Selasa, 25 Maret 2008

KEBANGKITAN

Oleh: Fredy Wahon

Pada masa pra paskah, segenap umat Kristiani mempersiapkan diri menyambut hari kebangkitan Yesus Kristus, sang pejuang rakyat tertindas. Tema Aksi Puasa tahun ini memang sungguh menyentuh kaum tertindas: “Kesejatian Hidup: Pengembangan Lingkungan Hidup”.
Memang, kerusakan lingkungan hidup sudah bukan lagi ancaman. Karena telah menjadi fakta yang terlihat jelas di depan mata. Kasus Lapindo di Jawa Timur merupakan fakta yang tak terbantahkan. Juga, meluapnya sungai Bengawan Solo. Atau juga, menganganya tanah di Kolilanang, Adonara, Flores Timur. Betapa alam sudah semakin tidak bersahabat dengan umat manusia.
Saya sendiri berkesempatan untuk mengunjungi sebuah perkampungan penduduk di Gunung Mutis, gunung tertinggi di Pulau Timor bagian barat, wilayah Propinsi Nusa Tenggara Timur. Persisnya di Desa Nenas, Molo, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS). Wilayah ini bersebelahan dengan Kabupaten Timor Tengah Utara, dan distrik Oekuse, Republik Demokratik Timor Leste (RDTL). Saya diundang oleh Pokja OAN, sebuah lembaga swadaya pimpinan Mama Aleta Baun, seorang aktifis perempuan di TTS.
Perjalanan menuju Desa Nenas sungguh memprihatinkan. Selepas Kota Kapan, ibukota Kecamatan Molo Utara, saya harus berjibaku dengan jalanan yang rusak, berlumpur, becek dan sebagian lagi berbatu. Menyedihkan.
Saya diminta memfasilitasi proses Analisis Sosial Pertanian bagi kelompok tani hutan di kawasan Mutis. Peserta pertemuan di Gereja Protestan Nenas adalah para anggota kelompok tani hutan di Mutis, Community Organizer (CO) Pokja OAN dan para tokoh masyarakat adat setempat. Walaupun acapkali warga harus bertanya-tanya soal kata-kata yang terdengar agak asing di telinga mereka --maklum sehari-hari mereka menggunakan bahasa lokal yang saya sendiri tidak paham-- namun pertemuan berlangsung cukup lancar.
Saya dibantu oleh Semmy, staf Pokja OAN, yang paham betul bahasa lokal. Warga Mutis yang rata-rata petani, hidup dalam kawasan hutan lindung. Desa-desanya yang sudah di-enclave, terletak persis di pusat sumber air bersih bagi warga Kota Soe, Ibukota Kabupaten TTS. Mereka mengaku selalu dituduh sebagai perusak hutan.
Yang menarik, mereka juga mengungkapkan bahwa aktifitas pertanian mereka sama sekali luput dari perhatian pemerintah. Sejak punahnya apel –tanaman yang sempat menjadi trade mark wilayah setempat, sama sekali tak ada intervensi pembangunan dari pemerintah di wilayah setempat. Potensi wilayah yang demikian hebat dibiarkan terlantar begitu saja. Malah, warga diancam dengan berbagai cara gara-gara menolak rencana penambangan marmer, yang memang potensial di wilayah itu. Sebuah bukit di Molo sudah rata tanah setelah ditambang. Dua lokasi tambang lainnya berhasil digagalkan warga dengan berbagai aksi penolakan.
Saat ditanya tentang apakah mereka memiliki keterwakilan di DPRD NTT atau DPRD TTS, mereka mengatakan tidak punya. Saya terus bertanya, “Apakah kamu ikut pemilu?”
Mereka mengatakan, “Kami memang ikut pemilu. Tapi, siapa yang menjadi wakil kami di DPRD kami tidak tahu. Selama ini tidak ada anggota dewan yang berkunjung kesini.” Astaga!
Tapi, dari sini, saya memahami bahwa akses masyarakat terhadap proses politik di lembaga legislatif sangat rapuh. Begitu juga, dengan akses terhadap lembaga eksekutif. Ada dua alasan mendasar lemahnya akses ini. Pertama, rendahnya kepedulian dan inovasi di tingkat elit politik dan pemerintahan. Dan, kedua, rendahnya kualitas sumber daya manusia (SDM) di tingkat masyarakat untuk memanfaatkan instrumen kekuasaan bagi perubahan lingkungannya.
Pada simpul inilah, apa yang dilakukan Pokja OAN menjadi menarik. Yakni, penguatan analisis pada masyarakat akar rumput. Dimana, masyarakat dirangsang untuk menentukan langkahnya sendiri (self determination) dan dimampukan untuk menolong dirinya sendiri (self help). Dengan begitu, pada gilirannya nanti, masyarakat diharapkan mampu self regulating, bahkan self financing; suatu conditio sine qua non bagi terciptanya civil society yang kuat.
Pada hari terakhir pertemuan, masyarakat kembali bertanya: “Siapakah yang harus kami pilih dalam Pemilu Gubernur NTT dan Bupati TTS nanti?” Saya sungguh terperangah karena “gugatan” yang saya dan Mama Aleta Baun ajukan dalam dua hari pertemuan di desa nan dingin tersebut. Masyarakat ternyata menangkap bahwa mereka punya kekuatan untuk mendorong perubahan di tingkat elit kekuasaan politik. Inilah kebangkitan yang mesti terus disebarluaskan kedalam pelbagai pelosok masyarakat Nusa Tenggara Timur, agar tidak terus menjadi obyek politik para elit.
Menjawab pertanyaan masyarakat, Mama Aleta Baun balik bertanya: “Apakah ada figur yang kamu percaya bisa memperjuangkan penyelesaian berbagai persoalan sosial kemasyartakan di lingkungan kamu?”
Masyarakat mengaku tidak mengenal figur-figur calon Gubernur NTT ataupun calon Bupati TTS. Mereka hanya melihat wajah para bakal calon itu di kalendar ataupun stiker-stiker yang dibagikan tim sukses para calon. Mereka juga mengaku bosan dengan janji-janji para bakal calon. Sebab dari pemilu ke pemilu, selalu ada janji. Tapi, sampai pertemuan itu terjadi, tak satupun yang terealisasi. Bahkan, janji perbaikan jalan dan pemasangan instalasi listrik saat pemasangan jaringan pipa air untuk Kota Soe, sampai detik ini tidak dilaksanakan. Boleh jadi, karena itulah rakyat marah dan merusak hutan di sekitar mata air. Pun, masyarakat merasa kalau tambang boleh dilakukan, mengapa pembukaan lahan pertanian tidak boleh. Logika yang menyesatkan, tapi itulah yang bisa dilakukan sebagai protes atas berbagai kebijakan yang tak berpihak pada rakyat.
Alhasil, disepakati untuk menggelar sumpah adat dengan para bakal calon gubernur/wagub dan bupati/wabup. Sumpah adat ini dilakukan untuk membuat kebijakan yang berdampak pada kerusakan hutan dan tidak akan memuluskan ijin penambangan. Siapa yang tidak ikut sumpah adat, disepakati untuk dikampanyekan agar tidak dipilih oleh warga pemilih. Luar biasa.
Ini merupakan salah satu jalan untuk menyelamatkan lingkungan hidup. Sudah saatnya masyarakat berjuang untuk membuka mata penguasa agar tidak selalu melempar tanggungjawab kerusakan lingkungan hidup dengan menuduh masyarakat sebagai perusak. Persoalannya, adakah calon gubernur atau calon bupati yang berani melakukan sumpah adat? Hanya orang-orang yang punya komitmen yang berani melakukan itu. Siapa? Kita nantikan saja waktunya. Semoga paskah tahun ini menjadi kebangkitan rakyat untuk bersikap tindak. (*)

