Selasa, 05 Agustus 2008

Limbah Tambang Berisiko Rusak Jalur Migrasi Paus

Jakarta–Masalah limbah pertambangan yang berpotensi merusak lingkungan akan diserahkan seluruh mekanismenya pada kajian Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal). Terlepas dari potensi kerusakan lingkungan yang ada, pengelolaan dampak lingkungan dari pertambangan di Indonesia diperkirakan jauh lebih baik dari pada negara lain.
“Tambang intan di laut yang baru saja dibuka di Kanada membuat laut harus dikeringkan. Saya sudah lihat beberapa tambang di Australia, Kanada, maupun Amerika, kok rasanya tambang di Indonesia (kecuali PETI dan tambang yang hanya cari rente) masih jauh lebih bagus,” kata Direktur Teknik dan Lingkungan Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Witoro Soelarno, Senin (16/6).
Tanggapan Witoro itu sendiri terkait dengan dugaan akan makin tercemarnya wilayah laut Sawu, yang berada di selatan Lembata, karena akan dibangunnya penambangan emas dengan sistem Submarine Tailing Disposal (STD). Dengan sistem pembuangan limbah yang masih diragukan, yaitu STD tadi, kerusakan lingkungan seperti tercemarnya wilayah laut diperkirakan bisa terjadi. Dampak besarnya kemudian merupakan terputusnya jalur migrasi ikan paus yang hingga kini masih kerap melewati lautan Sawu di selatan Lembata.
Penelitian Benjamin Khan dari Apex Environmental hingga 2007 lalu menemukan kawasan Alor merupakan area ekologi yang penting bagi cetacean laut dan satwa laut besar lain yang bermigrasi. Total dari penelitian mulai tahun 2001, hingga kini ada 18 jenis cetacean telah berhasil diidentifikasi selama 336 pertemuan, dalam 51 hari survei lapangan.
Terdapat nilai 367 jam, dengan jarak jelajah 2916,4 mil dan 112 stasiun suara paus bisa terdengar dengan menggunakan hydrophone. Sementara itu, studi identifikasi foto telah dilakukan untuk dua paus besar, yaitu paus sperm (Physeter macrochepalus) dan paus biru (Balaenoptera musculus). “Dari penelitian tersebut dapat disimpulkan kedua jenis paus tersebut menghabiskan banyak waktu di laut Indonesia,” kata Benjamin.
Dengan pergerakan mencapai ribuan kilometer, celah Solor-Alor yang sempit tapi dalam dan wilayah laut Sawu yang luas, menjadi jalur migrasi sempit pelbagai jenis paus yang penting. Hanya sayangnya, celah sempit tersebut akan digunakan sebagai titik buang limbah yang setidaknya berjumlah 350 ton per 24 jam.
“Tambang emas tersebut bisa menjadi terbesar di Indonesia bahkan Asia Tenggara, dengan perkiraan limbah mencapai 350 ton per 24 jam,” ujar Benjamin Khan, melalui surat elektronik, akhir minggu lalu. Dengan buangan sebanyak itu, Benjamin memperkirakan ekosistem di laut Sawu bisa rusak, dan memusnahkan jalur migrasi paus dunia.
Menurut Witoro, mengenai izin penambangan emas di Pulau Lembata, yang diperkirakan bisa merusak jalur migrasi paus dunia, sebaiknya diserahkan seluruh nilai kompetensinya melalui mekanisme Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal). “Mekanisme ilmiah untuk menyaring kegiatan berdampak signifikan atau tidak sudah ada, yaitu Amdal,” urai Witoro.
“Amdal tersebut harus disusun oleh peneliti murni, tidak punya interest, tidak tergantung pesanan baik yang menginginkan adanya tambang maupun yang memang anti tambang,” kata Witoro.

Kerja Sama Asing
Sementara itu, dari informasi yang diberikan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menunjukan kalau daerah pertambangan akan berada di sekitar wilayah Batu Mera, dibagian selatan Lembata. Kontroversi mengenai tambang tersebut masih berlangsung sampai sekarang. Awal pertikaian telah mulai dari tahun 2007 lalu, di mana para wakil masyarakat melalui Forum Komunikasi Antar Petani Kawasan Laragere (Fokal), Forum Komunikasi Masyarakat Pesisir (Forkomdisir) dan Barisan Rakyat Kedang Bersatu (Baraksatu), menyatakan penolakan mereka terhadap dibangunnya tambang milik PT Pukuafu Indah.
“Sejak bulan Oktober 2006, warga Lembata resah–mendengar rencana pertambangan emas dan tembaga di pulau mereka, apalagi mengetahui sang Bupati dan Ketua DPRD Piter Boli Keraf dengan bersemangat mendukung rencana-rencana perusahaan tersebut,” urai Siti Maemunah dari Jatam.
Belakangan PT Pukuafu Indah menggandeng Kupfer Produkte GmbH Jerman, mendirikan PT Merukh Lembata Copper-untuk meminta status Kuasa Pertambangan dirubah Kontrak Karya. PT Merukh Lembata Copper yang terkait dengan Yusuf Merukh mengklaim mendapatkan dukungan pendanaan, teknis dan pengamanan mulai dari Jerman, Polandia dan Australia.
Sistem STD sendiri terus menjadi kontroversi hingga saat ini. Pada kasus Newmont Minahasa Raya (NMR), tahun 2005 lalu, Sistem STD diperkirakan sebagai penyebab tercemarnya lautan Minahasa dan membuat ikan serta air bersih di tempat tersebut menjadi berbahaya untuk konsumsi manusia.
(sulung prasetyo)

Ketika Masyarakat Bawah Belajar Demokrasi

Oleh Egidius Patnistik/Kompas.com

Demokrasi bukan semata konsep, tapi juga praksis. Di Lembata, NTT, orang mengikuti kelas khusus untuk tahu bagaimana berdemokrasi yang benar.

RAFAEL Suban Ikun tidak pernah membayangkan dirinya bisa membuat seorang bupati tidak nyaman duduk di kursi jabatannya. Ia hanya petani dengan penghasilan tidak pasti di Desa Dikesare, Lebatukan, Lembata, Nusa Tenggara Timur. Bagi dia, bupati merupakan sosok yang jauh, elite, dan tak terjangkau.
Tetapi itu dulu, sekarang ia berani mendebat langsung bupati serta mengecam kebijakannya yang tidak memihak rakyat. "Para elite itu ternyata bisa grogi juga berhadapan dengan kita ha-ha...," kata Rafael di Pantai Lewolein, Desa Dikesare, Lebatukan, Lembata, Mei lalu.
Pertengahan April 2008, bersama sejumlah tokoh adat Lembata, ia dipanggil Bupati Lembata Andreas Duli Manuk. Dalam pertemuan, Andreas berbicara tentang rencana pembukaan tambang emas di pulau itu yang akan dilakukan oleh PT Meruk Enterprise, perusahaan tambang milik Yusuf Meruk. Andreas juga mengeluhkan aksi unjuk rasa tolak tambang yang antara lain dimotori Rafael. Andreas minta agar Rafael menghargai rencana pembukaan tambang tersebut.
Namun, bagi Rafael tidak ada tawar-menawar soal pembukaan tambang. Kampung tempat tinggalnya, Lewolein -- sekitar 60 kilometer dari Lewoleba, ibu kota Lembata -- termasuk wilayah yang akan terkena proyek. Perairan Lewolein yang kaya ikan -- bulan Mei sampai Oktober ada beberapa jenis ikan yang berenang sampai ke bibir pantai dan warga dengan menggunakan tangan bisa menangkap ikan-ikan tersebut -- akan tinggal kenangan jika proyek tambang jadi. Soalnya, pantai Lewolein yang laksana firdaus itu akan menjadi tempat pembuangan tailing.

Sekolah Demokrasi
RAFAEL hanya satu dari sekian sosok masyarakat biasa Lembata yang kini berani bersikap kritis terhadap pemerintah. Gerakan reformasi memungkinkan lahirnya pribadi-pribadi yang berani dan kritis itu.
Kehadiran mereka tidak lepas dari peran Sekolah Demokrasi (SD) di Lewoleba sejak tahun 2005. Sekolah itu berdiri atas prakarasa KID (Komunitas Indonesia untuk Demokrasi), sebuah lembaga nonpemerintah yang berbasis di Jakarta, yang menggandeng mitra lokal LAP (Lembaga Advokasi dan Penelitian) Timoris yang berbasis di Kupang. SD telah melahirkan agen-agen perubahan di pulau yang hampir setiap tahun dilanda kekeringan dan terancam kelaparan itu.
Direktur LAP Timoris, Hipolitus Mawar, mengatakan, SD memang bertujuan untuk melahirkan agen-agen demokrasi di tingkat akar rumput. Konsep demokrasi, katanya, mengandaikan adanya perkembangan wacana yang berkualitas dan partisipasi yang luas dari warga. Wacana berkualitas dan partisipasi luas hanya mungkin jika ada peningkatan pemahaman tentang demokrasi.
SD ingin mengembangkan demokrasi yang membumi dan kontekstual. Demokrasi, kata Hipolitus, sesungguhnya bukan barang baru bagi masyarakat di pelosok-pelosok Indonesia. Hampir setiap daerah punya tradisi demokrasi yang usianya sudah ratusan tahun. Di Lembata misalnya, dikenal tradisi hunahale atau motingmaung, yaitu tradisi pengambilan keputusan yang melibatkan semua warga kampung.
Menurut Hipolitus, pihaknya mencoba menghidupkan lagi tradisi-tradisi itu dengan memasukkan pemahaman tentang demokrasi moderen. Maka dalam modul pelatihan yang diberikan kepada peserta, topik-topik yang dibahas antara lain tentang sejarah pemikiran demokrasi, demokrasi dan HAM, serta tentang sistem politik.
Selain yang bersifat umum, ada sejumlah topik yang diberikan sesuai dengan kebutuhan lokal. Untuk Lembata, modul lokalnya antara lain tentang keterampilan kepemimpinan, budgeting, dan pelatihan penulisan. Topik-topik itu dinilai diperlukan untuk Lembata yang resmi jadi kabupaten tahun 1999, hasil pemekaran dari Kabupaten Flores Timur.
Paket pelatihan di SD berlangsung setahun. Sekitar sepekan dalam sebulan peserta berkumpul untuk mengikuti aneka pelatihan. Di seluruh Indonesia, sekolah seperti itu ada lima lokasi yaitu di Tangerang (Banten), Malang (Jawa Timur), Banyuasin (Sumatra Barat), Jeneponto (Sulawesi Tenggara), dan Lembata. Di Lembata, pesertanya berasal dari berbagai latar belakang: ada petani, kepala desa, sekretaris desa, karyawan swasta, kader partai sampai anggota DPRD.

