapkan. Begitu juga belahan bambu yang akan dipakai untuk memalang daun pintu kantor tersebut.
Melihat gelagat yang kurang menguntungkan itu, Vitalis Tibo tampil di panggung (mobil bak terbuka) untuk menenangkan massa. Himbauan tokoh tua ini agaknya tidak manjur menenangkan massa yang mulai beringas. Lemparan batu-batu kecil ke arah atap mulai terdengar dan massa mulai bergerak mendekati kantor KPUD. Maka, tak terhindarkan lagi aksi dorong-mendorong dengan aparat kepolisian yang membentuk pagar betis di depan kantor KPUD.
Kapolres Sikka, AKBP Endang Syarifudin tidak tinggal diam. Dia naik ke panggung dan menghimbau massa agar tidak berbuat anarkhi. Tetapi himbauan Kapolres itu sama sekali tidak diindahkan. Kapolres terpaksa turun dan menangis karena kecewa dengan sikap massa. Situasi semakin tidak terkendali dan cenderung berbahaya, sebab semua aparat keamanan yang berada di lokasi telah siaga penuh untuk menghadapi segala kemungkinan.
Pada situasi yang genting ini, Ketua Panwas Pilkada Sikka, Philipus Fransiskus memberanikan diri tampil di panggung untuk menenangkan massa. “Mari kita salurkan dan perjuangkan aspirasi kita secara benar dan tidak secara anarkis, apalagi kita masih dalam masa Paskah. Panwas Kabupaten Sikka bersedia untuk memfasilitasi pengurus KOBAR ke KPU Provinsi dan KPU Pusat untuk membuktikan kebenaran dan keabsahan syarat calon Paket YOSUA yang dinyatakan gugur oleh KPU Kabupaten,” kata Philipus.
Himbauan Ketua Panwas Pilkada Sikka itu cukup berhasil, karena beberapa saat kemudian, massa yang beringas itu perlahan-lahan mulai tenang dan akhirnya membubarkan diri.

Tidak Profesional
Langkah yang ditempuh Panwas Pilkada Sikka, baik berupa surat rekomendasi kepada KPU Pusat maupun upaya untuk menenangkan massa YOSUA yang nyaris melakukan tidakan anarkhis ini ternyata mendapat tanggapan sinis dari kalangan Pimpinan DPRD Sikka.
Buktinya, ketika mengikuti acara pembukaan kampanye di Gedung DPRD Sikka, Jumat (28/3/2008), Wakil Ketua Panwas Pilkada Sikka, Yohanes MP Vianey Sanda “diadili” oleh Pimpinan Dewan. Wakil Ketua DPRD Sikka, E.P. da Gomes dengan nada tinggi menyatakan, Panwas tidak profesional dan tidak netral. Ketua DPRD Sikka, Drs. A.M. Keupung juga tidak ketinggalan. Dia menuding para anggota Panwas tidak netral karena masing-masing memiliki ‘jagoan’.
Tidak berhenti di situ. Sabtu (29/3/2008), pimpinan Dewan langsung mengirim surat undangan kepada Panwas Pilkada Sikka guna memberikan klarifikasi atas surat rekomendasi dan keterlibatan Ketua Panwas dalam aksi demo kelompok pendukung paket YOSUA.
Ketua Panwas Pilkada Sikka, Philipus Fransiskus ketika ditemui, Sabtu (5/4/2008) membenarkan bahwa pihaknya telah menerima surat dari Pimpinan DPRD Sikka. Dalam surat tersebut, Pimpinan Dewan mengagendakan dengar pendapat dengan Panwas, Selasa (1/4/2008), tetapi karena Ketua Panwas sedang berada di Jakarta, maka acara tersebut batal dilaksanakan.
“Kemarin (Jumat 4/4/2008), kami pergi memenuhi undangan itu, tetapi hanya sempat bertemu dengan Pimpinan DPRD, Drs. A. M. Keupung dan E.P da Gomes. Kepada kedua pimpinan Dewan ini, kami katakan, kami siap memberi klarifikasi tetapi sedapat mungkin dalam sidang pleno DPRD. Sehingga informasi yang kami sampaikan bisa menjadi pemahaman bersama semua anggota Dewan,” kata Philipus.
Dikatakan, apabila DPRD Sikka tetap pada penilaian mereka bahwa Panwas tidak profesional dan tidak netral dan mengambil keputusan untuk membubarkan Panwas, maka pihaknya pun siap untuk dibubarkan. “DPRD punya kewenangan untuk itu, karena mereka yang membentuk Panwas. Tetapi untuk membubarkan Panwas juga ada aturan mainnya. Bukan hanya karena unsur suka atau tidak suka,” papar Philipus.