KEBANGKITAN

Oleh: Fredy Wahon

Pada masa pra paskah, segenap umat Kristiani mempersiapkan diri menyambut hari kebangkitan Yesus Kristus, sang pejuang rakyat tertindas. Tema Aksi Puasa tahun ini memang sungguh menyentuh kaum tertindas: “Kesejatian Hidup: Pengembangan Lingkungan Hidup”.
Memang, kerusakan lingkungan hidup sudah bukan lagi ancaman. Karena telah menjadi fakta yang terlihat jelas di depan mata. Kasus Lapindo di Jawa Timur merupakan fakta yang tak terbantahkan. Juga, meluapnya sungai Bengawan Solo. Atau juga, menganganya tanah di Kolilanang, Adonara, Flores Timur. Betapa alam sudah semakin tidak bersahabat dengan umat manusia.
Saya sendiri berkesempatan untuk mengunjungi sebuah perkampungan penduduk di Gunung Mutis, gunung tertinggi di Pulau Timor bagian barat, wilayah Propinsi Nusa Tenggara Timur. Persisnya di Desa Nenas, Molo, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS). Wilayah ini bersebelahan dengan Kabupaten Timor Tengah Utara, dan distrik Oekuse, Republik Demokratik Timor Leste (RDTL). Saya diundang oleh Pokja OAN, sebuah lembaga swadaya pimpinan Mama Aleta Baun, seorang aktifis perempuan di TTS.
Perjalanan menuju Desa Nenas sungguh memprihatinkan. Selepas Kota Kapan, ibukota Kecamatan Molo Utara, saya harus berjibaku dengan jalanan yang rusak, berlumpur, becek dan sebagian lagi berbatu. Menyedihkan.
Saya diminta memfasilitasi proses Analisis Sosial Pertanian bagi kelompok tani hutan di kawasan Mutis. Peserta pertemuan di Gereja Protestan Nenas adalah para anggota kelompok tani hutan di Mutis, Community Organizer (CO) Pokja OAN dan para tokoh masyarakat adat setempat. Walaupun acapkali warga harus bertanya-tanya soal kata-kata yang terdengar agak asing di telinga mereka --maklum sehari-hari mereka menggunakan bahasa lokal yang saya sendiri tidak paham-- namun pertemuan berlangsung cukup lancar.
Saya dibantu oleh Semmy, staf Pokja OAN, yang paham betul bahasa lokal. Warga Mutis yang rata-rata petani, hidup dalam kawasan hutan lindung. Desa-desanya yang sudah di-enclave, terletak persis di pusat sumber air bersih bagi warga Kota Soe, Ibukota Kabupaten TTS. Mereka mengaku selalu dituduh sebagai perusak hutan.
Yang menarik, mereka juga mengungkapkan bahwa aktifitas pertanian mereka sama sekali luput dari perhatian pemerintah. Sejak punahnya apel –tanaman yang sempat menjadi trade mark wilayah setempat, sama sekali tak ada intervensi pembangunan dari pemerintah di wilayah setempat. Potensi wilayah yang demikian hebat dibiarkan terlantar begitu saja. Malah, warga diancam dengan berbagai cara gara-gara menolak rencana penambangan marmer, yang memang potensial di wilayah itu. Sebuah bukit di Molo sudah rata tanah setelah ditambang. Dua lokasi tambang lainnya berhasil digagalkan warga dengan berbagai aksi penolakan.
Saat ditanya tentang apakah mereka memiliki keterwakilan di DPRD NTT atau DPRD TTS, mereka mengatakan tidak punya. Saya terus bertanya, “Apakah kamu ikut pemilu?”
Mereka mengatakan, “Kami memang ikut pemilu. Tapi, siapa yang menjadi wakil kami di DPRD kami tidak tahu. Selama ini tidak ada anggota dewan yang berkunjung kesini.” Astaga!
Tapi, dari sini, saya memahami bahwa akses masyarakat terhadap proses politik di lembaga legislatif sangat rapuh. Begitu juga, dengan akses terhadap lembaga eksekutif. Ada dua alasan mendasar lemahnya akses ini. Pertama, rendahnya kepedulian dan inovasi di tingkat elit politik dan pemerintahan. Dan, kedua, rendahnya kualitas sumber daya manusia (SDM) di tingkat masyarakat untuk memanfaatkan instrumen kekuasaan bagi perubahan lingkungannya.
Pada simpul inilah, apa yang dilakukan Pokja OAN menjadi menarik. Yakni, penguatan analisis pada masyarakat akar rumput. Dimana, masyarakat dirangsang untuk menentukan langkahnya sendiri (self determination) dan dimampukan untuk menolong dirinya sendiri (self help). Dengan begitu, pada gilirannya nanti, masyarakat diharapkan mampu self regulating, bahkan self financing; suatu conditio sine qua non bagi terciptanya civil society yang kuat.
Pada hari terakhir pertemuan, masyarakat kembali bertanya: “Siapakah yang harus kami pilih dalam Pemilu Gubernur NTT dan Bupati TTS nanti?” Saya sungguh terperangah karena “gugatan” yang saya dan Mama Aleta Baun ajukan dalam dua hari pertemuan di desa nan dingin tersebut. Masyarakat ternyata menangkap bahwa mereka punya kekuatan untuk mendorong perubahan di tingkat elit kekuasaan politik. Inilah kebangkitan yang mesti terus disebarluaskan kedalam pelbagai pelosok masyarakat Nusa Tenggara Timur, agar tidak terus menjadi obyek politik para elit.
Menjawab pertanyaan masyarakat, Mama Aleta Baun balik bertanya: “Apakah ada figur yang kamu percaya bisa memperjuangkan penyelesaian berbagai persoalan sosial kemasyartakan di lingkungan kamu?”
Masyarakat mengaku tidak mengenal figur-figur calon Gubernur NTT ataupun calon Bupati TTS. Mereka hanya melihat wajah para bakal calon itu di kalendar ataupun stiker-stiker yang dibagikan tim sukses para calon. Mereka juga mengaku bosan dengan janji-janji para bakal calon. Sebab dari pemilu ke pemilu, selalu ada janji. Tapi, sampai pertemuan itu terjadi, tak satupun yang terealisasi. Bahkan, janji perbaikan jalan dan pemasangan instalasi listrik saat pemasangan jaringan pipa air untuk Kota Soe, sampai detik ini tidak dilaksanakan. Boleh jadi, karena itulah rakyat marah dan merusak hutan di sekitar mata air. Pun, masyarakat merasa kalau tambang boleh dilakukan, mengapa pembukaan lahan pertanian tidak boleh. Logika yang menyesatkan, tapi itulah yang bisa dilakukan sebagai protes atas berbagai kebijakan yang tak berpihak pada rakyat.
Alhasil, disepakati untuk menggelar sumpah adat dengan para bakal calon gubernur/wagub dan bupati/wabup. Sumpah adat ini dilakukan untuk membuat kebijakan yang berdampak pada kerusakan hutan dan tidak akan memuluskan ijin penambangan. Siapa yang tidak ikut sumpah adat, disepakati untuk dikampanyekan agar tidak dipilih oleh warga pemilih. Luar biasa.
Ini merupakan salah satu jalan untuk menyelamatkan lingkungan hidup. Sudah saatnya masyarakat berjuang untuk membuka mata penguasa agar tidak selalu melempar tanggungjawab kerusakan lingkungan hidup dengan menuduh masyarakat sebagai perusak. Persoalannya, adakah calon gubernur atau calon bupati yang berani melakukan sumpah adat? Hanya orang-orang yang punya komitmen yang berani melakukan itu. Siapa? Kita nantikan saja waktunya. Semoga paskah tahun ini menjadi kebangkitan rakyat untuk bersikap tindak. (*)

