Jumat, 15 Oktober 2010

HUT Otonomi Lembata Sepi

Kamis, 14 Oktober 2010 | 15:47 WIB
LEWOLEBA, POS KUPANG.COm  -- Upacara memperingati Hari Ulang Tahun (HUT) ke-11 Otonomi Daerah Kabupaten Lembata, Selasa (12/10/2010), sepi. Yang hadir hanya pejabat  pemerintah dan empat anggota DPRD Lembata. Sebagian besar anggota Dewan tidak  hadir.
Acara yang berlangsung di halaman depan Kantor Bupati Lembata, Jalan Trans Lembata itu, hanya diikuti para PNS dan sesepuh masyarakat. Anggota DPRD yang hadir hanya empat orang dari 24 anggota DPRD Lembata saat ini.
Para undangan lainnya juga tidak hadir. Suasana di Kota Lewoleba, ibu kota kabupaten pemekaran dari Kabupaten Flores Timur itu, juga sepi. Terkesan tidak ada acara HUT ke-11 otonomi daerah itu. Masyarakat di kota tersebut terkesan masa bodoh memperingati hari jadi kabupaten itu.
Disaksikan FloresStar, acara yang dipimpin Bupati Lembata, Drs. Andreas Duli Manuk, itu berlangsung tertib. Acara itu dihadiri Kapolres Lembata, AKBP. Marthin J.H. Johannis, S.H, Dandim 1624 Flotim, Letkol Inf. L Benny Arifin, Wakil Ketua DPRD Lembata, Hyasintus Burin, S.M, para asisten, pimpinan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), dan sesepuh yang telah menggagas otonomi Lembata, 11 tahun lalu.
Selain Burin, tiga anggota DPRD Lembata yang ikut mengambil bagian dalam upacara ini, adalah Ketua Komisi III DPRD Lembata, Simon G. Krova, A.Ma.Pd., Tarsisia Hani Chandra, dan Simon Beduli.
Sementara 19 anggota DPRD lainnya, tidak kelihatan. Olehnya puluhan kursi yang disediakan untuk para wakil rakyat itu tidak terisi. Selain itu, kursi untuk istri dan suami dari para wakil rakyat juga tidak terisi. Kursi itu diisi beberapa sesepuh Lembata, dan undangan lain yang berasal dari tanah rantau.
Melihat pemandangan seperti itu, salah seorang warga berpendapat, tingkat kesadaran wakil rakyat masih kurang. Sebab, untuk mengikuti upacara HUT Otonomi Daerah saja para wakil rakyat itu mengabaikannya. Padahal, karena otonomi daerah, mereka bisa mengemban predikat sebagai wakil rakyat.
"Saya tidak tahu bagaimana para wakil rakyat melihat HUT Otonomi Daerah ini. Karena ada orang tua yang jauh-jauh dari Jakarta hanya untuk ikut upacara ini. Tapi anggota DPRD Lembata malah menghilang," kritik warga tersebut.
Menanggapi hal itu, Wakil Ketua DPRD Lembata, Hyasintus Burin, SM ketika ditemui FloresStar usai acara tabur bunga di Pelabuhan Lewoleba, mengatakan, sebagian angota DPRD memang masih berada di luar daerah. Namun sebagiannya sudah di Lembata.
Saat itu Burin menolak memberikan komentar mengenai alasan ketidakhadiran para wakil rakyat itu. Menurutnya setiap anggota punya alasan sendiri untuk hadir atau tidak hadir.
"Anggota lain juga sudah ada di sini (Lembata, Red). Tapi tidak tahu alasan apa sehingga mereka tidak datang. Tadi saya hanya lihat tiga orang anggota, jadi empat orang dengan saya," ujarnya.
Hal ini seolah membenarkan pernyataan, salah seorang tokoh masyarakat Lembata, yang saat ini tinggal di Jakarta, Karolus Kolin (76), saat ditemui FloresStar, usai acara tersebut.
Kolin mengatakan, pembangunan di Lembata memang belum berimbang. Salah satu faktor penyebabnya, pelaksanaan pembangunan cenderung pada kapasitas personal dan mengabaikan kebersamaan.
"Pembangunan Lembata kurang berimbang. Karena semangatnya beda dengan kami waktu lalu. Dulu, semangat kami pantang mundur dan terus maju dalam kebersamaan, sebagaimana filosofi sapu lidi. Sekarang, mungkin banyak orang pintar, sehingga banyak hitungan ilmiahnya, dan lebih senang jalan sendiri-sendiri," jelas Kolin.
Karena itu, lanjut Kolin, masih banyak pekerjaan rumah yang harus dikerjakan oleh pemerintah saat ini, dan pemerintah hasil pemilu kada tahun 2011 mendatang.
"Tapi bagi kami, hanya dengan kebersamaan dan semangat yang kuat seperti filosofi sapu lidi, pembangunan Kabupaten Lembata ini bisa berjalan lebih cepat dan kesejahteraan masyarakat dapat dicapai," ujarnya. (bb)