Dia menambahkan, apapun keputusan yang bakal diambil DPRD Sikka, sikap Panwas sudah jelas. “Kita tidak mau terjebak atau terlibat dalam pelanggaran Pilkada. Karena itulah kita membuat rekomendasi agar proses Pilkada ini dihentikan,” tandasnya. (fery soge)

Sabtu, 05 April 2008

Penyidik Polda NTT Lakukan Politisasi Hukum

Kupang, NTT Online - Penyidik Polda Nusa Tenggara Timur (NTT) dinilai melakukan politisasi hukum dengan mengeluarkan SP3 (surat perintah penghentian penyidikan) kepada Bupati Kupang, Ibrahim Agustinus Medah, yang sudah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus pembelian kapal ikan.
“Tindakan penyidik Polda NTT itu sudah mengarah pada politisasi hukum karena SP3 itu dikeluarkan bersamaan dengan pencalonan Medah sebagai Gubernur NTT periode 2008-2013 oleh Partai Golkar,” kata pengamat hukum dan politik dari Universitas Katolik Widya Mandira Kupang, DR Frans Rengka SH.MHum di Kupang, Senin.
Rengka yang juga Dekan Fakultas Hukum Unika Widya Mandira Kupang itu menyatakan mendukung langkah yang ditempuh DPD Serikat Pengacara Indonesia (SPI) NTT untuk mempraperadilkan Polda NTT dalam kaitan dengan penerbitan SP3 terhadap tersangka Ibrahim Agustinus Medah.
Medah yang juga Ketua DPD I Partai Golkar NTT itu telah ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik Polda NTT dalam kasus dugaan korupsi pembelian kapal ikan tahun 2002 yang mengakibatkan negara dirugikan sekitar Rp239 juta.
Ketua SPI NTT, Mathias K Lamabelawa, SH, secara terpisah mengatakan, pihaknya mengambil sikap untuk mempraperadilkan Polda NTT karena melihat ada kejanggalan yang dilakukan penyidik dalam mengeluarkan SP3 tersebut.
“Kami sudah mendaftarkan permohonan praperadilan tersebut di Pengadilan Negeri Kupang pada 25 Maret lalu. Langkah praperadilan merupakan pilihan terbaik dalam upaya menegakkan supremasi hukum,” katanya.
Direskrim Polda NTT, Kombes Pol Musa Ginting mengatakan, upaya mempraperadilkan polisi itu bukan sesuatu yang tabu dalam alam reformasi sekarang.
“Itu sudah menjadi risiko kita sebagai aparat penegak hukum. Jika langkah SP3 itu dinilai tidak sah, pengadilan yang akan memutuskannya,” kata Ginting.
Frans Rengka mengatakan, SP3 yang dikeluarkan Polda NTT terhadap Bupati Kupang, Ibrahim Agustinus Medah, tidak rasional jika dilihat dari sisi hukum normal, karena yang bersangkutan sudah ditetapkan sebagai tersangka.
“SP3 itu dikeluarkan dengan alasan tidak cukup bukti rasanya tidak bisa diterima. Pak Medah ditetapkan sebagai tersangka, karena penyidik memiliki bukti permulaan yang cukup sehingga meningkatkan statusnya menjadi tersangka,” ujarnya.
Ia menambahkan, penerbitan SP3 terhadap Medah dalam kaitan dengan dugaan korupsi kasus pembelian kapal ikan, merupakan sebuah tindakan yang kurang populer karena sarat dengan muatan politis menjelang pencalonan Bupati Kupang itu menjadi Gubernur NTT periode 2008-2013.
Menurut Rengka, jika SPI NTT menang dalam praperadilan nanti maka pencalonan Medah sebagai Gubernur NTT dari Partai Golkar akan gugur dengan sendirinya guna menjalani proses hukum selanjutnya.
Hal ini juga diisyaratkan dalam UU tentang Pemerintahan Daerah yang menyatakan bahwa orang yang sedang menjalani proses hukum atau sudah menjalani hukuman penjara, tidak boleh dicalonkan menjadi kepala daerah, katanya. antara

Kamis, 03 April 2008

KRONOLOGI KASUS PENYERAHAN TANAH OLEH 6 ORANG KEPALA SUKU

Anggota DPRD Lembata, Alwi Murin yang juga Ketua Komunitas Indonesia untuk Demokrasi (KID) Wilayah Lembata tengah berbicara di hadapan peserta Musyawarah Luar Biasa Benihading Leupitu, Kedang, Lembata. (Foto: San Taum)
Peserta Musyawarah Luar Biasa Benihading Leupitu, Kedang, Lembata.