Pengaruh
ALUMNI SD Lembata kini mewarnai kehidupan berdemokrasi di pulau seluas 1.339 kilometer persegi dan berpenduk sekitar 125.000 jiwa itu. Rafael yang alumnus angkatan pertama, tahun lalu terpilih sebagai kepala desa meski sampai saat ini tak kunjung dilantik. Ia juga Ketua Forum Masyarakat Desa Pesisir Timur, Kecamatan Lebatukan. Beberapa kali ia memobilisasi warga untuk berunjuk rasa di kantor bupati. Di depan Bupati Andreas Duli Manuk ia berorasi dan mengecam rencana pembukaan tambang emas. Ia mengaku, SD memberinya banyak pemahaman tentang demokrasi serta keberanian dan keterampilan untuk berbicara di depan umum.
Alumnus lain, Aloysius Urbanus Uri Murin atau Alwi Murin adalah anggota DPRD Lembata dari Partai Nasional Banteng Kemerdekaan. Alwi menjadi satu-satunya anggota DPRD -- dari 20 orang anggota -- yang secara terbuka menolak rencana pembukaan tambang emas di Lembata. Ketika DPRD Lembata melakukan studi banding ke Newmont Minahasa Utara di Sulawesi Utara, Alwi tidak mau ikut. Ia kemudian mempersoalkan studi banding yang didanai APBD, padahal dalam APBD Lembata 2008 tidak ada anggaran untuk itu.
Ketika semua anggota DPRD Lembata bertemu dengan Yusuf Meruk di Hotel Nikko Nusa Dua, Bali Mei lalu, Alwi juga tidak mau ikut. Ia hanya menitipkan alat perekam kepada temannya. Isi pembicaraan pada pertemuan itu berdasarkan hasil rekaman ia sebarkan ke masyarakat. Ia bergerak sendiri namun ia tidak peduli. SD, katanya, memberinya pencerahan.
Masih ada sejumlah alumni lain yang berjuang dengan cara mereka masing-masing. Seorang perempuan alumnus misalnya, kini terpilih sebagai kepala desa.
Hipolitus Mawar mengemukakan, pelaksanaan SD sangat memberi harapan bagi proses demokrasi di Lembata. "Sangat luar biasa (dampaknya). Dalam kasus tambang misalnya, alumni jadi pengerak penolakan di desa-desa," katanya.
Ia memperkirakan, alumni sekolah itu dua atau tiga tahun ke depan akan banyak mempengaruhi kehidupan politik Lembata. "Sekarang banyak kader dan ketua partai politik yang ikut. Pada pemilu tahun depan bukan tidak mungkin mereka akan mendapat kursi di DPRD. Tentu kita berharap, mereka bisa membawa suasana lain," kata Hipolitus.

Kurang Kreatif
NAMUN sikap kritis para alumni itu membuat sejumlah pihak gerah. Alwi Murin misalnya dikucilkan fraksinya di DPRD. Rafael dan beberapa alumni lain yang terpilih sebagai kepala desa tidak kunjung dilantik. Berkembang dugaan, para kepala desa terpilih tidak dilantik karena mereka alumni SD yang bersikap oposan terhadap pemerintah. Namun Pemda Lembata membantah dengan mengatakan bahwa sejumlah kepala desa belum dilantik semata karena alasan administratif.
Selain ada kendala eksternal, Alwi Murin justru lebih mencemaskan semangat dan kreativitas para alumni yang kurang. Menurut Alwi, semangat dan kreativitas alumni sejauh ini sangat tergantung pada fasilitas yang disediakan KID. Masalahnya, KID tidak mungkin akan terus memfasilitasi alumni. "Kalau tidak ada rangsangan atau anggaran, tidak ada kegiatan. Itu yang saya sayangkan. Harus dipikirkan bagaimana agar kegiatan tetap bisa berjalan walaupun tidak ada rangsangan dari KID," kata Alwi yang menjadi ketua ikatan alumni atau Komite Komunitas Demokrasi Lembata.
Selain idealisme gerakan perubahan memang perlu energi lebih serta fasilitas. Semoga saja sikap kritis yang baru mulai mekar itu tidak lalu layu hanya karena persoalan 'rangsangan'.(*)

Tambang dan Demokrasi di Lembata

Oleh: Dr. Paul Budi Kleden, SVD
-------------------------------------------
Staf Pengajar STFK Ledalero, Maumere-Flores
-------------------------------------------