Litani 11 Tahun Lembata

tim Editor
Jumat, 15 Oktober 2010 | 15:40 WIB
SEBELAS tahun sudah Lembata menjadi kabupaten definitip. Sebelas tahun pula Lembata telah pisah dari Flores Timur sebagai kabupaten induk.
Namun dalam rentang waktu yang cukup panjang tersebut, keberadaan Lembata sebagai daerah otonom belum memperlihatkan hasil yang menggembirakan. Di sana sini, masih tampak carut marut, sama seperti ketika Lembata masih bergabung dengan Flores Timur. Wajah bopeng itu sampai sekarang belum dipoles seperti yang diharapkan publik daerah itu.
Adakah masalah yang urgen sehingga pembangunan di daerah itu demikian seret? Adakah hal yang salah sehingga keberadaan kabupaten itu tak ubahnya dengan masa lalu ketika masih menyatu dengan Flores Timur?
Untuk mengurai benang merah, rasanya tidak berlebihan bila melalui forum ini, kita membeberkan secuil persoalan yang sampai sekarang masih menggurita. Persoalan itu perlu dikemukakan agar menjadi cermin untuk diperbaiki, dibenahi pada hari-hari mendatang.
Contoh kasus yang mungkin perlu diangkat sebagai yang pertama adalah pembangunan kantor-kantor pemerintah. Saat ini satu-satunya kabupaten yang punya tiga kantor bupati adalah Lembata. Dan, sampai sekarang teka teki tentang pembangunan kantor tersebut belum terjawab.
Fisik proyek lain yang juga bermasalah adalah gedung pabrik es. Gedung itu dibangun dengan dana jutaan rupiah. Tapi setelah dibangun malah tidak dimanfaatkan sampai akhirnya mubazir.
Problema lainnya adalah pembangunan jober yang hingga kini terus dililit persoalan. Ibarat patah satu tumbuh seribu. Itulah persoalan yang membelit jober itu.
Ketika depot bahan bakar minyak (BBM) sudah rampung dan hendak digunakan, justeru muncul persoalan baru. Terjadi pendangkalan pada pelabuhan tempat kapal tangker. Pendangkalan terjadi karena terjadi arus dasar laut yang kuat sehingga pasir dasar laut terkumpul pada bibir pelabuhan tersebut.
Kuat dugaan kondisi ini tercipta karena survai pembangunan pelabuhan tidak dilakukan secara cermat. Survai itu mungkin untuk memenuhi syarat-syarat formal agar bisa dibangun pelabuhan untuk kapal tangker.
Kasus-kasus lain yang juga menyertai perkembangan Kabupaten Lembata adalah suburnya kasus korupsi di daerah itu. Salah satu contoh penyalahgunaan dana rumput laut oleh mantan Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan bersama salah satu pengusaha.
Kasus lain yang kini sedang diusut aparat penegak hukum adalah proyek beronjong pada Daerah Aliran Sungai (DAS) Waikomo. Dugaan penyalahgunaan dana dalam proyek itu sudah diaudit oleh BPKP Perwakilan NTT. Namun entah kenapa, sampai saat ini BPKP belum menyerahkan hasil audit kepada penyidik Polres Lembata.
Sesungguhnya masih banyak kasus yang bisa dilitanikan satu persatu. Namun berangkat dari banyaknya persoalan di daerah itu, satu hal yang lebih layak diketengahkan untuk perbaikan di hari-hari mendatang.
Pertama dan yang utama adalah masalah moral aparatur yang mengabdi di daerah itu. Para pegawai negeri sipil (PNS) yang diharapkan bermoral baik dan menjadi lokomotif pembangunan masyarakat dan daerah, justeru memperlihatkan moral dan kinerja yang jauh dari harapan.
Tak sedikit oknum pegawai di daerah itu menjadikan predikatnya untuk mengeruk keuntungan berlipat ganda. Alhasil, uang yang mestinya dialokasikan untuk kepentingan masyarakat malah disunat untuk kepentingan tertentu dengan berbagai alasan.
Ujung-ujungnya terjadi defisit anggaran dan kinerja pemerintah kabupaten tersebut dinilai disklaimer. Kinerja keuangannya tidak bisa dipertanggungjawabkan secara baik. Konsekuensinya, pembangunan berjalan timpang dan hingga usia yang ke 11 tahun ini, semangat awal pembentukan Kabupaten Lembata masih jauh dari harapan.
Untuk itu, tak ada pilihan lain kecuali kita mengingatkan pemerintah agar mengembalikan otonomi Lembata pada porsi yang sebenarnya. Otonomi daerah itu jangan dijadikan alat untuk merebut kekuasaan. Jangan jadi momen untuk memperkaya diri. Akan tetapi, manfaatkan otonomi daerah itu untuk kepentingan yang lebih besar, yakni memajukan Kabupaten Lembata, memajukan masyarakat demi tercapainya kesejahteraan rakyat. Masyarakat harus berubah hidup agar kekelaman yang dialami selama ini berganti menjadi keceriaan. (*)