Laporan: San Taum

1. Pada hari Kamis, tanggal 21 Februari 2008, di Lopo Moting Lomblen, Bupati menyelenggarakan acara penandatangan berita acara penyerahan tanah Wei Puhe, dari 6 Orang Kepala Suku Tua Mado, Kedang, Kecamatan Buyasuri, kepada dirinya sebagai Bupati Lembata, untuk kepentingan pembangunan industri pertambangan oleh PT Merukh Enterprise.
Berita acara penyerahan tanah tersebut ditanda-tangani oleh ke 6 kepala suku, sebagai pihak pertama, yang menyerahkan tanah, dan bupati Lembata, sebagai pihak ke dua, yang menerima penyerahan tanah. Ke-6 kepala suku tersebut adalah:
1. Ledo Ara, sebagai Pemegang/Penguasa Tanah Ulayat Suku Potiretu.
2. Anreas Abe, sebagai Pemegang/Penguasa Tanah Ulayat Suku Lodo Laleng
3. Benediktus Telu, sebagai Pemegang/Penguasa Tanah Ulayat Suku Tuamado
4. Abdullah Beni, sebagai Pemegang/Penguasa Tanah Ulayat Suku Lelangrian
5. Sadi Lari, sebagai Pemegang/Penguasa Tanah Ulayat Suku Laa Wayang
6. Kornelis Kopaq, sebagai Pemegang/Penguasa Tanah Ulayat Suku Watang Wala.
Ada dua pihak lain, yang ikut menanda-tangani Berita Acara Penyerahan Tanah Ulayat tersebut adalah pertama, pihak yang disebut sebagai “turut memberikan dukungan” dan Kedua, Saksi. Tercatat 6 orang turut memberikan dukungan, atas penyerahan tanah ulayat tersebut adalah:
· Lambertus Lawe : Ketua Basis Tuamado dalam Paroki Aliuroba.
· Naya Mudin : Imam Masjid Tuamado
· Yusuf Muda : Tokoh Masyarakat Tuamado
· Petrus Wutun : Tokoh Adat Tuamado
· Yosephat Sudarso Dolu : Tokoh Pemuda Tuamado
· Kristina Kewa : Tokoh Perempuan Tuamado
Sedangkan yang bertindak sebagai saksi adalah Camat Buyasuri dan 16 orang Kepala Desa, yakni:
· Muchtar Sarabiti : Camat Buyasuri
· Rachmat Wulakada : Kepala Desa Bean
· Ruslan Huraq : Kaur Umum Benihading II
· Gabriel P. Buyanaya : Kepala Desa Tubung Walang
· Petrus Lating : Kepala Desa Roho
· Yeremias Huraq : Kepala Desa Loyobohor
· Antonius Likuwatan : Kepala Desa Leuburi
· Abdullah Roda Mude : Kepala Desa Kaohua
· Paimudin Hibaratu : Kepala Desa Umaleu
· Ibrahim Lamawulo : Kepala Desa Tobotani
· Umar Ledo S Making : Kepala Desa Rumang
· Yusuf Paokuma : Kepala Desa Kalikur WL
· Yoseph Sumatantra : Kepala Desa Buriwutung
· Petrus Pua Ubawala : Kepala Desa Mampir
· Abdul Malik Peuohaq : Kepala Desa Leuwohung
· Hasan Liliweri : Kepala Desa Bareng
· Sulaiman Syarif : Kepala Desa Kalikur.
Dalam acara yang sama Gabriel Raha, lebih dikenal dengan nama Gaba Raha, salah seorang warga Peumole, Benihading II, Buyasuri, ikut membacakan pernyataan dukungan terhadap Kebijakan Tambang, dan kesediaan menyerahkan tanah sukunya, untuk dijadikan lokasi tambang. Bahkan apabila lokasi tersebut tidak terdapat kandungan emas atau tembaga, dapat dijadikan lokasi perkantoran, atau basecamp PT Merukh Enterprise.