MENDIANG Romo Mangun sering berbicara mengenai pentingnya kosmologi yang
melatari segala setiap rencana konkret pembangunan. Pemahaman tentang dunia
(tentu saja termasuk manusia) macam mana yang sebenarnya menjadi konsep dasar
yang melahirkan rencana pembangunan seperti itu? Ada rencana tertulis, tetapi
yang penting justru apa yang disebut sebagai hidden konsep atau paradigma dasar
yang tidak muncul secara eksplisit, yang terselubung, namun efektif mewujudkan
dan mewarnai seluruh rencana. Paham dasar inilah yang perlu diangkat dan
dibahas, dipertegas kalau memang tepat, dan diubah kalau ternyata mengangkangi
sejumlah nilai ekologis dan kemanusiaan universal.
Rencana tambang di Lembata yang memunculkan reaksi keras dari masyarakat
Lembata dan mengundang perhatian publik luar Lembata merupakan kasus yang tidak
muncul begitu saja. Dia lahir dari satu rahim pemahaman dasar tentang kekuasaan
yang perlu disikapi secara cermat. Dari kasus ini dapat dielaborasi, konsep
kekuasaan macam mana yang dimiliki para penguasa di Lembata? Apakah ini
demokrasi? Atau justru satu feodalisme yang tersisa dari masa lalu? Dan kasus
ini bukan hanya selesai dengan pembatalan atau berjalannya tambang, tetapi
memiliki dampak yang jauh lebih luas, yakni mengubah paradigma penyelenggaraan
kekuasaan.
Sudah terlampau klasik rumusan demokrasi sebagai penyelenggaraan kekuasaan
dari, oleh dan untuk rakyat. Ketiga kata depan ini mempunyai nilai yang sejajar
dan sama penting. Demokrasi tidak bisa dikatakan ada kalau hanya ditekankan
masalah proseduralnya (dari dan oleh), tanpa memperhatikan substansinya
(untuk). Demikian pula, demokrasi belum terwujud, jika penyelenggaraan
kekuasaan itu dikatakan demi rakyat (untuk), namun sama sekali mengabaikan
rakyat dalam proses pengambilan keputusannya (dari dan oleh). Dalam kasus
pertama kita berhadapan dengan penguasa yang korup, dalam kasus kedua kita
berusan dengan penguasa yang arogan. Dan tentu soalnya menjadi lebih parah,
apabila baik proses maupun substansi penyelenggaraan kekuasaan sama sekali
menyepelekan rakyat. Rakyat tidak dilibatkan dalam proses, dan tidak
diperhitungkan sebagai sasaran penyelenggaraan kekuasaan. Di sini kita
menjumpai sosok penguasa yang feodal, yang memiliki pemahaman dasar: negara
adalah saya, atau kabupaten adalah saya. Rakyat? Mereka dipandang terlalu lemah
untuk menggalang kekuatan, dan terlalu bodoh guna memahami kedalaman pemikiran
dan keluhuran cita rasa sang penguasa.
Paradigma feodalisme sangat kuat dalam masa Orde Baru. Reformasi tidak lain
adalah gerakan masyarakat yang lahir dari pemahaman dasar rakyat akan
dirinyasebagai sumber dan arah penyelenggaraan kekuasaan. Namun reformasi hanya
dikatakan berhasil, apabila gerakan ini sanggup mengubah pemahaman dasar dalam
diri para pemangku kekuasaan. Selama konsep dasar para penguasa ini masih
feodalistis, maka reformasi sebenarnya masih jauh panggang dari api. Dan di
banyak tempat di republik ini, kenyataannya masih seperti itu.
Memperhatikan kasus Lembata, tampaknya masih menjadi tugas yang penting dan
serius dari semua elemen masyarakat untuk menjadi demokratis. Rakyatnya sudah
sadar akan perannya, dan telah menunjukkan diri sebagai warga yang tidak lemah
dan tidak bodoh. Mereka sanggup dan mampu menggalang kekuatan, dan merasa
dilecehkan saat haknya tidak diperhatikan. Perjuangan tanpa kekerasan yang
terjadi hingga sekarang merupakan bukti, bahwa mereka adalah warga yang cerdas,
yang mempertimbangkan matang-matang cara perjuangannya, agar tidak gampang
dibelokkan oleh siapapun. Kenyataan ini menunjukkan bahwa warga masyarakat
sudah mulai menjadi warga yang demokratis, yang menolak bentuk-bentuk
penyelenggaraan kekuasaan yang feodalistik. Hal ini merupakan satu basis
kekuatan ke arah demokratisasi.
Menanggapi desakan massa pada tanggal 23 Juli yang lalu agar bupati dan Wakil
Bupati Lembata menyampaikan sikapnya secara tegas, jawaban yang diberikan
melalui Kasat Pol-PP dan Kabag Binamitra Polres Lembata adalah 'akan
mempelajari pernyataan tersebut'. Artinya, mereka minta waktu untuk membuat
studi lagi mengenai pernyataan sikap masyarakat penolak tambang. Pernyataan
bupati ini memang sangat lemah untuk memberikan harapan bagi langkah
demokratisasi, namun betapapun lemahnya, pernyataan ini toh dapat memancing api
harapan. Sebab, demokrasi memang hidup dari harapan para pejuangnya. Namun,
harapan ini akan diperkokoh dan tetap dipercaya, apabila studi tersebut
menempatkan rakyat sebagai pemilik dan sasaran penyelenggaraan kekuasaan.
Rakyat sudah menyatakan sikapnya secara tegas untuk menolak tambang, maka sikap
inilah yang hendaknya menentukan pertimbangan pemerintah di Lembata
selanjutnya. Dalam alam demokrasi, merevisi sebuah keputusan karena desakan
masyarakat, betapapun beratnya, bukanlah sebuah kekalahan penguasa. Penguasa
toh tidak sedang berperang melawan rakyatnya. Pemerintahan yang demokratis akan
mengaku keliru menafsir kehendak masyarakat dan bersedia memperbaikinya atas
desakan eksplisit dari masyarakat. Tetapi, Lembata akan kembali ke alam
feodalisme Orde Baru seandainya langkah susulan setelah pernyataan kesediaan
tersebut adalah merancang taktik memecahbelah masyarakat, menyumbat mulut-mulut
kritis dan melumpuhkan kegesitan serta menumpulkan ketajaman insan pers dengan
berbagai hadiah dan janji.
Jalan ke arah demokratisasi juga sangat ditentukan oleh pemahaman dan sikap
DPRD. Paradigma penyelenggaraan kekuasaan macam mana yang ada dalam benak dan
hati para wakil rakyat tersebut? Adanya DPRD tidak dengan sendirinyaberarti
sudah ada demokrasi. Dalam era Orde Baru, lembaga perwakilan adalah bagian dari
proses absolutisasi kekuasaan di tangan seorang penguasa. Bukan pengalaman baru
di negara ini, bahwa lembaga perwakilan rakyat mengingkari hakikatnya sebagai
perwakilan, dan memahami diri sebagai tuan atas rakyat, yang dinilai tak bisa
apa-apa dan tak tahu apa-apa. Pernah terjadi dalam sejarah bangsa ini, bahwa
para wakil rakyat beranggapan, rakyat telah menanggalkan pikirannya dan
menyerahkan diri sepenuhnya kepada kebijaksanaan para wakilnya. Para wakil
rakyat seperti ini pun sebenarnya bersifat feodal.
Di Lembata, para wakil rakyat mengambil keputusan untuk membuat studi banding
ke dua tempat. Apakah ini sebuah keputusan yang lahir dari satu pemahaman diri
sebagai wakil rakyat dalam satu bingkai demokrasi? Pertanyaan ini penting,
karena terlampau lumrah di republik ini bahwa studi banding adalah nama lain
dari jalan-jalan atas ongkos rakyat. Kalau hendak dilaksanakan dengan
sungguh-sungguh, studi banding tidaklah gampang. Studi saja sudah berat,
apalagi studi banding! Kasus tambang adalah kasus yang berat, maka studi
banding harus dilakukan dengan kesungguhan.
Perlu disadari bahwa studi banding hanya bermafaat apabila sekurang-kurangnya
dua syarat berikut dipenuhi. Pertama, yang membuat studi tersebut memiliki
pemahaman yang benar tentang kondisi wilayahnya sendiri. Tanpa pemahaman ini,
tidak ada yang bisa dibandingkan. Kondisi geografis dan keadaan ekologis dari
wilayah sendiri perlu diketahui. Termasuk dalam pemahaman wilayah sendiri
adalah mengetahui kondisi masyarakat dan mengenal kecemasan serta kegelisahan
mereka. Bagaimana kebudayaan mereka, konsep mereka tentang tanah, persoalan
kepemilikan tanah dalam tradisi asli merupakan faktor-faktor yang sangat
menentukan entahkah sebuah proyek pembangunan itu populis atau represif.
Kenyataan, DPRD Lembata tidak bersedia memberikan jawabannya yang pasti
terhadap masyarakat pesisir dan Leragere yang menolak tambang, yang datang
untuk menyampaikan sikapnya pada sejak Desember 2006. Janji untuk mengadakan
sidang paripurna khusus terhadap masyarakat yang datang tanggal 11 sampai 13
Juni 2007, tidak dipenuhi. Yang diterima secara hangat hanyalah kelompok
masyarakat yang menyetujui penambangan pada tanggal 25 Juni 2007. Kalau
sikapnya seperti itu, apakah para anggota DPRD Lembata sungguh memahami
kegelisahan dan kecemasan masyarakatnya yang menolak tambang? Dalam kondisi
seperti ini, apakah DPRD Lembata berada dalam situasi yang tepat untuk membuat
studi banding? Boleh jadi para anggota DPRD sudah merasa paham akan persoalan
masyarakatnya. Perasaan memang merupakan satu kapasitas manusia yang penting.
Harapan kita, semoga perasaan itu tidak keliru.
Kedua, sebuah studi banding perlu terarah kepada semua hal yang dipandang
krusial bagi wilayah sendiri. Dalam kasus tambang, yang perlu mendapat
perhatian dalam studi banding adalah persoalan proses pembuatan
keputusanpenambangan, masalah kesejahteraan rakyat, dan dampak ekologis serta
sosial yang ditimbulkannya. Persoalan proses pembuatan keputusan menjadi
penting, karena ini juga menjadi soal krusial di Lembata. Demikian pula tujuan
yang dicapai dengan penambangan tersebut. Apakah penambangan di tempat studi
banding sungguh mendatangkan kesejahteraan para warga? Dan apa dampak ekologis
dan sosialnya? Sasaran studi banding ini akan menentukan, siapa yang didekati
sebagai nara sumber dalam studi. Tidak hanya perusahaan penambang, tetapi juga
pemerintah, LSM-LSM yang berkomitmen terhadap masalah kebudayaan dan lingkungan
serta mayarakat yang mendukung dan menolak tambang. Di Lewoleba DPRD Lembata
tidak bersedia menerima masyarakat penolak tambang. Kiranya mereka juga membuat
studi tentang sikap mereka ini, dan di lokasi studi banding bersedia
mendengarkan masyarakat penolak tambang.
Sebuah studi banding dapat melahirkan dua alternatif keputusan. Akan dibuat
sesuatu seperti yang terjadi di lokasi studi banding, atau tidak akan dibuat
sesuatu seperti yang dilakukan di lokasi studi banding. Ungkapan keputusan bisa
berbunyi: "Kita buat seperti yang mereka lakukan di sana", atau "Kita tidak
akan lakukan seperti yang mereka buat di sana". Hasil inilah yang akan
menunjukkan konsep dasar para wakil rakyat Lembata, entahkah demokratis atau
tidak. Keputusan itu jugalah yang akan menyingkapkan, atas nama siapa para
wakil rakyat Lembata pergi membuat studi banding. Artinya, keputusan itulah
yang menyatakan, siapa yang dimaksudkan dengan 'mereka' dalam ungkapan di atas.
Kalau para anggota DPRD pergi atas nama perusahaan, maka mereka akan
mempelajari apa yang perlu dilakukan lembaganya agar keinginan perusahaan dapat
diwujudkan. Apabila mereka pergi atas nama dan demi rakyat Lembata, yang di
lokasi rencana penambangan sudah menyatakan sikap tegas menolak tambang, maka
yang dipelajari adalah strategi mana yang perlu ditempuh DPRD supaya sikap
masyarakat ini direalisasikan. Rakyat penolak tambang di lokasi studi banding
kalah berhadapan dengan penguasa dan pengusaha. Kalau DPRD Lembata sungguh pro
rakyat, maka mereka akan sungguh-sungguh belajar tentang kelemahan DPRD lokasi
studi banding agar dapat bertindak lebih tepat guna membela rakyat. Langkah
studi banding dinilai sebagai langkah penting bagi DPRD dalam menentukan
sikapnya. Kita berharap bahwa sikap itu sungguh demokratis.
Konsep dasar yang melatari dan menjiwai pemikiran seseorang tampak ketika
terjadi benturan dengan gagasan dan rencana orang lain. Benturan-benturan itu
dapat membantu seseorang untuk mengoreksi dan mengubah paradigma berpikirnya,
kalau memang paradigma itu tidak dapat lagi dipertahankan. Atas desakan
masyarakat Bupati Lembata menyatakan akan mempelajari dulu tuntutan masyarakat.
Dan DPRD Lembata membuat studi banding. Akankah ada perubahan sikap setelah
bupati membuat studi atas tuntutan masyarakat danDPRD melakukan studi banding?
Akankah ada perubahan sikap sehingga bisa dibuat perbandingan? Sangat berarti
bagi demokratisasi, apabila ada sikap yang jelas dan sungguh pro rakyat dalam
rangka demokrasi. Kalau demikian, nanti bisa dibuat studi banding di Lembata
sendiri, tak usah jauh-jauh. (*)