KPUD Sikka Dituding Terima Suap

KPUD Sikka Dituding Terima Suap

Ini benar-benar sodokan keras ke arah KPUD Sikka yang dipimpin Robby Keupung, SE. Lembaga penyelenggara Pilkada Sikka yang mestinya bersikap netral, jujur dan adil itu, kini menghadapi ‘dakwaan’ telah menerima suap dari pihak tertentu pada saat verifikasi ulang. Benarkah KPU telah berubah menjadi ‘Komisi Pengumpul Uang’?

Hasil verifikasi ulang terhadap paket calon yang akan berlaga dalam Pilkada Sikka 2008 telah usai dilakukan KPUD Sikka dan telah pula diumumkan Rabu (19/3/2008) lalu. Dari tujuh paket yang mendaftar, lima paket dinyatakan lolos dan dua paket lainnya masuk kotak.
Namun, hasil verifikasi itu nampaknya masih menyimpan misteri. Malah bagi para pendukung dan simpatisan Paket YOSUA (Drs. Yoseph Ansar Rera—Urbanus Lora, S.Sos), hasil verifikasi itu tidak lebih dari konspirasi berbagai pihak untuk mendepak ‘jagoan’ mereka. Bukan hanya itu. Mereka bahkan menuding KPUD Sikka telah menerima suap dari pihak tertentu.
Hal itu terungkap dalam orasi Ketua Koalisi Bagi Rakyat (Kobar) yang mendukung Paket YOSUA, Yoseph Mbele dan aktivis LSM, Edu Sareng saat kelompok pendukung dan simpatisan YOSUA menggelar aksi demo di sekretariat KPUD Sikka, Sabtu (22/3/2008).
Massa pendudukung Paket YOSUA yang datang ke sekretariat KPUD Sikka kali hanya ini sekitar 150 orang. Mereka rata-rata datang menggunakan sepeda motor. Tampak juga sebuah mobil pick-up yang membawa peralatan sound system. Di atas mobil terdapat dua poster bertuliskan: “KPU – Komisi Pengumpul Uang dan KPU Sikka Tidak Independen”.
Aksi ini, kata Mbele, merupakan aksi keprihatinan terhadap kinerja KPUD Sikka yang tidak lagi independen. “Kita patut menyayangkan sikap KPUD Sikka yang tidak netral, tidak jujur dan tidak adil. Mereka tidak bekerja berdasarkan aturan hukum yang ada, tetapi menggunakan penafsiran sendiri,” katanya seraya menambahkan, patut diduga KPUD Sikka telah menerima suap dari pihak tertentu.
Karena ketidakadilan ini, Yoseph Mbele menyerukan kepada para pemilih di wilayah Lio agar tidak menggunakan hak pilih pada tanggal 16 April mendatang. “Jika paket YOSUA tidak diakomodir, masyarakat etnis Lio hendaknya tidak menggunakan hak pilihnya pada tanggal 16 April mendatang. Kenapa? Karena etnis Lio sungguh-sungguh telah diabaikan. Kita telah dimarjinalkan,” katanya, berapi-api.
Dia juga mengancam akan mendatangkan masa lebih banyak lagi untuk menduduki KPUD Sikka. Bahkan, katanya, mereka berencana untuk menyegel sekretariat KPUD Sikka. Selain itu, mereka juga berniat melakukan upacara adat dengan menyembelih babi dan anjing. Upacara ini, paparnya, semacam sumpah adat untuk membuktikan siapa yang salah dan siapa yang benar.
“Kita tuntut agar pelaksanaan Pilkada Sikka ini diproses ulang lagi. Jika tidak diulang, maka kita akan terus menduduki kantor ini,” kata Mbele seraya menyerukan agar warga Lio mencegah paket manapun untuk berkampanye di wilayah Lio.
Sementara itu, aktivis LSM, Edu Sareng yang didaulat massa untuk memberi orasi, meminta massa agar tetap tertib dan tidak membuat aksi ini berubah menjadi anarkhi. “Jika kita tidak berjuang di bawah payung hukum, maka upaya ini akan sia-sia. Jangan terpancing untuk melakukan tindakan melawan hukum. Kita datang untuk menegakan aturan, jadi kita harus tetap bertindak di bawah koridor hukum yang berlaku,” kata Sareng.
Lebih jauh, Sareng mengatakan, KPUD Sikka sebenarnya telah kehilangan kredibilitas. “Secara hukum mereka telah mengakui kesalahan mereka dengan mengubah SK Nomor 01 menjadi SK Nomor 20 tentang tahapan dan jadwal Pilkada Sikka. Kewenangan mereka pun secara de fakto telah diambilalih oleh KPU Pusat. Buktinya, verifikasi ulang ini dilakukan oleh KPU Pusat. Jadi, mereka ini tidak memiliki kompetensi untuk menyelenggarakan Pilkada Sikka,” paparnya. (fer)

KPUD Sikka Dituding Terima Suap

Ini benar-benar sodokan keras ke arah KPUD Sikka yang dipimpin Robby Keupung, SE. Lembaga penyelenggara Pilkada Sikka yang mestinya bersikap netral, jujur dan adil itu, kini menghadapi ‘dakwaan’ telah menerima suap dari pihak tertentu pada saat verifikasi ulang. Benarkah KPU telah berubah menjadi ‘Komisi Pengumpul Uang’?