Kejanggalan dalam Kasus Penyerahan Tanah Tuamado al:
· Penandatanganan Berita Acara Penyerahan Tanah dilakukan pada hari Kamis tanggal 21 Februari 2008 di Lopo Moting Lomblen Lewoleba, oleh Bupati dan beberapa kepala suku, tetapi di dalam berita acara tertulis tanggal 13 Desember 2007 di Tuamado. Berdasarkan hasil investigasi FKTL, pada tanggal 13 Desember 2007, tidak terjadi peritiwa penyerahan tanah ulayat di Tuamado, yang dihadiri Bupati, dan para saksi, dan pendukung, sebagaimana tercantum di dalam lembaran berita acara. Dicurigai, penggunaan tanggal “mundur” tersebut, dengan sengaja dilakukan untuk menjaga keabsahan saksi, yang terdiri para Kepala Desa di Kecamatan Buyasuri, yang pada pada peristiwa penandatangan Berita Acara oleh Bupati, tanggal 21 Februari 2008, sebagian besar di antaranya telah berhenti dari jabatannya dan digantikan oleh Kepala Desa yang baru terpilih. Itu berarti, penandatanganan berita acara oleh para saksi, telah dilakukan mendahului penandatangan yang dilakukan oleh pihak yang berkepentingan. Berarti Camat dan ke 15 Kepala Desa, telah dengan sengaja membuat penipuan di dalam berita acara penyerahan tanah tersebut.
· Secara hukum, substansi penyerahan tanah tersebut mengandung kelemahan, karena tidak secara jelas mencantumkan obyek penyerahan tanah tersebut. Berita Acara tidak mencantumkan secara jelas di mana letak lokasi tanah yang diserahkan, berapa luasnya, batas-batasnya, di atasnya melekat hak apa dan siapa saja, dan berapa banyak orang yang sedang mengelola tanaha tersebut, dengan beragam hak yang mereka miliki (hak milik, hak garap, bagi hasil, dll). Hanya disebutkan dalam butir 1 Berita Acara: Hamparan Tanah Ulayat di titik tambang Wei Puhe dan sekitarnya. Itu berarti Pemerintah Kabupaten, yang terdiri dari Bupati sendiri, Camat Buyasuri, dan ke 15 Kepala Desa tersebut telah dengan gegabah terlibat di dalam suatu transaksi tanah, yang berisiko sosial tinggi. Dalam suasana masyarakat Kedang menolak rencana investasi tambang, yang diekspresikan secara tegas sekali di dalam bentuk demo damai (24-25 Juli 2007), dan polemik di Media Masa selama ini, Pemerintah Kabupaten Lembata, telah dengan sadar terlibat di dalam sebuah transaksi tanah, yang berisiko pada terjadinya konflik horisontal antar suku-suku di Kedang.
· Lebih fatal lagi, Pemerintah Kabupaten, terutama Camat Buyasuri dan Bupati sama sekali tidak mempertimbangkan keabsahan penyerahan tanah ulayat tersebut. Mereka tidak mempertanyakan apakah ke 6 orang tersebut memang berwewenang atas tanah ulayat tersebut atau tidak. Karena penyerahan tanah oleh suku Tuamado tersebut ternyata kemudian, menimbulkan reaksi kegelisahan, kecemasan, kemarahan, keresahan, di tengah Masyarakat kampung-kampung di sekitar Tuamado, dari Hobamatan-Leu Hapu, Benihading Leu Pitu, Waq-Lupang, Leu Tubung, dan Leu Walang. Reaksi tersebut berkembang karena berdasarkan realita dan bukti-bukti sejarah hak atas tanah suku-suku di Kedang, Tuamado, dengan ke 6 kepala suku tersebut, sama sekali tidak berkuasa atas tanah ulayat yang diserahkan. Mereka telah dengan berani sekali menyerahkan Tanah Ulayat yang bukan merupakan hak suku mereka, melainkan hak ulayat dari Komunitas Adat Benihading dan Nala Hading.
2. Tanggal 22 Februari 2008, Harian Flores Pos pada Desk Lembata, membuat berita dengan dngan judul, “Disesalkan Sikap Bupati Manuk, Dua Suku Serahkan Tanah untuk Tambang“. Alwi Murin, Anggota DPRD Asal Daerah Pemilihan Kedang, dari Benihading Leu Pitu, dari suku Etoehaq, menegaskan bahwa peristiwa penyerahan tanah tersebut patut dicurigai sebagai sebuah rekayasa oleh pihak tertentu yang mau memperdayai dan memprovokasi masyarakat Kedang. Ia ingatkan, bahwa penyerahan tersebut seolah-olah telah meniadakan keberadaan suku-suku lain di Benihading Leu Pitu, dan menegaskan sikap tersebut sangat membahayakan persatuan dan kesatuan masyarakat Kedang, kususnya di tanah ulayat Komunitas Adat Benihading Leu Pitu.
3. Tanggal 23 Februari 2008, menurunkan berita dengan topik, “Bupati Manuk harus bertanggung jawab”, berisi kecaman Stanis Kapo, tokoh Masyarakat Kedang, di Lewoleba, yang dengan tegas, menuntut pertanggung-jawaban Bupti, apabila kasus penyerahan tanah tersebut berakibat pada terjadi konflik antar suku, dan pertumpahan darah di Kedang. Eman Ubuq, Ketua Baraksatu, menegaskan peristiwa penyerahan tanah tersebut merupakan sebuah provokasi.