Flores Timur: Wacana Budaya dalam Pentas yang tidak Berbudaya


Oleh: Marianus Kleden
-------------------------------
Dosen FISIP Unwira
-------------------------------

BUPATI Flores Timur telah melemparkan bola panas yang terus menggelinding: melaksanakan pembangunan berbasis budaya. Gagasan ini disampaikannya dalam banyak kesempatan khususnya ketika turun ke desa-desa pada saat pelantikan kepala desa. Dalam berbagai sambutan, juga dalam wawancara dengan wartawan wacana ini selalu dikedepankan, dan sekali waktu ketika beliau menghadiri pemakaman ibunda setahun lalu, gagasan ini disampaikannya juga kepada saya.
Tidak jelas benar apa yang dimaksudkannya dengan 'pembangunan berbasis budaya' dan tidak jelas juga bagaimana wacana (dalam arti asli: discourse, pertukaran pendapat dengan argumentasi yang kuat untuk menghasilkan sebuah gagasan yang jernih) ini diimplementasikan. Namun satu hal yang cukup konsisten dikatakan bupati ialah bahwa jabatan publik merupakan amanah yang harus dibaktikan bagi kepentingan ribu ratu (rakyat banyak). Dan ini dibuktikannya dengan sebuah pengelolaan keuangan yang 60 hingga 70 persennya dialokasikan untuk kepentingan rakyat. Lembaga audit negara akhirnya menempatkan Bupati Flotim sebagai salah seorang bupati dengan pengelolaan keuangan terbaik di Indonesia (meskipun bagi saya ini pun masih debatable karena pascaperampingan birokrasi ada kurang lebih Rp 9 M yang hilang dari peredaran yang membuat segmen pembeli berkurang dan berkurang pula komoditas masyarakat yang terserap dalam perputaran uang. Artinya, kalau Flotim bisa hidup lebih sejahtera dengan birokrasi yang gemuk, mengapa harus dikuruskan?).
Lepas dari pengelolaan uang, maka aspek lain dari wacana budaya ini masih kabur, baik dalam konsep maupun dalam implementasinya. Yang menonjol ke permukaan adalah beberapa statemen sang bupati yang memperlihatkan kecenderungan etnosentrik untuk menjadikan Flores Timur sebagai asal mula dan pusat peradaban. Bagi saya ini merupakan sebuah kekagetan yang amat terlambat, ibarat seorang anak kecil yang bangun kesiangan dan merasa dialah orang pertama yang menemukan matahari. Kecenderungan etnosentrik adalah kecenderungan purba yang melanda praktis semua suku bangsa di dunia, termasuk juga Flores Timur.
Kalau pemimpin bangsa-bangsa dijejerkan lalu orang bertanya, di manakah pusat bumi, maka Raja Jawa akan maju dan bilang: pusat bumi ada di Jawa. Di sana ada Merapi yang menjadi poros bumi, dan orang yang memimpin tanah Jawa disebut dia yang memangku alam semesta ini (mangkubumi) atau dia yang memangku buana ini (hamengkubuwono). Kaisar China segera menyela: Oh, maaf saudara, Tiongkok adalah pusat dunia. Tiongkok merupakan chung kuo, yaitu wilayah yang dikitari tembok tinggi. Di dalam wilayah itu hiduplah orang-orang beradab, sementara di luar tempok hanya ada orang-orang biadab. Tidak mengherankan kalau ada sebuah hadis (meskipun tidak sahih menurut Nurcholis Madjid) yang berbunyi: Belajarlah hingga ke negeri China.
Mendengar penjelasan Kaisar China ini kumis Hitler gemetar tidak karuan lalu nyerocos: Entschuldigung! Deutschland Über alles! Keyakinan bahwa bangsa Jerman mengatasi semua bangsa yang lain dan bahwa bangsa Arya merupakan bangsa yang paling refined dalam proses evolusi sehingga semua bangsa lain harus dimusnahkan, telah melahirkan kebijakan kejam Hitler membantai bangsaYahudi.
Raja Inggris yang sejak tadi tak sabaran, menyerobot dengan ketus: It is British that rules the waves, hanya orang Inggrislah yang bisa menaklukkan samudra raya. Dalam pada itu Tenno Heika, Kaisar Jepang yang tidak pernah ekspresif dalam bertutur, dan hanya menyimpan kebanggaan yang tidak pernah diungkapkan, dalam sikap santun yang amat bangsawani, menggumam: Mereka tidak tahu kalau saya ini Amaterasu Omikami, putra matahari yang menyinari dunia. Tanpa saya dunia menjadi gelap.
Kecenderungan etnosentrik juga bisa tampak dalam satuan wilayah yang lebih kecil. Apabila kita keliling Adonara lalu bertanya di manakah adonara-kepuhun (pusat Adonara), maka jawabnya bisa bervariasi: bisa di kampung Adonara, bisa di Gunung Boleng, bisa di Witihama dan bisa pula di Adobala.
Apakah Flores Timur merupakan awal mula peradaban? Dalam arti terbatas: ya! Misi awal Gereja Katolik dimulai di Solor. Di Flores Timur pulalah dihasilkan guru-guru generasi pertama yang menyebarkan agama ke arah barat terutama ke Ngada dan Manggarai, dan ke Sumba. Konon nama Waikabubak diberikan oleh Guru Ande, ayahanda dr. Hendrik Fernandez, mantan Gubernur NTT. Penyebaran agama adalah penyebaran perabadan: bukan hanya agama yang diajarkan melainkan banyak hal seperti musik khususnya lagu-lagu gerejani dan lagu-lagu rakyat, olahraga, keterampilan menjahit dan memasak (dua perkara di mana nyora guru sangat berperan, jauh sebelum PKK digalakkan perannya), keterampilan dalam budidaya pertanian dan peternakan, dst. Watak perintisan ini hingga dewasa ini kiranya tetap menonjol. Misi SVD di Madagaskar dimulai oleh Pater Anton Beki Kedang, putra Waibalun, Flores Timur, dan misionaris SVD asal Indonesia yang pertama dikirim ke Jepang adalah Pater Bruno Dasion, putra Lamalera yang juga merupakan bagian Flores Timur sebelum Lembata mekar menjadi kabupaten sendiri.
Ceritera Pater Anton tentang Madagaskar menegaskan bagaimana peradaban itu berdifusi, dan itu dimulai dari "Flores Timur": sang pastor bukan hanya merayakan misa dan berkhotbah tetapi mengajar jemaatnya membuat minyak kelapa, memasak sayur rumpu rampe yang bahan lokalnya berlimpah ruah tetapi tidak pernah dimanfaatkan, memelihara ternak dan mengatur rumah tangga.
Bruno Dasion, di lain pihak, tidak membuat bangsa Jepang menjadi lebih beradab, karena Jepang sudah sangat tinggi peradabannya, tetapi seluruh performans akademiknya, tutur katanya yang halus dalam bahasa Jepang 'kromo' yang amat piawai, pastoralnya yang sangat bersahabat, membuat bangsa Jepang kaget bahwa bukan hanya mereka yang boleh 'menyinari' bangsa lain, tetapi mereka pun bisa 'disinari' oleh bangsa lain, yang kebetulan saja berasal dari 'Flores Timur'.
Namun demikian beberapa kenyataan dan beberapa 'kebetulan' ini tidak perlu menghasilkan etnosentrisme apalagi sovinisme - terlebih kalau kedua semangat ini dibangkitkan dengan cara yang mengada-ada seperti membuat penafsiran abitrer atas kata-kata Lamaholot yang menginsinuasikan kemiripan nama dengan tempat kelahiran Yesus atau Nabi Muhammad. Menyamakan Meko dengan Mekkah atau menjelaskan Indonesia sebagai ina done sia adalah sebuah tindakan sembrono yang menyimpang jauh dari prinsip-prinsip semantika dan semiotika. Tindakan ini sama sembrononya seperti guru SD yang mengajarkan muridnya bahwa Islam merupakan singkatan dari isa, subuh, lohor, asyar, maghrib, sementara guru yang bersangkutan tidak tahu kalau lohor adalah pengindonesiaan kata Arab dhuhur. Kesalahkaprahan semantik juga tampak di tengah masyarakat ketika mereka mengira bahwa guru adalah singkatan dari di-gugu dan ditiru, atau wanita adalah singkatan dari wana ing tata.