Hasil verifikasi ulang terhadap paket calon yang akan berlaga dalam Pilkada Sikka 2008 telah usai dilakukan KPUD Sikka dan telah pula diumumkan Rabu (19/3/2008) lalu. Dari tujuh paket yang mendaftar, lima paket dinyatakan lolos dan dua paket lainnya masuk kotak.
Namun, hasil verifikasi itu nampaknya masih menyimpan misteri. Malah bagi para pendukung dan simpatisan Paket YOSUA (Drs. Yoseph Ansar Rera—Urbanus Lora, S.Sos), hasil verifikasi itu tidak lebih dari konspirasi berbagai pihak untuk mendepak ‘jagoan’ mereka. Bukan hanya itu. Mereka bahkan menuding KPUD Sikka telah menerima suap dari pihak tertentu.
Hal itu terungkap dalam orasi Ketua Koalisi Bagi Rakyat (Kobar) yang mendukung Paket YOSUA, Yoseph Mbele dan aktivis LSM, Edu Sareng saat kelompok pendukung dan simpatisan YOSUA menggelar aksi demo di sekretariat KPUD Sikka, Sabtu (22/3/2008).
Massa pendudukung Paket YOSUA yang datang ke sekretariat KPUD Sikka kali hanya ini sekitar 150 orang. Mereka rata-rata datang menggunakan sepeda motor. Tampak juga sebuah mobil pick-up yang membawa peralatan sound system. Di atas mobil terdapat dua poster bertuliskan: “KPU – Komisi Pengumpul Uang dan KPU Sikka Tidak Independen”.
Aksi ini, kata Mbele, merupakan aksi keprihatinan terhadap kinerja KPUD Sikka yang tidak lagi independen. “Kita patut menyayangkan sikap KPUD Sikka yang tidak netral, tidak jujur dan tidak adil. Mereka tidak bekerja berdasarkan aturan hukum yang ada, tetapi menggunakan penafsiran sendiri,” katanya seraya menambahkan, patut diduga KPUD Sikka telah menerima suap dari pihak tertentu.
Karena ketidakadilan ini, Yoseph Mbele menyerukan kepada para pemilih di wilayah Lio agar tidak menggunakan hak pilih pada tanggal 16 April mendatang. “Jika paket YOSUA tidak diakomodir, masyarakat etnis Lio hendaknya tidak menggunakan hak pilihnya pada tanggal 16 April mendatang. Kenapa? Karena etnis Lio sungguh-sungguh telah diabaikan. Kita telah dimarjinalkan,” katanya, berapi-api.
Dia juga mengancam akan mendatangkan masa lebih banyak lagi untuk menduduki KPUD Sikka. Bahkan, katanya, mereka berencana untuk menyegel sekretariat KPUD Sikka. Selain itu, mereka juga berniat melakukan upacara adat dengan menyembelih babi dan anjing. Upacara ini, paparnya, semacam sumpah adat untuk membuktikan siapa yang salah dan siapa yang benar.
“Kita tuntut agar pelaksanaan Pilkada Sikka ini diproses ulang lagi. Jika tidak diulang, maka kita akan terus menduduki kantor ini,” kata Mbele seraya menyerukan agar warga Lio mencegah paket manapun untuk berkampanye di wilayah Lio.
Sementara itu, aktivis LSM, Edu Sareng yang didaulat massa untuk memberi orasi, meminta massa agar tetap tertib dan tidak membuat aksi ini berubah menjadi anarkhi. “Jika kita tidak berjuang di bawah payung hukum, maka upaya ini akan sia-sia. Jangan terpancing untuk melakukan tindakan melawan hukum. Kita datang untuk menegakan aturan, jadi kita harus tetap bertindak di bawah koridor hukum yang berlaku,” kata Sareng.
Lebih jauh, Sareng mengatakan, KPUD Sikka sebenarnya telah kehilangan kredibilitas. “Secara hukum mereka telah mengakui kesalahan mereka dengan mengubah SK Nomor 01 menjadi SK Nomor 20 tentang tahapan dan jadwal Pilkada Sikka. Kewenangan mereka pun secara de fakto telah diambilalih oleh KPU Pusat. Buktinya, verifikasi ulang ini dilakukan oleh KPU Pusat. Jadi, mereka ini tidak memiliki kompetensi untuk menyelenggarakan Pilkada Sikka,” paparnya. (fer)

Selasa, 18 Maret 2008

Setelah Diguncang Demo, KPUD Sikka Batalkan Hasil Verifikasi Tahap Pertama

* Robby: Kami Diminta Rapikan Jadwal!

KPUD Kabupaten Sikka akhirnya membatalkan hasil verifikasi tahap pertama. Keputusan ini diambil atas perintah KPU Pusat setelah mendalami perkembangan masalah dan situasi politik di Kabupaten Sikka yang cenderung memanas akibat maraknya aksi demonstrasi.

Suhu politik di Kota Maumere, Ibukota Kabupaten Sikka, pada pekan terakhir Februari lalu sungguh-sungguh panas. Aksi-aksi demontrasi dari kelompok-kelompok yang tidak puas, mengguncang Kantor Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Kabupaten Sikka di bilangan Wairklau, Maumere. Mereka memprotes keputusan KPUD yang dinilai telah melenceng dari ketentuan UU dan peraturan tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).

Aksi demonstrasi yang dilakukan secara bergantian oleh kelompok massa pendukung paket yang digugurkan KPUD Sikka itu, akhirnya membuahkan hasil. KPU Pusat telah memerintah KPUD Sikka agar membatalkan hasil verifikasi tahap pertama dan merapikan kembali jadwal pelaksanaan Pilkada Sikka.

“KPU Pusat melalui surat No. 638/15/2/2008 tertanggal 29 Februari 2008 yang ditujukan kepada KPUD NTT dengan tembusan kepada KPUD Sikka, meminta agar KPUD Sikka dapat melakukan diskresi dengan cara mengubah keputusan yang telah ditetapkan. KPUD Sikka juga diminta untuk merapikan jadwal khususnya pada tahapan tatacara pencalonan dan penelitian calon. Nah, ini artinya, KPUD Sikka diminta untuk merevisi kembali SK 01/2008 tentang tahapan jadwal dan program Pilkada Sikka dengan memasukan satu ruang lagi dalam tahapan tersebut yaitu masa perbaikan berkas. Ini dimaknai sebagai kegiatan perbaikan berkas bagi seluruh peserta yang dianggap belum lengkap, baik berkas syarat pengajuan calon maupun berkas syarat calon,” kata Ketua KPUD Sikka, Robby Keupung kepada wartawan di Kantor KPUD Sikka, Senin (3/3/2008).

Surat KPU Pusat itu, kata Robby, sudah ditindaklanjuti KPUD Sikka dengan cara merevisi SK 01/2008 tentang tahapan dan jadwal Pilkada menjadi SK 20/2008 tentang tahapan dan jadwal Pilkada.

Dia menjelaskan, dengan SK 20/2008 ini, maka jadwal perbaikan berkas diberi waktu dari tanggal 3 – 11 Maret. Sesudah itu, penelitian ulang pada 12 - 18 Maret. Sementara penetapan dan pengumuman pasangan calon akan dilakasanakan pada tanggal 19 – 24 Maret. Sedangkan penarikan nomor undian dan pengumuman nomor urut pasangan calon akan dilaksanakan pada tanggal 19 – 24 Maret.