4. Peristiwa penyerahan tanah oleh ke enam orang Kepala Suku dari Tuamado, dan Gaba Raha dari Peumole tersebut, mengagetkan dan menggemparkan masyarakat Lembata, baik yang berada di Lewoleba sendiri, maupun masyarakat yang berbada di Kedang, setelah informasi tentang penyerahana tanah tersebut beredar ke tengah masyarakat. Reaksi bermunculan. Pada tanggal 24 Februari 2008, tercatat dua kejadian di 2 tempat berbeda.
· Di Peumole, pagi-pagi masyarakat berkumpul dalam suasana “panas” akibat mendengar berita penyerahan tanah pada tanggal 21 Februari 2008 di Lopo Moting Lomblen tersebut, melalui siaran Radio. Beberapa warga yang mendengar siaran berita tersebut meledak kemarahannya, dan memaki-maki. Kejadian itu mengundang perhatian warga tetangga, dan semakin lama semakin banyak warga yang berkumpul, untuk mengetahui apa yang terjadi. Mereka ingin “mengadili” Gaba Raha di rumahnya, tetapi beberapa tokoh masyarakat menenangkan dan mereka bersepakat mengirimkan Polikarpus Leuwayang dan seorang lagi untuk mendapatkan informasi tentang apa sesungguhnya yang terjadi di Moting Lomblen, pada tanggal 21 Februari 2008 tersebut, di Lewoleba.
· Di Hobamatan, Desa Mahal I, desa tetangga Tuamado, yang masuk wilayah Kecamatan Omesuri, tua-tua Suku Odel mengadakan musyawarah adat, membahas dengan serius kasus penyerahan tanah di lokasi Wei Puhe tersebut, karena mereka mengetahui dengan pasti, tanah di lokasi tersebut merupakan bagian dari hak ulayat mereka Komunitas Adat Nalahading, dan sama sekali bukan merupakan hak ulayat dari ke 6 suku di Tuamado. Musyawarah adat Suku Odel memutuskan membatalkan penyerahan tanah tersebut. Keputusan membatalkan penyerahan tanah tersebut dituangkan ke dalam surat bernomor 01/SO/2008, tertanggal 24 Februari 2008, yang ditanda-tangani oleh Staphanus Mathur Odel, Kepala Suku, dan dua orangtua suku Odel lainnya, yakni Leonardus Leu Odel dan Mikael Sabon Odel.
5. Pada tanggal 25 Februari 2008, 20 tokoh masyarakat Peumole berkumpul di rumah Bapak Edmundus Pala Lelangrian. Pertemuan mendengarkan laporan dari Polikarpus, yang bertugas mengumpulkan informasi tentang kejadian penyerahan tanah. Karna Gaba Raha tidak hadir di dalam pertemuan itu, disepakati, perlu diselenggarakan pertemuan lagi, untuk meminta penjelasan dan pertanggung jawaban dari Gaba Raha.
6. Rabu, 27 Februari 2008, 2 orang utusan Suku Odel, yaitu Leonardus Leu Odel dan Mikael Sabon Odel, datang ke Kantor Bupati dengan tujuan membatalkan penyerahan tanah ulayat mereka oleh ke 6 kepala suku Tuamado, dengan membawa surat pembatalan tersebut. Dengan alasan sedang sibuk Bupati menolak menerima mereka. Demikian juga Wakil Bupati. Wakil Bupati melalui pramutamu hanya menyuruh mereka menemui Kabag Ekonomi. Mereka menemui Kabag Ekonomi, Longginus Lega Ladoangin. Longgi menyatakan akan melanjutkan pernyataan sikap suku Odel tersebut kepada Bupati dan Wakil Bupati, dan meminta Kedua Utusan suku Odel untuk kembali ke kampung dan menunggu informasi lebih. Tetapi karena merasa tidak puas dengan perlakuan tersebut, mereka memutuskan untuk nginap untuk bertemu dengan Bupati pada hari berikutnya.
7. Kamis, 28 Februari 2008, Kedua utusan suku Odel, Leo dan Mikael Odel kembali mendatangi kantor Bupati. Tetapi mereka tidak berhasil menemui Bupati, karena Bupati dikatakan tidak berada di tempat. Ketika meminta bertemu Wakil Bupati, sekali lagi Wakil Bupati menolak untuk menemui mereka. Mereka kembali dengan perasaan sangat kecewa dan marah, karena merasa tidak dihargai.