Penelitian tentang dunia Lamaholot telah dilakukan oleh banyak peneliti seperti Paul Arndt (1937), Barnes (1993), Gorys Keraf (1978), Kopong Medan (2006) dan seterusnya, dan dalam berbagai kajian itu sama sekali tak ada insinuasi bahwa Lamaholot merupakan pusat dan awal mula peradaban. Malah cara pandang harus dibalik sama sekali: proses pemeradaban justru datang dari luar. Kalau ditelusuri berbagai strata sosial yang ada di Flores Timur, maka strata sosial yang dikategorikan sebagai raja, bangsawan, penguasa (yaitu mereka dapat disebut sebagai pemicu kemajuan), adalah pendatang, baik dari sebuah wilayah nun jauh di sebelah Barat yang bernama Sina Jawa maupun di sebelah Timur yang bernama Seran Goran. Malah morfologi fisik Raja Larantuka dan keturunannya amat jelas memperlihatkan ciri-ciri Kaukasoid mediteranea. Nama-nama Sina Jawa dan Seran Goran sulit dilokalisir karena lebih merupakan nama generik untuk sebuah tempat yang ada in illo tempore dan in illo loco.
Gejala bahwa pendatang menjadi penguasa, bukan hanya ada di Flores Timur tetapi ada di berbagai suku bangsa di dunia dengan alasan yang amat logis, yaitu bahwa pendatang selalu lebih peka melihat berbagai alternatif untuk membangun sebuah tempat baru, sementara kepintaran, kekayaan dan keterampilan yang dibawa oleh pendatang mulai diapresiasi oleh warga setempat sebagai keunggulan yang perlu dikompensasi dengan status tertentu. Dalam perjalanan waktu, pendatang sesungguhnya melakukan kolonisasi teritori dan apropriasi aset, namun tindakan yang sama dengan penjajahan ini telah diubah oleh kebijaksanaan warga lokal menjadi sebuah tatanan baru dengan mengikorporasikan pendatang menjadi bagian integral dalam pembagian kerja (division of labor) yang sudah ada. Pendatang mendapat peran baru sebagai Ata Kebelen yang menjalankan administrasi pemerintahan. Untuk mengokohkan legitimasi mereka sebagai penguasa dibuatlah mitologi tentang asal usul penguasa baru sebagai 'anak kedua' karena 'anak pertama' - yang sibuk mengurus warisan orangtua, tanah, kebun, dan berbagai urusan adat lainnya tidak dapat bersekolah, tidak luas pergaulannya, dan tidak terampil baca tulis - tidak memiliki keterampilan yang memadai untuk mengelola pemerintahan. Istilah 'anak kedua' menjadi semacam appeasement terhadap 'anak pertama' yang posisinya 'direbut' sekaligus menjadi etiologi dan penjelasan bagi kekuasaan yang diembannya. Karena itu kalau ditelusuri pembagian kerja yang melekat pada stratifikasi sosial, maka peran dan kedudukan lewo alap (tuan tanah, pemilik kampung) dan ata kebelen (kelompok aristokrat) lebih sering tidak paralel atau tidak sejajar.
Kalau di masa lampau warga pendatang diinkorporasikan menjadi bagian integral dari tatanan masyarakat setempat di mana pembagian kerja menempatkan mereka sebagai penguasa, maka dewasa ini pendatang baru yang memasuki sebuah wilayah dengan sistem kekerabatan yang rigid tetap juga mengalami inkorporasi yang sama, dengan alasan bahwa dalam urusan perkawinan dan kematian, warga tidak dapat bertindak sebagai individu, atau sebagai keluarga batih yang tertutup, melainkan sebagai warga dari sebuah marga atau sistem kekerabatan. Perkawinan dan kematian tetap merupakan peristiwa komunal, dan tidak dapat diperlakukan sebagai peristiwa individual.
Semua ini keluar dari filsafat Lamaholot yang tidak melihat dirinya secara tertutup dan eksklusif, melainkan dari kesadaran bahwa dia selalu berhubungan atau melekat (holo, holot) dengan orang lain. Dalam sebuah teks yang amat tua yang diperiksa oleh Paul Arndt, holo juga berarti manusia. Ini artinya manusia yang sejati, manusia yang benar adalah adalah manusia selalu melihat dirinya dalam hubungan dengan orang lain, dengan lingkungannya dan dengan Tuhan. Dengan kata lain: manusia yang benar adalah manusia yang menjaga persatuan dan kebersamaan. Dengan menjadikan ini sebagai pegangan kita bertanya, manakah tugas pemimpin dan manakah tugas warga?
Tugas pemimpin adalah pehen lewo, pegen tana, menyelenggarakan tugas-tugas pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan sedemikian rupa sehingga masyarakat itu bersatu helo tapo tonu mating olon/nopen jin jawa, seperti buah kelapa dalam satu jinjingan, seimbang. Sikap-sikap ekstrem yang mempertahankan pendapat dengan dalih bahwa yang disampaikan adalah pendapat pribadi, jelas-jelas salah, karena begitu seseorang mengemban jabatan publik, pada dirinya hampir tidak tersisa area privat. Seorang presiden tidak bisa keseringan batuk dan terlalu banyak minum air putih dalam sidang kabinet, karena penampilannya yang memberi kesan kurang sehat segera membuat kurs rupiah anjlok di pasar bursa. Demikian pula apa pun yang diucapkan seorang bupati, tidak bisa lepas dari kapasitasnya sebagai pejabat publik. Dengan demikian seorang bupati yang taat azas kepada budaya Lamaholot harus lage ae niku kola, peten pali hukut bauk: melangkah maju tetapi selalu menoleh ke belakang, ingat kepentingan hari ini tetapi tidak boleh mengabaikan kepentingan yang akan datang. Dengan lain perkataan, setiap kebijakan, termasuk juga ucapan, selalu harus dievaluasi kembali dengan memperhatikan gejolak yang ada. Konsistensi penting, tetapi ribu ratu toh jauh lebih penting dari konsistensi.
Lalu di manakah tugas warga? Tugas warga adalah hunge baat, tonga blola, menghormati dan menjunjung tinggi pemimpin yang dipilihnya. Kalau bupati mengeluarkan ucapan yang menyinggung martabat warga, bahkan menyesatkan warga, maka warga perlu tobo tiba pae badi/koda pulo kirin lema/puin taan uin tou/gahan taan kahan ehan/pana taan kuno mupur/gawe taan teba lalan yang secara singkat berarti duduk bersama melakukan adu argumentasi yang jernih sehingga dicapai kesepakatan bersama yang relatif bisa diterima semua pihak, tanpa perlu mencederai semangat persaudaraan. Musyawarah yang tersumbat membuat masyarakat memilih demonstrasi sebagai jalan keluar.
Tetapi kita lalu bertanya, martabat warga mana yang diinjak-injak, dan warga mana pula yang telah disesatkan oleh ucapan bupati? Saya berani bertaruh: dari 230an ribu penduduk Flores Timur tak seorang pun yang telah disesatkan. Lalu apa gunanya membuang begitu banyak energi dengan melakukan demonstrasi berkepanjangan, dengan orasi yang bertele-tele, kalau tak satu ucapan pun yang dihiraukan oleh sang bupati?
Di lain pihak, tugas-tugas pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan harus dilakukan sedemikian rupa sehingga warga tidak dipecah belah. Dalam beberapa kali unjuk rasa warga memperlihatkan sikap kurang hormat kepada pemimpinnya dengan mengeluarkan kata-kata yang kurang patut. Warga tidak bisa menjunjung tinggi martabat pemimpinnya karena pemimpin tidak lage ae niku kola, melangkah maju tetapi tidak menoleh ke belakang.
Yang terjadi di Flores Timur, dengan demikian, adalah sebuah ironi: meneriakkan agar pembangunan didasarkan pada budaya, tetapi yang terjadi sama sekali tidak mencerminkan budaya: mempertahankan pendapat pribadi secara ekstrem, melakukan demonstrasi yang sama sekali tidak memberi ruang kepada musyawarah dan dengar pendapat, tidak menghormati pemimpin yang dipilih, dan tidak menghargai aspirasi yang lahir dari wacana publik. Yang tampak adalah sebuah wacana budaya dalam sebuah pentas yang sama sekali tidak berbudaya. *

Flores Timur: Wacana Budaya dalam Pentas yang tidak Berbudaya

Oleh: Marianus Kleden
-------------------------------
Dosen FISIP Unwira
-------------------------------