Robby yang didampingi dua anggota KPUD Sikka, Thomas Aquino dan Albertus Ben Bao mengatakan, pihaknya sudah menyampaikan perkembangan baru ini kepada semua partai atau gabungan partai yang telah mendaftarkan pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

Lebih jauh, Robby mengatakan, keputusan ini diambil ketika mereka melakukan koordinasi dengan KPU Pusat di Jakarta, Kamis (27/2/2008). “Perlu saya tegaskan, kami tidak dipanggil untuk menghadap KPU Pusat. Kami berangkat atas inisitif sendiri untuk berkoordinasi dan bukan untuk konsultasi. Setelah kami mempresentasikan permasalahan yang ada, baru diambil keputusan tersebut,” paparnya.

Menjawab pertanyaan wartawan, apakah perubahan ini karena KPUD Sikka telah keliru dalam menafsirkan pasal 45 PP No. 6/2005, Robby Keupung mengelak dan melempar kesalahan itu kepada KPUD NTT. “Kami baca informasi di media bahwa KPUD Sikka dianggap salah dalam menerapakan pasal 45 itu. Ini perlu saya luruskan, sebenarnya resep yang diberikan KPUD NTT itu yang salah. Saya harus tegaskan demikian, karena kami yang disalahkan dalam proses ini,” kata Robby.

Dia menjelaskan, mengikuti ritme UU 22/2007 tentang Penyelenggara Pemilu, hubungan KPU, KPUD Propinsi dan KPUD Kabupaten/Kota itu sifatnya hirarkis. “Jadi, kita tidak bypass lagi seperti dulu, tidak langsung ke KPU Pusat tetapi harus melalui KPUD Propinsi. Nah, dalam proses Pilkada Sikka ini, kita sudah melakukan konsultasi dan koordinasi dengan KPU NTT, sampai kepada tahapan-tahapan yang bermasalah itu. Tetapi kami dianggap berjalan sendiri. Pertanyaan bagi saya, kenapa kami dianggap berjalan sendiri? Apakah selama ini kami tidak pernah konsultasi dengan KPU NTT? Ini yang harus saya luruskan, bahwa yang disampaikan KPU NTT seperti dilansir media itu tidak benar. Saya anggap itu cuci tangan. Karena dua hari sebelum kegiatan verifikasi, saya masih perintahkan anggota untuk tanyakan ulang tentang kegiatan ini, apa yang harus dilakukan. KPU NTT perintahkan, hasil verifikasi langsung dieksekusi pada tahap pertama. Itu yang kami lakukan. Dan ternyata menjadi masalah,” urai Robby, membela diri.

Sebelumya, Ketua KPUD Sikka, Robby Keupung secara tegas mengatakan tidak akan bergeming dengan keputusan yang telah diambil. Kepada wartawan, Selasa (26/2/2008) lalu, Robby mengatakan, pihaknya tetap berpegang pada verifikasi tahap pertama yang telah diumumkan pada 20 Februari lalu. Dia bahkan mengatakan, Senin (3/3) akan mengumumkan paket final yang lolos verifikasi tahap kedua.

Namun, sikap tegas itu nampaknya mulai goyah ketika KPUD NTT berpendapat lain. Dalam surat kepada KPUD Sikka, KPUD NTT menegaskan beberapa hal yang perlu diperhatikan.

Pertama, jika pasangasan calon belum memenuhi syarat calon atau ditolak, maka KPUD Sikka sepatutnya menegakkan mekanisme pemberitahuan hasil penelitian dan pemberian kesempatan untuk melengkapi dan atau memperbaiki surat pencalonan dan lampirannya atau mengajukan calon baru dengan tetap memperhatikan ketentuan pasal 45 ayat (1) dan ayat (2) PP No. 6/2005 jo Pasal 16 ayat (1) dan (2) Keputusan KPU Nomor 7/2007.

Kedua, dalam konteks masalah dalam point pertama, maka dengan memperhatikan mekanisme formal pelanggaran pemilihan Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, sewajarnya ketentuan pasal 110 ayat (1) PP No. 6/2005 perlu dijabarkan secara konsisten. Untuk itu para pihak yang berkepntingan diharapkan menggunakan mekanisme dimaksud sebagai penyikapan terhadap permasalahan yang ada.

Ketiga, sangat diharapkan KPUD Sikka mengambil langkah konstitusional secara cermat terhadap proses penyelenggaraan pemilu Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Kabupaten Sikka terutama yang terkait dengan tahapan pencalonan.

Begitu mendapat surat KPUD NTT tersebut, Ketua KPUD Sikka dan dua anggota masing-masing Vivano Bogar dan Thomas Aquino “menghilang” dari Maumere. Belakangan baru diketahui bahwa mereka bertiga berangkat ke Jakarta untuk berkonsultasi dengan KPU Pusat.

Aksi Demo

KPUD Sikka, Rabu (20/2/2008) lalu, sekitar pukul 21.30 Wita mengumumkan hasil verifikasi tahap pertama yang kontroversial itu. Kepada pers, Ketua Pokja Pencalonan KPUD Sikka, Vivano Bogar mengatakan, berdasarkan hasil verifikasi, hanya empat paket calon yang berhak mengikuti Pilkada 2008, sementara tiga paket calon lainnya gugur dan tidak berhak mengikuti proses Pilkada selanjutnya.

Empat paket calon yang lolos verifikasi tahap pertama yakni Paket AYO (Drs. Alexander Longginus-dr. Henyo Kerong), paket ABDI (Drs. Alex Hendro Bapa-Robby Idong), Paket HERO (Ir. R. Heny Doing-Remigius Cosmas), dan Paket SODA (Drs. Sosimus Mitang-dr. Damianus Wera).

Tiga paket lain yang dinyatakan tidak lolos verifikasi tahap pertama yakni Paket SAMSU (Semadu-Suitbertus Amandus), Paket MESRA (Drs. Landoaldus Mekeng-Drs. Frans Sura, MM), dan Paket YOSUA (Drs. Yos Ansar Rera-Urbanus Lora).

Tak pelak lagi, kubu paket yang merasa dirugikan memberi reaksi keras. Senin (25/2/2008), kubu paket YOSUA berkekuatan sekitar 500 orang mendatangi kantor KPUD Sikka. Mereka mengancam terus berada di kantor KPUD Sikka sampai lembaga itu memberi klarifikasi hasil verifikasi terhadap berkas pasangan bakal calon yang digugurkan.

Masa yang dipimpin Ketua Partai Buruh Sosial Demokrat (PBSD) Cabang Sikka, Gabriel B. Degha, SH itu terpaksa mendatangi kantor KPUD karena jawaban tertulis yang dijanjikan hendak diberikan Senin (25/2/2008) pagi tidak muncul di kantor Koalisi Bagi Rakyat (KOBAR). Massa yang sebagian besar berasal dari Kecamatan Paga dan Kecamatan Bola ini tiba di kantor KPUD sekitar pukul 14.00 Wita.