8. Pada hari yang sama, Kamis, 28 Februari 2008, 3 Orang Penasehat Dewan Stasi Aliuroba, Paroki St. Maria Pembantu Abadi Aliuroba, yaitu Aloisius Rupa, Mikael Aba, dan Vinsensius Lewo, mendatangi Gaba Raha di rumahnya di Peumole, untuk mengklarifikasi berita penyerahan tanah oleh gaba Raha di Moting Lomblen, untuk lokasi tanah di sekitar Bean. Gaba Raha menjelaskan bahwa dia tidak menyerahkan hak ulayat, melainkan hanya menyatakan sikap netral, tidak pro dan tidak juga kontra tambang.
Ke 3 anggota Dewan Penasehat menawarkan kepada Gaba Raha untuk memberikan penjelasan kepada umat katolik di dalam gereja pada hari minggu, tanggal 2 Maret 2008, tetapi Gaba Raha menolaknya, karena merasa berat hati dan khawatir, dan meminta kesediaan Dewan Penasehat untuk menyampaikan penjelasan, bahwa Gaba Raha tidak pernah menyatakan dukungan terhdap kebijakan tambang atas nama Umat Katolik, sebagaimana informasi yang beredar di tengah masyarakat.
9. Minggu, 2 Maret 2008, jam 11.00 Dewan Stasi Aliuroba dan 10 Ketua Basis Stadi Aliuroba mengadakan rapat, di ruang SDK Aliuroba. Rapat menyepakati memberhentikan Gaba Raha dari Jabatannya sebagai Ketua Dewan Stasi, yang bari dijabatnya selama 1 bulan, dan belum sempat juga dilantik.
10. Minggu, 2 Maret 2008, jam 11.00-18.18 witeng, 5 suku dari Aliuroba, Desa Benihading I, menyelenggarakan musyawarah adat menanggapi kasus Penyerahan Tanah oleh 6 suku Tuamado. Ke 5 suku tersebut adalah: Suku Huung-ehaq, Eto-Ehaq, Beni-Ehaq, Wulakada, dan Peutula. Pertemuan dihadiri oleh ratusan warga suku yang berasal dari Benihading Leu Pitu. Pertemuan berlangsung di Ebang Suku Etoehaq di Aliuroba. Musyawarah adat tersebut mengecam dengan keras perbuatan ke 6 kepala suku tersebut, dan menyesalkan sikap Bupati Lembata, yang bertindak ceroboh, menerima penyerahan tanah ulayat, tanpa menyelidiki kebenaran dan keabsahan penyerahan tanah ulayat tersebut, karena berimplikasi terhadap terjadinya keresahan, dan berpotensi menimbulkan konflik berdarah antar suku di Kedang.
Musyawarah ke 5 suku tersebut menyepakati:
· Membuat Surat Pernyataan Suku atas peristiwa penyerahan tanah tersebut, dan ditanda-tangani/dicap-jempol warga masing-masing suku.
· Mengutus 9 warga mewakili 5 suku, menyerahkan surat pernyataan tersebut kepada Bupati di Lewoleba.
11. Pada hari yang sama, minggu, 2 Maret 2008, sore, jam 15.00 berlangsung pertemuan warga Peumole di Rumah Gaba Raha. Pertemuan ini bertujuan meminta klarifikasi Gaba Raha. Andreas Leunamang, Kepala Suku “sulung”, mengecam perbuatan Gaba Raha sebagai tindakan sepihak. Dia mempertanyakan, mengapa pernyataan itu tidak didahului musyawarah adat di dalam kampung Peumole. Pertemuan berlangsung alot. Gaba Raha sengaja mengalihkan perhatian peserta, untuk hanya membahas soal ulayat. Pernyataan dukungan terhadap tambang dan penyerahan tanah oleh Gaba Raha, dengan tegas ditolak dan dinyatakan batal. Gaba Raha juga berjanji untuk membuat surat pernyataan penarikan kembali atas surat pernyataan dukungan terhadap tambang di Moting Lomblen tersebut.
12. Tanggal 2 Maret 2008, jam 11.30-14.00, di Leu Nahaq, Desa Panama, warga Leu Nahaq dan Waqio menyelenggarakan musyawarah adat menanggapi kasus penyerahan tanah oleh 6 suku dari Tuamado. Mereka menyepakati membuat pernyataan kecaman terhadap penyerahan tanah, dan meminta membatalkan penyerahan tanah Wei Puhe tersebut, dengan alasan ke 6 suku tersebut, tidak berhak atas tanah di Wei Puhe. Warga juga menyepakati untuk mengutus 3 orang warga menemui Bupati dan menyerahkan pernyataan tersebut. Ke 3 orang tersebut adalah: Anton Ado Lelangwayan, Anton Laba Ai dan Donatus Dato. Menurut rencana, ke 3 utusan tersebut akan menemui Bupati, pada hari Senin, 10 Maret 2008.