BUPATI Flores Timur telah melemparkan bola panas yang terus menggelinding: melaksanakan pembangunan berbasis budaya. Gagasan ini disampaikannya dalam banyak kesempatan khususnya ketika turun ke desa-desa pada saat pelantikan kepala desa. Dalam berbagai sambutan, juga dalam wawancara dengan wartawan wacana ini selalu dikedepankan, dan sekali waktu ketika beliau menghadiri pemakaman ibunda setahun lalu, gagasan ini disampaikannya juga kepada saya.
Tidak jelas benar apa yang dimaksudkannya dengan 'pembangunan berbasis budaya' dan tidak jelas juga bagaimana wacana (dalam arti asli: discourse, pertukaran pendapat dengan argumentasi yang kuat untuk menghasilkan sebuah gagasan yang jernih) ini diimplementasikan. Namun satu hal yang cukup konsisten dikatakan bupati ialah bahwa jabatan publik merupakan amanah yang harus dibaktikan bagi kepentingan ribu ratu (rakyat banyak). Dan ini dibuktikannya dengan sebuah pengelolaan keuangan yang 60 hingga 70 persennya dialokasikan untuk kepentingan rakyat. Lembaga audit negara akhirnya menempatkan Bupati Flotim sebagai salah seorang bupati dengan pengelolaan keuangan terbaik di Indonesia (meskipun bagi saya ini pun masih debatable karena pascaperampingan birokrasi ada kurang lebih Rp 9 M yang hilang dari peredaran yang membuat segmen pembeli berkurang dan berkurang pula komoditas masyarakat yang terserap dalam perputaran uang. Artinya, kalau Flotim bisa hidup lebih sejahtera dengan birokrasi yang gemuk, mengapa harus dikuruskan?).
Lepas dari pengelolaan uang, maka aspek lain dari wacana budaya ini masih kabur, baik dalam konsep maupun dalam implementasinya. Yang menonjol ke permukaan adalah beberapa statemen sang bupati yang memperlihatkan kecenderungan etnosentrik untuk menjadikan Flores Timur sebagai asal mula dan pusat peradaban. Bagi saya ini merupakan sebuah kekagetan yang amat terlambat, ibarat seorang anak kecil yang bangun kesiangan dan merasa dialah orang pertama yang menemukan matahari. Kecenderungan etnosentrik adalah kecenderungan purba yang melanda praktis semua suku bangsa di dunia, termasuk juga Flores Timur.
Kalau pemimpin bangsa-bangsa dijejerkan lalu orang bertanya, di manakah pusat bumi, maka Raja Jawa akan maju dan bilang: pusat bumi ada di Jawa. Di sana ada Merapi yang menjadi poros bumi, dan orang yang memimpin tanah Jawa disebut dia yang memangku alam semesta ini (mangkubumi) atau dia yang memangku buana ini (hamengkubuwono). Kaisar China segera menyela: Oh, maaf saudara, Tiongkok adalah pusat dunia. Tiongkok merupakan chung kuo, yaitu wilayah yang dikitari tembok tinggi. Di dalam wilayah itu hiduplah orang-orang beradab, sementara di luar tempok hanya ada orang-orang biadab. Tidak mengherankan kalau ada sebuah hadis (meskipun tidak sahih menurut Nurcholis Madjid) yang berbunyi: Belajarlah hingga ke negeri China.
Mendengar penjelasan Kaisar China ini kumis Hitler gemetar tidak karuan lalu nyerocos: Entschuldigung! Deutschland Über alles! Keyakinan bahwa bangsa Jerman mengatasi semua bangsa yang lain dan bahwa bangsa Arya merupakan bangsa yang paling refined dalam proses evolusi sehingga semua bangsa lain harus dimusnahkan, telah melahirkan kebijakan kejam Hitler membantai bangsaYahudi.
Raja Inggris yang sejak tadi tak sabaran, menyerobot dengan ketus: It is British that rules the waves, hanya orang Inggrislah yang bisa menaklukkan samudra raya. Dalam pada itu Tenno Heika, Kaisar Jepang yang tidak pernah ekspresif dalam bertutur, dan hanya menyimpan kebanggaan yang tidak pernah diungkapkan, dalam sikap santun yang amat bangsawani, menggumam: Mereka tidak tahu kalau saya ini Amaterasu Omikami, putra matahari yang menyinari dunia. Tanpa saya dunia menjadi gelap.
Kecenderungan etnosentrik juga bisa tampak dalam satuan wilayah yang lebih kecil. Apabila kita keliling Adonara lalu bertanya di manakah adonara-kepuhun (pusat Adonara), maka jawabnya bisa bervariasi: bisa di kampung Adonara, bisa di Gunung Boleng, bisa di Witihama dan bisa pula di Adobala.
Apakah Flores Timur merupakan awal mula peradaban? Dalam arti terbatas: ya! Misi awal Gereja Katolik dimulai di Solor. Di Flores Timur pulalah dihasilkan guru-guru generasi pertama yang menyebarkan agama ke arah barat terutama ke Ngada dan Manggarai, dan ke Sumba. Konon nama Waikabubak diberikan oleh Guru Ande, ayahanda dr. Hendrik Fernandez, mantan Gubernur NTT. Penyebaran agama adalah penyebaran perabadan: bukan hanya agama yang diajarkan melainkan banyak hal seperti musik khususnya lagu-lagu gerejani dan lagu-lagu rakyat, olahraga, keterampilan menjahit dan memasak (dua perkara di mana nyora guru sangat berperan, jauh sebelum PKK digalakkan perannya), keterampilan dalam budidaya pertanian dan peternakan, dst. Watak perintisan ini hingga dewasa ini kiranya tetap menonjol. Misi SVD di Madagaskar dimulai oleh Pater Anton Beki Kedang, putra Waibalun, Flores Timur, dan misionaris SVD asal Indonesia yang pertama dikirim ke Jepang adalah Pater Bruno Dasion, putra Lamalera yang juga merupakan bagian Flores Timur sebelum Lembata mekar menjadi kabupaten sendiri.
Ceritera Pater Anton tentang Madagaskar menegaskan bagaimana peradaban itu berdifusi, dan itu dimulai dari "Flores Timur": sang pastor bukan hanya merayakan misa dan berkhotbah tetapi mengajar jemaatnya membuat minyak kelapa, memasak sayur rumpu rampe yang bahan lokalnya berlimpah ruah tetapi tidak pernah dimanfaatkan, memelihara ternak dan mengatur rumah tangga.
Bruno Dasion, di lain pihak, tidak membuat bangsa Jepang menjadi lebih beradab, karena Jepang sudah sangat tinggi peradabannya, tetapi seluruh performans akademiknya, tutur katanya yang halus dalam bahasa Jepang 'kromo' yang amat piawai, pastoralnya yang sangat bersahabat, membuat bangsa Jepang kaget bahwa bukan hanya mereka yang boleh 'menyinari' bangsa lain, tetapi mereka pun bisa 'disinari' oleh bangsa lain, yang kebetulan saja berasal dari 'Flores Timur'.
Namun demikian beberapa kenyataan dan beberapa 'kebetulan' ini tidak perlu menghasilkan etnosentrisme apalagi sovinisme - terlebih kalau kedua semangat ini dibangkitkan dengan cara yang mengada-ada seperti membuat penafsiran abitrer atas kata-kata Lamaholot yang menginsinuasikan kemiripan nama dengan tempat kelahiran Yesus atau Nabi Muhammad. Menyamakan Meko dengan Mekkah atau menjelaskan Indonesia sebagai ina done sia adalah sebuah tindakan sembrono yang menyimpang jauh dari prinsip-prinsip semantika dan semiotika. Tindakan ini sama sembrononya seperti guru SD yang mengajarkan muridnya bahwa Islam merupakan singkatan dari isa, subuh, lohor, asyar, maghrib, sementara guru yang bersangkutan tidak tahu kalau lohor adalah pengindonesiaan kata Arab dhuhur. Kesalahkaprahan semantik juga tampak di tengah masyarakat ketika mereka mengira bahwa guru adalah singkatan dari di-gugu dan ditiru, atau wanita adalah singkatan dari wana ing tata.
Penelitian tentang dunia Lamaholot telah dilakukan oleh banyak peneliti seperti Paul Arndt (1937), Barnes (1993), Gorys Keraf (1978), Kopong Medan (2006) dan seterusnya, dan dalam berbagai kajian itu sama sekali tak ada insinuasi bahwa Lamaholot merupakan pusat dan awal mula peradaban. Malah cara pandang harus dibalik sama sekali: proses pemeradaban justru datang dari luar. Kalau ditelusuri berbagai strata sosial yang ada di Flores Timur, maka strata sosial yang dikategorikan sebagai raja, bangsawan, penguasa (yaitu mereka dapat disebut sebagai pemicu kemajuan), adalah pendatang, baik dari sebuah wilayah nun jauh di sebelah Barat yang bernama Sina Jawa maupun di sebelah Timur yang bernama Seran Goran. Malah morfologi fisik Raja Larantuka dan keturunannya amat jelas memperlihatkan ciri-ciri Kaukasoid mediteranea. Nama-nama Sina Jawa dan Seran Goran sulit dilokalisir karena lebih merupakan nama generik untuk sebuah tempat yang ada in illo tempore dan in illo loco.
Gejala bahwa pendatang menjadi penguasa, bukan hanya ada di Flores Timur tetapi ada di berbagai suku bangsa di dunia dengan alasan yang amat logis, yaitu bahwa pendatang selalu lebih peka melihat berbagai alternatif untuk membangun sebuah tempat baru, sementara kepintaran, kekayaan dan keterampilan yang dibawa oleh pendatang mulai diapresiasi oleh warga setempat sebagai keunggulan yang perlu dikompensasi dengan status tertentu. Dalam perjalanan waktu, pendatang sesungguhnya melakukan kolonisasi teritori dan apropriasi aset, namun tindakan yang sama dengan penjajahan ini telah diubah oleh kebijaksanaan warga lokal menjadi sebuah tatanan baru dengan mengikorporasikan pendatang menjadi bagian integral dalam pembagian kerja (division of labor) yang sudah ada. Pendatang mendapat peran baru sebagai Ata Kebelen yang menjalankan administrasi pemerintahan. Untuk mengokohkan legitimasi mereka sebagai penguasa dibuatlah mitologi tentang asal usul penguasa baru sebagai 'anak kedua' karena 'anak pertama' - yang sibuk mengurus warisan orangtua, tanah, kebun, dan berbagai urusan adat lainnya tidak dapat bersekolah, tidak luas pergaulannya, dan tidak terampil baca tulis - tidak memiliki keterampilan yang memadai untuk mengelola pemerintahan. Istilah 'anak kedua' menjadi semacam appeasement terhadap 'anak pertama' yang posisinya 'direbut' sekaligus menjadi etiologi dan penjelasan bagi kekuasaan yang diembannya. Karena itu kalau ditelusuri pembagian kerja yang melekat pada stratifikasi sosial, maka peran dan kedudukan lewo alap (tuan tanah, pemilik kampung) dan ata kebelen (kelompok aristokrat) lebih sering tidak paralel atau tidak sejajar.
Kalau di masa lampau warga pendatang diinkorporasikan menjadi bagian integral dari tatanan masyarakat setempat di mana pembagian kerja menempatkan mereka sebagai penguasa, maka dewasa ini pendatang baru yang memasuki sebuah wilayah dengan sistem kekerabatan yang rigid tetap juga mengalami inkorporasi yang sama, dengan alasan bahwa dalam urusan perkawinan dan kematian, warga tidak dapat bertindak sebagai individu, atau sebagai keluarga batih yang tertutup, melainkan sebagai warga dari sebuah marga atau sistem kekerabatan. Perkawinan dan kematian tetap merupakan peristiwa komunal, dan tidak dapat diperlakukan sebagai peristiwa individual.
Semua ini keluar dari filsafat Lamaholot yang tidak melihat dirinya secara tertutup dan eksklusif, melainkan dari kesadaran bahwa dia selalu berhubungan atau melekat (holo, holot) dengan orang lain. Dalam sebuah teks yang amat tua yang diperiksa oleh Paul Arndt, holo juga berarti manusia. Ini artinya manusia yang sejati, manusia yang benar adalah adalah manusia selalu melihat dirinya dalam hubungan dengan orang lain, dengan lingkungannya dan dengan Tuhan. Dengan kata lain: manusia yang benar adalah manusia yang menjaga persatuan dan kebersamaan. Dengan menjadikan ini sebagai pegangan kita bertanya, manakah tugas pemimpin dan manakah tugas warga?
Tugas pemimpin adalah pehen lewo, pegen tana, menyelenggarakan tugas-tugas pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan sedemikian rupa sehingga masyarakat itu bersatu helo tapo tonu mating olon/nopen jin jawa, seperti buah kelapa dalam satu jinjingan, seimbang. Sikap-sikap ekstrem yang mempertahankan pendapat dengan dalih bahwa yang disampaikan adalah pendapat pribadi, jelas-jelas salah, karena begitu seseorang mengemban jabatan publik, pada dirinya hampir tidak tersisa area privat. Seorang presiden tidak bisa keseringan batuk dan terlalu banyak minum air putih dalam sidang kabinet, karena penampilannya yang memberi kesan kurang sehat segera membuat kurs rupiah anjlok di pasar bursa. Demikian pula apa pun yang diucapkan seorang bupati, tidak bisa lepas dari kapasitasnya sebagai pejabat publik. Dengan demikian seorang bupati yang taat azas kepada budaya Lamaholot harus lage ae niku kola, peten pali hukut bauk: melangkah maju tetapi selalu menoleh ke belakang, ingat kepentingan hari ini tetapi tidak boleh mengabaikan kepentingan yang akan datang. Dengan lain perkataan, setiap kebijakan, termasuk juga ucapan, selalu harus dievaluasi kembali dengan memperhatikan gejolak yang ada. Konsistensi penting, tetapi ribu ratu toh jauh lebih penting dari konsistensi.
Lalu di manakah tugas warga? Tugas warga adalah hunge baat, tonga blola, menghormati dan menjunjung tinggi pemimpin yang dipilihnya. Kalau bupati mengeluarkan ucapan yang menyinggung martabat warga, bahkan menyesatkan warga, maka warga perlu tobo tiba pae badi/koda pulo kirin lema/puin taan uin tou/gahan taan kahan ehan/pana taan kuno mupur/gawe taan teba lalan yang secara singkat berarti duduk bersama melakukan adu argumentasi yang jernih sehingga dicapai kesepakatan bersama yang relatif bisa diterima semua pihak, tanpa perlu mencederai semangat persaudaraan. Musyawarah yang tersumbat membuat masyarakat memilih demonstrasi sebagai jalan keluar.
Tetapi kita lalu bertanya, martabat warga mana yang diinjak-injak, dan warga mana pula yang telah disesatkan oleh ucapan bupati? Saya berani bertaruh: dari 230an ribu penduduk Flores Timur tak seorang pun yang telah disesatkan. Lalu apa gunanya membuang begitu banyak energi dengan melakukan demonstrasi berkepanjangan, dengan orasi yang bertele-tele, kalau tak satu ucapan pun yang dihiraukan oleh sang bupati?
Di lain pihak, tugas-tugas pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan harus dilakukan sedemikian rupa sehingga warga tidak dipecah belah. Dalam beberapa kali unjuk rasa warga memperlihatkan sikap kurang hormat kepada pemimpinnya dengan mengeluarkan kata-kata yang kurang patut. Warga tidak bisa menjunjung tinggi martabat pemimpinnya karena pemimpin tidak lage ae niku kola, melangkah maju tetapi tidak menoleh ke belakang.
Yang terjadi di Flores Timur, dengan demikian, adalah sebuah ironi: meneriakkan agar pembangunan didasarkan pada budaya, tetapi yang terjadi sama sekali tidak mencerminkan budaya: mempertahankan pendapat pribadi secara ekstrem, melakukan demonstrasi yang sama sekali tidak memberi ruang kepada musyawarah dan dengar pendapat, tidak menghormati pemimpin yang dipilih, dan tidak menghargai aspirasi yang lahir dari wacana publik. Yang tampak adalah sebuah wacana budaya dalam sebuah pentas yang sama sekali tidak berbudaya. *