Dalam orasinya, Gabriel Degha mengecam kinerja KPUD yang dinilai tidak obyektif dan telah memanipulasi hasil verifikasi sehingga menggugurkan tiga paket calon. Melalui pengeras suara, Degha meminta Ketua dan anggota KPUD untuk keluar dan memberi penjelasan kepada massa. Tetapi teriakan Degha itu tidak digubris, bahkan utusan massa pun tidak diijin masuk kantor KPUD untuk bertemu Ketua dan angora KPUD.

Karena tidak mendapat jawaban, massa yang menyebut diri “Kelompok buruh, tani dan nelayan Kabupaten Sikka” ini bermalam di kantor tersebut dan bertahan hingga Selasa (26/2/2008) pagi sekitar pukul 10.30 Wita. Mereka mundur untuk memberi kesempatan kepada rombongan pendukung dan simpatisan Paket MESRA yang akan menggelar aksi serupa.

Sekitar pukul 11.00 Wita, massa pendukung Paket MESRA bergerak dari sekretariat Kolasi Sikka Sejahtera di Jalan Adi Sucipto, Kelurahan Waioti. Mula-mula rombongan berkekuatan sekitar 500-an orang itu bergerak menuju Kantor DPRD Sikka. Mereka datang menggunakan 6 unit truk, sejumlah mikrolet dan puluhan sepeda motor.

Dalam orasinya di halaman kantor DPRD Sikka, koordinator lapangan massa pendukung paket MESRA, Vicky da Gomes mengatakan, pihaknya datang ke gedung Dewan untuk mengadukan kinerja KPUD Sikka yang dinilai telah melanggar ketentuan UU dan peraturan Pilkada, termasuk Keputusan KPUD No.1/2008 tentang tahapan, program dan jadwal Pilkada Sikka.

Namun, Ketua DPRD Sikka, Drs. A. M. Keupung yang didampingi Wakil Ketua, E.P da Gomes yang menerima utusan massa mengatakan, pihaknya tidak dapat mengintervensi kinerja KPUD.

Massa kemudian bergerak menuju kantor KPUD Sikka yang terletak sekitar 500 meter dari Kantor DPRD Sikka. Kedatangan massa sudah ditunggu aparat kepolisian yang memasang pagar betis di kedua pintu masuk. Tetapi setelah koordinator lapangan bernegosiasi, mereka diperkenankan masuk ke halaman kantor KPUD Sikka.

Rombongan ini membawa serta sebuah peti mati sebagai simbol kematian demokrasi dan hati nurani KPUD Sikka. Di sisi kiri dan kanan peti mati tertera tulisan “Peraturan UU”, “Hati Nurani” dan “Independen”. Sementara bagian atasnya tertulis “RIP KPU Sikka”.

Selain itu, massa juga membawa sebuah spanduk yang telah ditandatangani oleh para pendukung paket MESRA. Mereka juga membawa sejumlah poster yang isinya menolak keputusan KPUD Sikka.

Melalui pengeras suara, Vicky da Gomes meminta Ketua dan anggota KPUD Sikka keluar dari dalam kantor untuk mendengarkan aspirasi dan tuntutan mereka. Permintaan itu cukup lama tidak ditanggapi, karena itu salah satu pengurus Koalisi Sikka Sejahtera, Andre Parera bernegosiasi dengan aparat keamanan agar diperkenankan masuk menemui para anggota KPUD dan memberi jaminan bahwa mereka tidak akan bertindak anarkis. Sambil menunggu hasil negosiasi, rombongan massa ini menikmati “lagu wajib” Kemesraan dan sejumlah lagu Iwan Fals.

Ketua KPUD Sikka, Robby Keupung dan keempat anggota akhirnya bersedia keluar dari kantor dan berdiri di teras guna mendengarkan tuntutan massa. Di hadapan para anggota KPUD Sikka yang mendapat pengawalan ketat aparat keamanan, Vicky da Gomes membacakan pernyataan sikap Koalisi Sikka Sejahtera.

Pertama, Koalisi Sikka Sejahtera mendesak KPUD Sikka agar meninjau kembali SK KPUD No. 56/271/2008 tanggal 20 Februari 2008 tentang hasil verifikasi tahap pertama.

Kedua, mendesak KPUD Sikka agar taat dan konsisten terhadap jadwal Pilkada.

Ketiga, mendesak KPUD Sikka menetapkan DPC PKB Sikka yang mendaftarkan pasangan Paket MESRA tanggal 11 Februari 2008 sebagai DPC PKB yang sah.

Keempat, mendesak KPUD Sikka menyatakan pasangan Paket MESRA yang diusung Koalisi Sikka Sejahtera lolos verifikasi tahap pertama.

Usai membacakan tuntutan, Vicky da Gomes menyerahkan pernyataan sikap Koalisi Sikka Sejahtera dan spanduk penolakan terhadap keputusan KPUD Sikka kepada Robby Keupung.

Bukan hanya itu. Aksi kelompok MESRA masih dilanjutkan dengan parodi pelantikan anggota KPUD Kabupaten Mimpi. Dalam pidato pelantikan, Vicky da Gomes meminta para anggota KPUD Kabupaten Mimpi bekerja dengan baik sesuai aturan perundangan yang berlaku. “Jangan tiru kinerja KPUD kabupaten tetangga,” pinta Vicky.

Sekitar pukul 14.00 Wita, massa pendukung Paket MESRA bergerak kembali ke sekretariat Koalisi Sikka Sejahtera.

Hanya berselang sekitar satu jam setelah massa Paket MESRA pulang, kelompok pendukung Paket YOSUA kembali mendatangi kantor KPUD Sikka sambil memukul gong-gendang di bawah guyuran hujan. Massa berkekuatan sekitar 100 orang itu melindungi diri dengan dua buah terpal.

Kendati hujan, para pendukung YOSUA tetap bersemangat. Beberapa di antaranya bahkan menarikan tari “Hegong”, sebuah tari tradisional masyakarat Sikka mengikuti irama gong-gendang.

Ketua Partai Buruh Sosial Demokrat (PBSD) Cabang Sikka, Gabriel Degha kembali berorasi. Dia meminta Ketua dan anggota KPUD Sikka keluar untuk memberi penjelasan kepada massa Paket YOSUA. Permintaan Degha kali ini pun tidak mendapat tanggapan.

Dalam orasinya, Degha antara lain mengatakan, jika tidak mendapat penjelasan, pihaknya akan terus bertahan di kantor KPUD sampai 10 hari. “Saya sudah meminta ijin kepada Kapolres Sikka untuk berada di sini sampai 10 hari,” katanya seraya menandaskan, pihaknya akan menempuh jalur hukum dan menuntut agar Pilkada Sikka diproses ulang.

Karena merasa diabaikan, sementara sebelumnya kelima anggota KPUD itu bersedia keluar dan mendengarkan tuntutan massa Paket MESRA, massa pendukung Paket YOSUA mulai marah dan berteriak memanggil para anggota KPUD. Umpatan bernada kasar pun mulai terdengar di sana-sini.

Melihat situasi mulai memanas, aparat kepolisian mengambil inisiatif untuk melunakan sikap para anggota KPUD Sikka agar bersedia menerima utusan kelompok ini.