13. Senin, 3 Maret 2008 masing-masing ke 5 suku dari Aliuroba tersebut membuat surat pernyataan Kecaman dan penolakan terhadap penyerahan tanah tersebut, yang ditujukan kepada Bupati Lembata. Utusan ke 5 suku dari Aliuroba datang menyerahkan sendiri surat pernyataan tersebut kepada Pemerintah Kabupaten. Utusan diterima Wakil Bupati Lembata, Senin, 3 Maret 2008, di ruang rapat Bupati. Wakil Bupati menerima penyerahan pernyataan sikap ke 5 suku tersebut, tanpa komentar. Hanya menyatakan “terima kasih”, dan “Pemerintah telah menerima pernyataan ini dengan ikhlas”. Wakil Bupati juga menolak tawaran untuk membuka dialog.
14. Selasa, 4 Maret 2008, bertempat di halaman depan Balai Desa Panama, Buyasuri, diselenggarakan Musyawarah Luar Biasa Masyarakat Adat Benihading Leu Pitu (Benihading 7 Kampung), Leu-Hapu (Mahal II), Hobamatan (Mahal I), Waq-Lupang (Atulaleng), Leu Tubung, Leu Walang (Tubung Walang), menanggapi keresahan dan kegelisahan masyarakat akibat penyerahan tanah yang dilakukan ke 6 kepala suku dari Tuamado dan Gaba Raha. Musyawarah dihadiri 600-an warga masyarakat, tua-muda, laki dan perempuan, berlangsung selama 8 jam, dari jam 11.15-19.15 witeng.
Substansi pembicaraan:
· Penjelasan tentang alasan mengapa musyawarah adat diselenggarakan
· Pembacaan Berita Acara Penyerahan Tanah 21 Februari 2008 di Moting Lomblen.
· Analisis Sosial, Politik, Hukum (Hukum Negara dan Hukum Adat: dari Stanis Kapo Lelangwayan, SH, Pius Kulu Beyeng, BA, Paulus Isa Leuweheq: para tokoh tua Kedang yang berdomisili di Lewoleba)
· Penuturan sejarah asal-usul tanah ulayat dari 3 tokoh adat, yakni Leonardus Leu Odel (Leu Hapu-Hobamatan), Lorensius Waka (Benihading Leu Pitu), dan Hendrik Tehe (Waq-Lupang), untuk menelusuri dan menegaskan hak-hak sejarah atas tanah ulayat di Wei Puhe dan sekitarnya. Sejarah suku dan tanah suku, yang terukir di dalam syair-syair adat Kedang, yang dituturkan oleh ke 3 orang tua ini, menegaskan Benihading-Nalahading yang memiliki kuasa atas tanah ulayat Wei Puhean sekitarnya , dan bukan ke 6 suku di Tuamado tersebut.
· Dialog tentang Kasus Penyerahan Tanah, Akibat hukum dari penyerahan tanah tersebut bagi masyarakat Kedang, & kaitannya dengan rencana investasi tambang.
· Musyawarah tentang jalan keluar dari persoalan penyerahan tanah serta implikasi hukum, politik dan sosial, bagi masyarakat. Meski suasana panas, tetapi para tua-tua adat berhasil meredahkan keresahan dan kemarahan massa, dan menuntun masyarakat menyepakati 17 butir Kesepakatan. (Lihat Lampiran berita acara)
15. Rabu, 5 Maret 2008, ke 12 tua adat, yang dipilih dalam musyawarah adat tanggal 4 Maret 2008, untuk menyelesaikan secara damai kasus penyerahan tanah, melalui mekanisme adat, sangat kecewa dengan sikap ke 6 kepala suku dari Tuamado, yang tidak menepati kesanggupan mereka untuk hadir di Balai Desa Panama, menyelesaikan Kasus tersebut, sesuai jani mereka pada 4 Maret 2008, kepada ke 3 utusan.
Setelah menunggu selama 3 jam, pada pukul 11.00 ke 12 tua adat memutuskan mengirimkan 3 utusan lagi untuk menemui dan memastikan kedatangan ke 6 kepala suku Tuamado tersebut. Ke 3 utusan tersebut adalah Thomas Toda Odel, Daswan Wulakada, dan Benediktus Beni Leuwayan.
Ke 3 utusan bertemu dengan Abdulah Beni, Benediktus Telu dan terakhir Kepala Dusun Tuamado, Aloysius Watang.