IMAM-IMAM KATOLIK TOLAK PROYEK TAMBANG EMAS

Sebanyak 22 imam Katolik mengeluarkan sebuah pernyataan sikap yang menyatakan penolakan mereka terhadap kesepakatan tambang emas yang ditandatangani pemerintah Kabupaten Lembata di Pulau Flores yang mayoritas Katolik.

Sebanyak 19 imam diosesan dan 3 imam Serikat Sabda Allah menandatangani pernyataan sikap itu pada 10 Mei di Lewoleba, ibukota Kabupaten Lembata di Flores bagian timur, 1.810 kilometer timur Jakarta. Dekenat Lembata memiliki 29 imam.

Mereka mengirim pernyataan sikap tersebut kepada Bupati Lembata Andreas Duli Manuk dan tiga tembusan kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro, Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) Piet Alexander Tallo, dan Uskup Larantuka Mgr Fransiskus Kopong Kung. Sebanyak 12 tembusan lainnya dikirim kepada beberapa komisi keuskupan dan pejabat pemerintah daerah.

"Kami, para pastor se-Dekenat Lembata, hari ini, Kamis, 20 Mei 2007, bersama-sama mengambil sikap menolak rencana tambang emas oleh pemerintah Kabupaten Lembata," kata pernyataan sikap tersebut. Pernyataan sikap ini juga menyinggung pengambilan keputusan pemerintah Kabupaten Lembata dalam menandatangani kontrak kerja dengan P.T. Merukh Enterprise Cooper (MEC) untuk mengeksplorasi tambang emas.

Pemerintah Kabupaten Lembata mengumumkan 7 Maret bahwa operasi tambang emas akan dilakukan di tiga kecamatan: Buyasuri, Lebantukan, dan Omesuri.

Para imam itu mengatakan bahwa mereka mengambil sikap bersama setelah "mendengar LSM Lembaga Center tanggal 10 Januari 2007 mengenai untung-rugi rencana tambang Lembata, dan mendengar teman-teman pastor paroki di wilayah lokasi tambang yang kebingungan atas gejolak rencana tambang emas."

Pernyataan itu juga mengatakan bahwa warga lokal menggelar demonstrasi menentang rencana tambang emas.

Media melaporkan pada bulan Februari bahwa warga lokal menentang rencana tambang emas karena 46.000 hektare yang tertera dalam kesepakatan tambang emas mencakup lima desa yang berpenduduk lebih dari 10.000 orang.

Para imam itu mengungkapkan penyesalan mereka bahwa pemerintah tidak melibatkan masyarakat kecil sebelum mengambil keputusan yang mempengaruhi kehidupan mereka.