KPUD Sikka akhirnya bersedia menerima lima orang utusan untuk mendengar penjelasan tentang hasil verifikasi yang dilakukan KPUD. Usai mendapat penjelasan dari Robby Keupung, rombongan pun bergerak meninggal kantor KPUD Sikka.

Pilkada Bermartabat

Massa pendukung Paket MESRA kembali mendatangi Kantor KPUD Sikka, Sabtu (1/3/2008) dengan nuansa yang agak berbeda. Kali ini mereka datang dengan sebuah spanduk bertuliskan “Sukseskan Pilkada Yang Bermartabat” dan sejumlah poster yang isinya mendukung proses Pilkada diteruskan.

Rombongan yang menggunakan 6 unit truk dan sejumlah mikrolet serta puluhan sepeda motor ini tiba di kantor KPUD Sikka sekitar pukul 11.30 Wita.

Kali ini pun mereka berhasil memaksa dua anggota KPUD Sikka untuk keluar dari kantor guna mendengarkan aspirasi mereka. Kedua anggota KPUD itu masing-masing Albertus Ben Bao dan Yustinus Darmoyuwono. Sementara tiga anggota KPUD Sikka yang lain termasuk Ketua, Roby Keupung tidak berada di tempat. Ketiganya dikhabarkan masih berada di Jakarta untuk berkonsultasi dengan KPU Pusat.

Pengurus Koalisi Sikka Sejahtera, Andre Parera dalam orasinya mengatakan, pihaknya mendukung proses Pilkada ini diteruskan. Namun untuk itu, KPUD Sikka harus berpegang teguh pada aturan main yang ada.

“Koalisi Sikka Sejahtera mendukung proses Pilkada ini diteruskan. Kami berharap, Pilkada Sikka ini dilaksanakan secara bermartabat,” katanya seraya meminta agar KPUD Sikka berbesar hati untuk mengakui kesalahan bila telah melakukan kesalahan.

Kali ini pun, mereka kembali menggelar parodi. Massa membawa serta sebuah kursi yang ditempeli kertas berwarna keemasan. “Kursi ini lambang kekuasaan dan di atas kursi kekuasaan ini kami letakan berbagai aturan main yang mesti menjadi pegangan KPUD Sikka dalam proses Pilkada ini,” tandas Vicky da Gomes.

Mereka juga menyerahkan dua kuntum bunga masing-masing kepada anggota KPUD Sikka dan aparat keamanan. “Bunga ini sebagai tanda bahwa aksi kami ini adalah aksi damai. Kami berharap, proses Pilkada ini juga berlangsung secara damai dan bermartabat,” ujar Vicky. (fery soge)

----------------------------------------------------------------------------------

PASAL KONTROVERSIAL ITU…

Pasal 45 PP No. 6/2005

(1) Apabila berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43, Pasangan Calon belum memenuhi syarat calon atau ditolak oleh KPUD, Partai Politik atau Gabungan Partai Politik yang bersangkutan diberi kesempatan untuk melengkapi dan/atau memperbaiki surat pencalonan beserta lampirannya atau mengajukan calon baru.

(2) Kesempatan untuk melengkapi dan/atau memperbaiki surat pencalonan beserta lampirannya atau mengajukan calon baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak diterimanya surat pemberitahuan hasil penelitian.

-----------------------------------------------------------------------------------------

Kebenaran (FAKTA) Sejarah

Oleh: Fredy Wahon

SEJAK kejatuhan HM Soeharto, sang jenderal besar berbintang lima yang kini telah berpulang, orang mulai mempertanyakan kesahihan naskah Surat Perintah 11 Maret (SUPERSEMAR). Pembantaian massa pas­­ca tragedi terbunuhnya para jenderal pada tanggal 30 September 1965 atau disebut dengan G30S/PKI pun mulai “digugat”. Ini baru terjadi setelah Pak Harto lengser. Jika dilakukan saat ia berkuasa, boleh jadi, yang mempersoalkan SUPERSEMAR sudah digelandang ke bui dengan tuduhan menghina kepala negara atau makar.

Pak Harto semasa berkuasa, memang diha­dirkan sebagai sosok bak malaikat pe­nyelamat. Lakonnya dalam film “Janur Ku­ning” sungguh menarik simpatik anak negeri. Tapi, saat hendak lengser, orang yang paling dekat dengannya pun berpaling. Sampai-sampai para pembantunya di kabinet, ter­masuk “anak emasnya” BJ Habibie nekad mengundurkan diri jika Pak Harto tidak segera lengser. Sekalipun Habibie kemudian diberi kuasa untuk memimpin pemerintahan meng­gantikan dirinya, toh hingga menghembuskan nafasnya yang terakhir, Pak Harto tak mau menerima kunjungan Habibie.

Penulisan sejarah pada masa peme­rintahan Pak Harto, memang penuh dengan ceritera heroisme sang presiden, waktu itu. Apalagi, kalau menyangkut penumpasan PKI. Pak Harto sampai-sampai dipersonifi­kasikan sebagai Pancasila, dengan 36 butir­nya. Tapi, setelah lengser, semuanya lenyap.

Memang, penulisan sejarah harus di­akui sangat dipengaruhi oleh situasi politik, selain ketersediaan narasumber atau dokumen se­jarah. Ceritera sejarah yang mengganggu ke­nyamanan penguasa politik, sudah tentu, akan hilang dalam proses dokumentasi seja­rah itu sendiri. Apalagi, jika dokumen pendu­kung tidak mencukupi.

Tidak heran, kalau banyak ceritera seja­rah yang hilang dalam naskah sejarah per­juangan sebuah bangsa/komunitas. Peran komunitas atau seseorang yang sudah ter­ping­girkan setelah peristiwa sejarah berakhir se­ringkali tenggelam dalam penulisan seja­rah.

Hal yang sama terjadi di daerah, se­perti di tanah asalku, Lembata. Saya “digugat” lan­taran menulis hasil wawancara dengan seorang pelaku sejarah perjuangan Lembata, Leo Boli Ladjar, mantan guru sekolah dasar, yang menghadiri rapat di Hadakewa sebagai utusan Raja Labala pada tanggal 7 Maret 1954. Ini soal peran mantan Ketua DPRD NTT, Jan Kiapoli dalam peristiwa pembuatan statement 7 Maret 1954, yang menjadi tong­gak sejarah perjuangan rakyat Lembata untuk menjadi kabupaten otonom.

Tulisan hasil wawancara saya muat pada blog saya di internet. Tapi, naskah itu “digu­gat”. Ini baru ketahuan ketika naskah hasil wawancara dengan Bapak Gute Beteke­neng, yang juga dimuat di blog saya.

Seseorang menulis komentar kepada sa­ya, begini: “Thanks buat anda yang cepat menghubungi Bapak Gute Betekeneng (sang pejuang dan saksi hidup) untuk meluruskan tulisan anda sebelumnya yang juga hasil ke­salahan anda sebagai wartawan. Anda seharusnya meminta maaf kepada semua pihak: Keluarga Besar Betekeneng. Kepada para pe­nulis (wartawan senior) yang sudah me­nerbitkan banyak tulisan dan buku tentang per­juangan Lembata dari hasil penyelidikan serius. Kepada Pemerintah Kab. Lembata yang ikut dan terus mendukung tulisan ber­sejarah tentang perjuangan itu sendiri. Alasannya, anda sudah menuding semua pihak tersebut di atas dan anda bisa dituduh seba­gai salah satu generasi yang ingin mem­beng­kokkan sejarah”.