Abdulah Beni dalam dialog dengan ke 3 utusan membantah telah menyerahkan tanah ulayat di Moting Lomblen. Ketika diminta bukti berupa berita acara penyerahan tanah tersebut, Abdulah Beni, tidak bisa memberikannya, katanya ada di Kantor Bupati.
Ketika diminta untuk hadiri pertemuan musyawarah adat penyelesaian kasus, sebagaimana telah disepakati sehari sebelumnya, Abdulah Beni menolak untuk hadir. Dia beralasan jika lokasinya di Balai Desa Panama, situasi tidak aman bagi mereka. Benediktus Telu membungkam selama pertemuan dengan utusan tersebut. Sedangkan Kelapa Dusun Tuamado, Aloysius Watang, kembali menegaskan apa yang telah dikatakan oleh Abdulah Beni. Bahwa jika pertemuan di Balai Desa Panaman, situasinya tidak aman bagi mereka. Mereka menyatakan siap berhadapan dengan masyarakat Benihading Leu Pitu, Nalahading, Waq-Lupang, Leu Tubung dan Leu Walang di kantor mana saja (maksudnya kantor Polisi, Pengadilan atau kantor pemerintah lainnya).
Ke 12 Tua Adat dan Warga yang hadir, merasa resah, kecewa dan menjadi berang terhadap sikap ke 6 kepala suku Tuamado tersebut. Tua adat kembali berupaya dan berhasil meredakan kemarahan warga Benihading Leu Pitu terhadap sikap ke 6 kelapa suku, yang tidak menepati kesepakatan sehari sebelumnya. Mereka merasa dipermainkan oleh sikap tersebut.
Musyawarah adat kemudian memutuskan:
· melanjutkan proses penyelesaian kasus tersebut melalui jalur hukum, dan untuk itu berangkat menuju Lewoleba, Kamis, 6 Maret 2008. Utusan ke Lewoleba terdiri dari 13 tua adat dari Benihading Leu Pitu, Nalahading, Waq-Lupang, Leu Tubung dan Leu Walang.
· Menerbitkan Maklumat Pembatalan Penyerahan Tanah Ulayat Wei Puhe dan sekitarnya (Lihat lampiran), yang direncanakan akan diserahkan kepada Bupati Lembata, oleh 12 Tua Adat, dengan didampingi warga masyarakat dari 12 kampung di Benihading Leu Pitu, Nalahading, Waq-Lupang, Leu Tubung dan Leu Walang.
16. Kamis, 6 Maret 2008, Tua-Tua Adat dari Benihading Leu Pitu, Leu Hapu-Hobamatan, Waq-Lupang, Leu Tubung dan Leu Walang sebanyak 13 orang, didampingi 2 anggota Baraksatu, berangkat menuju Lewoleba, untuk menempuh jalur hukum, memproses ke 6 kepala suku dari Tuamado.
Pada petang hari, jam 17.00-23.30, berlangsung musawarah para Tua adat, angota Baraksatu dengan Tokoh-tokoh masyarakat Kedang di Lewoleba, anggota FKTL, di Rumah kediaman Bpk Stanis Kapo Lelangwayan. Musyawarah menyepakati:
· Memproses secara hukum (pidana) ke 6 kepala suku ke Polres Lembata.
· Memberi Kuasa Khusus kepada Stanis Lelangwayan untuk mendampingi masyarakat di dalam proses hukum.
17. Juma`t, 7 Maret 2008, para tua adat menanda-tangani Surat Kuasa Khusus kepada Stanis Lelangwayan, sebagai pendamping hukum masyarakat adat Benihading-Nalahading, Waq-Lupang, Leu Tubung dan Leu Walang..
Lewoleba, Jumat, 7 Maret 2008
Dibuat Bersama oleh:
Para Tua Adat:
· Hobamatan : Leonardus Leu Odel
· Leu Hapu : Muhamad Amin Ea Pu`en
· Leu Nahaq : Remigius Nuba
: Benediktus Beni
· Waqio : Anton Ado Lelang Wayan
· Wulakada : Yohanes Bubun Wulakada
· Aliuroba : Aloysius Rupa Etoehaq
· Peumole : Andreas Leu Namang
· Leudawan Kobar : Lorens Waka Peuleu
Barak Satu:
· Ketua : Eman Ubuq
· Anggota : Johni Lelang Uneq
· Anggota : Theresia Peni Wulakada
Anggota DPRD Lembata Daerah Pemilihan Kedang
Anggota : Aloysius U Uri Murin Etoehaq

Forum Komuikasi Tambang Lembata
Koordinator : Bediona Philipus
Divisi Investigasi & Publikasi : Anton Pati Liman