"Kami berpihak dengan masyarakat kecil yang akan kehilangan lahan, nafkah, rumah, dan ‘kepastian hidup,’” kata para imam dalam pernyataan sikap mereka.

"Kami boleh secara serentak mensosialisasikan (pernyataan sikap kami) di paroki kami masing-masing," kata mereka, seraya menambahkan bahwa mereka akan mensurvei lokasi tambang emas.

Mereka menyarankan pemerintah Kabupaten Lembata agar berkonsentrasi pada potensi pertanian, pariwisata, dan kelautan serta industri rumah tangga untuk mengembangkan perekonomian.

Pastor Marcelinus Vande Raring SVD, salah seorang penandatangan pernyataan sikap itu, mengatakan kepada UCA News 13 Mei bahwa tambang emas itu akan merusak lingkungan sekitar. "Bahkan tambang emas ini akan mempunyai pengaruh besar terhadap penduduk di sekitar lokasi tambang," tegasnya.

Warga lokal lainnya, termasuk dua orang yang bekerja di Kupang, ibukota Propinsi NTT, juga mengatakan kepada UCA News tentang alasan mereka menolak rencana tambang emas.

Yohanes Stefanus Kotan, seorang Katolik, menyarankan agar pemerintah Kabupaten Lembata mempertimbangkan keluhan warga lokal, "karena setiap kebijakan pembangunan yang mengabaikan tuntutan rakyat adalah kebijakan represif."

Menurut dosen hukum di Universitas Nusa Cendana di Kupang, pemerintah Kabupaten Lembata hendaknya melibatkan seluruh elemen masyarakat sejak awal.

"Langkah awal pemerintah sudah keliru. Rakyat tidak dilibatkan," kata Urbanus Ola Hurek, yang mengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Katolik Widya Mandhira, juga di Kupang.

Ia memperingatkan bahwa isu ini bisa menjadi "bom waktu" yang membahayakan hubungan antara pemerintah dan warga lokal "jika tidak dimediasi secara tepat dan bijak."

Thomas Ola Langoday, seorang warga lokal lainnya, mengatakan: "Tujuan tambang untuk kesejahteraan masyarakat, tetapi pemerintah Kabupaten Lembata nampaknya punya konsep yang berbeda. Jika konsep pemerintah memang hanya untuk kepentingan bisnis semata, maka pemerintah akan menambah penderitaan masyarakat."

Andreas Nula Liliweri, wakil bupati Lembata, mengatakan kepada UCA News 25 Mei bahwa orang-orang yang menolak rencana tambang emas tidak memahami situasi ekonomi di kabupaten itu. "Rakyat saat ini hidup dalam lingkaran kemiskinan," katanya.

"Pemerintah tidak mungkin menyusahkan masyarakatnya sendiri," tegasnya. Menurut dia, lebih dari 10.000 orang akan direlokasi dari desa-desa yang terpengaruh ke wilayah terdekat.

MEC memulai kegiatan eksplorasi di Lembata setelah menerima izin dari pemerintah daerah.

(UCAN)

Tambang Emas di Lembata Ancam Keselamatan Paus dan Karang

Rencana eksploitasi tambang emas dan tembaga di wilayah Batu Mere, pesisir Selat Alor, Kabupaten Lembata, Provinsi NTT akan mengancam keselamatan paus dan terumbu karang di wilayah ini.
Meskipun menuai protes dari masyarakat, PT Merukh Lembata Copper, kelompok Grup Merukh Enterprises milik Yusuf Merukh akan melakukan eksploitasi selama 50 tahun, dimulai tahun 2009. Yang sangat menyedihkan lokasi tambang ini berada di pesisir Selat Alor, antara Lembata dan Pantar yang merupakan habitat utama paus di Indonesia dan memiliki kekayaan alam bawah laut yang sangat indah serta menjadi salah satu lokasi penyelaman penting.
Benjamin Kahn, Direktur APEX Environmental, Program Cetacean Laut Asia-Pacific yang telah mengadakan penelitian di kawasan ini selama 7 tahun menyerukan agar semua pihak terkait menaruh perhatian serius terhadap ancaman ini. „Kawasan ini merupakan bagian dari Coral Triangle yang memiliki karang dan mangrove yang bernilai sangat penting. Ekosistem di kawasan ini akan sangat terpengaruh oleh pembangunan dan operasional tambang. Sementara ekosistem lautnya juga sangat tinggi dan beragam, laut dalamnya diindikasikan memiliki kekayaan dan kelimpahan berbagai spesies paus, termasuk tempat tinggal Paus Sperm. Pembuangan limbah tailing sebanyak 350 ton per 24 jam ke laut dalam akan berdampak besar pada lingkaran spesies mulai dari tuna ke cumi hingga paus (dan perikanan yang menjadi target mereka),“ ungkap Kahn.
Secara khusus tambang akan ini akan mengancam Paus Biru dan Sperm. Paus Biru kerap dijumpai di perairan Lembata. Sedangkan Paus Biru tercatat melakukan migrasi melalui Selat Alor, yaitu antara Lembata dan Pantar. ”Paus Biru ini melintasi sekitar 100 meter dari lokasi tambang yang diajukan,” ungkap Kahn. Tambang ini akan mengganggu perilaku migrasi dan aktivitas penambangan akan mengacaukan migrasi Paus Biru melalui lintasan Selat Alor menuju Laut Flores/Banda. Hal ini berdampak besar pada spesies paus yang terancam, yang merupakan mahluk terbesar di planet ini dan seharusnya lebih diutamakan dalam setiap aktivitas di lokasi ini. ”Masalah ini bukan hanya penting bagi Indonesia, tapi seperti Paus Biru yang juga merupakan bagian dari populasi Indo-Australia, juga menjadi perhatian rencana pengelolaan dan pelestarian paus bagi perairan Australia,” ungkap Kahn.
Populasi paus yang terancam ini secara penuh di bawah perlindungan hukum Indonesia dan internasional, di mana kawasan ini merupakan bagian samudera yang secara ekstrim sangat dinamis, dimana Selat Alor merupakan salah satu jalur aruslintas Indonesia (arus lautan antara Samudera Hindia dan Pasifik). Gangguan seperti pembuangan limbah akan berdampak besar pada kawasan ini. ”Zona dampak proyek ini mungkin meluas lebih besar hingga ke Laut Sawu, yang juga akan memiliki resiko tinggi dan akan berpengaruh pada ekosistem lautan. Dampak proyek ini seharusnya dikurangi atau aktivitas dihentikan,” ungkapnya.
Dampak penambangan ini juga akan dirasakan masyarakat Lembata. Aliansi Adat yang terdiri dari beberapa desa di Lembata, termasuk para pemimpin gereja, menolak rencana ini, karena akan berpengaruh sangat besar pada mata pencaharian mereka, termasuk perburuan paus sperm secara tradisional.
(By pariama hutasoit)

PPRN Targetkan 14 Kursi


Selasa, 5 Agustus 2008 | 01:06 WIB

PANGKALPINANG, SELASA-Partai Peduli Rakyat Nasional (PPRN) memasang target perolehan 14 kursi lebih di DPR-RI pada Pemilu 2009. "Dari 560 kursi yang ada di DPR-RI, kita harus mampu merebut lebih dari 14 kursi," ujar Ketua Umum PPRN, Dr.Amelia Ahmad Yani ketika menghadiri acara konsolidasi di Pangkalpinang, Provinsi Bangka Belitung, pekan lalu.

Menurut dia, target di atas 14 kursi DPR-RI harus mampu dicapai agar bisa memiliki kekuatan politik di dewan dan mampu mengeluarkan kebijakan serta membuat undang-undang yang pro terhadap kepentingan rakyat. "Sudah waktunya Indonesia berubah dan masyarakatnya sejahtera. PPRN ini untuk kesejahteraan rakyat membenahi bidang pendidikan di Indonesia yang kian memprihatinkan," katanya.

Ia mencontohkan,sampai sekarang 20 persen anggaran pendidikan yang menjadi target pemerintah belum tercapai.Sehingga sangat naif derajat pendidikan anak-anak Indonesia. "Kita harus mampu keluar dari kondisi pendidikan yang masih terpuruk dengan melakukan perubahan total.Anak-anak bangsa tidak lagi terbelenggu oleh sistem pendidikan yang masih merugikan mereka seperti pungutan ini dan itu,sehingga terasa memberatkan dan menghambat anak dari keluarga tidak mampu," ujarnya.

PPRN,kata dia, optimis dan tidak ’takut’ bersaing dengan partai peserta pemilu lainnya,karena PPRN sudah mempersiapkan kader yang cukup solid,merata di setiap daerah. "Namun Konsolidasi internal partai terus digencarkan di setiap daerah untuk menggalang kekuatan dan melakukan kegiatan sosial di tengah masyarakat sebagai upaya memperkenalkan partai ini kepada masyarakat," ujar putri pahlawan revolusi Jenderal Ahmad Yani itu.

Terkait dengan kuota 30 persen pencalegan perempuan,kata dia, PPRN siap untuk memenuhi kuota tersebut. "Memang tidak mudah untuk mencari perempuan yang punya keinginan terjun ke dunia politik,namun menjadi tugas berat partai ini untuk menarik minat kaum perempuan berkecimpung di dunia politik," ujarnya.

ROY
Sumber : Antara