Saya sendiri baru membacanya setelah diberitahu oleh Pemred Pos Kupang, Dion DB Putra, bahwa ada yang mengomentari tulisan di blog saya. Saat membaca catatan dari seseorang yang menggunakan nama: Franco, itu saya merasa sungguh tertantang un­tuk terus menggali cerita dari lebih banyak na­rasumber. Tidak sekedar karena “gugatan” atas reputasi jurnalistik saya, tapi lebih dari itu adalah keyakinan Franco atas kebenaran tulisan-tulisan sebelumnya, yang menurut sa­ya masih harus diperdebatkan lagi.

Sebab “gugatan” atas cerita se­jarah yang didokumentasikan oleh sejumlah pihak sudah beberapa kali dilontarkan oleh sejumlah man­tan pelaku sejarah Lembata. Hal ini sama seka­li tidak dimaksudkan untuk mengingkari peran para tokoh sekaliber Bapak Gute Bete­keneng --yang sudah tertulis dalam ber­bagai buku sebelumnya, tapi yang lebih penting da­ri itu adalah tidak menghilangkan peran mereka yang tidak tersentuh atau bahkan ter­­marginalkan dalam proses dokumentasi sejarah.

“Gugatan” atas dokumentasi sejarah Lem­bata pernah datang dari saudara sulung ayah saya: F.X. Wahon (alm), mantan camat Ile Ape dan mantan Koordinator Scap Lem­ba­ta, atas buku yang ditulis Karolus Kia Burin, SH dkk yang dibiayai Pemkab Lem­bata melalui APBD II. Banyak kejanggalan dalam buku Kia Burin dkk. Anehnya, buku itu tetap rapih tersimpan di perpustakaan dae­rah Lembata, dan bahkan dibagi-bagikan kepada yang membutuhkannya secara pordeo, tanpa sedikitpun diperbaiki isinya.

Dari cerita FX Wahon yang juga jadi salah satu narasumber bagi Kia Burin dkk, saya tahu bahwa proses investigasi tidak cukup men­dalam. Inilah yang mendorong saya un­tuk terus melakukan penelusuran. Juga, ter­masuk peran Jan Kiapoli, yang ketika itu, su­dah bertugas di Ende, Flores.

Kata FX Wahon, Jan Kiapoli datang da­ri Ende dengan mobil jeep putih dan diparkir di rumah kakek saya di Pohon Sirih, Larantuka, lantas menyeberang ke Lembata dengan perahu motor. FX Wahon, ketika itu, mengantar sumbangan tiga karung beras dari swapraja Larantuka untuk mendukung pertemuan Partai Katolik (Parkat) Komisariat Lembata di Ha­dakewa. Ketua Komisariat Parkat Lem­bata, waktu itu, adalah Bapak Gute Bete­keneng.

Pertemuan itu sendiri, kata FX Wahon, dilangsungkan sejak hari Jumat, 5 Maret 1954. Apa kaitan antara pertemuan tanggal 5-6 Maret dan tanggal 7 Maret, masih harus digali lagi. Karena peserta pertemuan pada tanggal 7 Maret bukan hanya pengurus PAR­KAT, tapi juga menghadirkan para kepala hamente (ka­kang atau kapitan). Hanya saja, yang datang kebanyakan utusannya bukan kakang/kapitan sendiri. Sayangnya, FX Wa­hon dan Jan Kiapoli telah berpulang, sebelum naskah saya “di­gu­gat”. FX Wahon sendiri me­ngaku tidak menghadiri pertemuan tersebut.

Tapi, yang pasti, yang saya masih ingat dari keduanya adalah bahwa hal yang men­dasar dari peristiwa 7 Maret 1954, ketika itu, adalah semangat untuk menghentikan pertumpahan darah: PAJI – DEMONG, di tanah Lembata. Dimana, jalan ke arah itu ditempuh melalui upaya pembentukan swapraja Lem­bata, sekaligus keluar dari swapraja Laran­tuka (Demong) dan swapraja Adonara (Paji).

Saya tidak hendak mencari pembenaran diri atas tulisan saya soal kesaksian Bapak Leo Boli Lajar. Tapi saya juga tidak ingin meng­amini salah satu pihak tanpa penelu­suran yang lebih serius lagi. Sehingga bisa ditemukan kesahian cerita sejarah itu sendiri.

Bagaimana mungkin dua orang yang menghadiri pertemuan yang sama bisa punya cerita yang berbeda soal pemimpin perte­mu­an itu? Ini sungguh mengusik naluri kewar­tawanan saya. Bisa jadi, ada sesuatu yang tidak beres dalam pendokumentasian sejarah 7 Maret 1954. Saya hanya khawatir kalau-kalau proses pendokumentasian sejarah dise­limuti motivasi ekstrinsik untuk tujuan yang dapat justru dapat menegasikan nilai sejarah perjuangan itu sendiri.

Karena itulah, saya berharap agar sege­nap anak tanah Lembata, terutama para pe­laku sejarah untuk tidak terus menutup diri. Sudah cukup banyak orang yang mengaku kecewa dengan proses dokumentasi sejarah 7 Maret 1954 dan seterusnya hingga detik-detik menjelang lahirnya Undang-undang ten­tang Pembentukan Kabupaten Lembata. Tapi, rata-rata masih “malu hati” untuk buka suara.

Bagi saya, sikap “malu hati” yang berle­bih­an justru semakin menjauhkan generasi baru Lembata dari kemurnian nilai sejarah itu sendiri. Generasi penerus bisa terjebak pada sikap hipokrit, kepura-puraan. Ya, pura-pura ti­­dak tahu, pura-pura lupa, pura-pura tidak ada masalah, dan lain sebagainya. Sebuah permakluman yang membahayakan masa depan Lembata sendiri.

Tentu saja, keterbukaan mengisahkan kembali sejarah perjuangan tidak dalam kepentingan sempit orang perorangan. Se­hingga segera tampil ge­nerasi yang sportif. Generasi yang siap meng­akui kelemahan, ke­kurangan, dan ke­tidaktahuan. Maka itu, sebelum semuanya berlalu, marilah kita benahi dari awal, dari sejarah perjuangan itu sendiri. Iya kan?

Kepada Bapak Gute Betekeneng, saya dari hati ikhlas mohon maaf jika tekad saya untuk melakukan penelusuran kembali seja­rah yang bapak dan kawan-kawan ukir di era 1950-an itu. Bapak Gute kan pernah ber­kata ke­pada almahrum FX Wahon, bahwa ada sebagian cerita yang bapak lupa.

Biarkan saya dan kawan-kawan meng­gali yang terlupakan itu, agar semuanya jelas. Paling tidak, agar generasi kami berjalan di atas kesahihan sejarah. Boleh kan? (*)