RAPOR MERAH TALO – LEBU RAYA: BERANTAS KORUPSI
Aktifis Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Cabang Kupang Santu Fransiskus Xaverius yang bermarkas di Margasiswa, Jalan Soeharto No. 20 Kupang, persis di depan Markas Polda NTT, tak kuasa menahan gerah. Sontak saja, mereka bergerak beramai-ramai mendatangi Polda NTT dan Kejaksaan Tinggi (Kejati) NTT, Jumat (15/2) lalu. Mereka mempertanyakan mengapa penanganan sejumlah kasus korupsi tak pernah berujung.
Para aktifis PMKRI dipimpin ketua termandatnya, Ronald Raya Todo Boli, bergerak ke Mapolda NTT sekitar pukul 10.00 Wita. Mereka mengenakan simbol kebesaran marga yakni baret merah berbol kuning. Setelah melakukan orasi, lima orang wakil massa PMKRI diterima oleh Wakapolda NTT, Kombes Polisi Drs. Muharso, karena Kapolda NTT, Brigjen Polisi RB Sadarum sedang tidak berada di tempat.
Dalam pertemuan dengan Muharso di ruang kerjanya, aktifis PMKRI itu menyerahkan dan menyampaikan pernyataan sikap mereka yang intinya mendesak aparat penegak hukum untuk segera menuntaskan kasus-kasus korupsi di NTT. Mereka menilai penyelesaian berbagai kasus korupsi selama ini masih terkesan lamban dan terkatung-katung. Pihak penegak hukum dinilai belum memiliki komitmen dalam pemberantasan korupsi. Selain itu, aparat penegak hukum pun dinilai belum mengutamakan profesionalitas dan belum konsisten dalam penanganan kasus-kasus korupsi. Kondisi ini, menurut PMKRI, membuka peluang bagi kaum elit untuk melakukan korupsi di NTT.
Tak cuma di kepolisian. Massa PMKRI juga bergerak menuju gedung Kejaksaan Tinggi NTT di Jalan El Tari. Mereka berbaris menyusuri jalan El Tari dengan rapih, sembari membentangkan spanduk yang bertuliskan “PMKRI Mendukung Pengusutan Tuntas Berbagai Dugaan Korupsi di NTT”. Juga, dipampang poster-poster yang intinya mendesak penuntasan kasus korupsi, seperti Tangkap dan Adili Koruptor dan Kembalikan Uang Rakyat, Tegakkan Hukum dan Berantas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), Ayo Kita Goyang KKN. Massa didampingi oleh aparat kepolisian.
Di kantor Kejaksaan Tinggi, puluhan aparat keamanan sudah berjaga mengamankan jalannya penyampaian aspirasi. Mereka langsung diterima Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati), Djohani Silalahi, SH, didampingi oleh IGS Subawa, SH. Pertemuan dengan Kajati dilakukan di lantai dua. Tapi, Kajati hanya menerima 10 orang utusan PMKRI. Kepada Kajati mereka menyerahkan dokumen yang sama dengan yang diserahkan kepada Wakapolda.
Kepada Kajati, mereka menuntut agar kasus-kasus yang sudah masuk ke Kejati NTT segera dituntaskan. Mereka menilai bahwa Kejati lamban dalam menyelesaikan kasus-kasus korupsi, seperti Proyek Sarkes Rp 15 Miliar yang sudah memakan waktu lima tahun. Mereka meminta agar aparat yang kurang becus dalam menyelesaikan perkara korupsi itu segera ditindak atau dipecat.
Seusai bertemu menerima perwakilan PMKRI, Kajati langsung menjumpai massa di di depan kantor Kejati. Kepada massa inilah Kajati menyatakan tekadnya untuk menuntaskan hampir 100 perkara yang tertunggak.
“Saya sebagai Kepala Kejati yang baru, saya berkomitmen untuk melaksanakan penengakkan hukum untuk menuntaskan perkara-perkara korupsi baik yang ada di Kejati NTT maupun di daerah-daerah,” tandas Kajati di hadapan massa. Sontak saja, massa bertepuk tangan sambil teriakan “hidup, hidup”.
Kajati NTT yang baru dilantik itu menambahkan, “Perkara-perkara yang belum tuntas, dan sepanjang alat buktinya cukup, saya akan perintahkan perkara itu dilimpahkan ke pengadilan. Itu janjinya kepada mahasiswa. Kalau ada perkara di daerah saya akan undang para Kepala Kejaksaan Negerinya untuk ke Kupang ini untuk ekspos perkara, untuk mengetahui dimana kekurangan, dimana yang tidak bisa dilaksanakan. Saya Kepala Kejati NTT, bila ada hal-hal yang saudara ketahui di daerah-daerah yang tidak enak, tolong sampaikan kepada saya.”
Yang menarik, seusai menyampaikan aspirasi, para pengunjukrasa berpose bersama Kajati NTT. Mereka tampak akrab bersahabat. Boleh jadi, langkah aktifis PMKRI ini akan mengganggu sejumlah kalangan yang akan ikut bertarung pada Pemilihan Gubernur NTT nantinya.
Asal tahu saja, selama lima tahun pemerintahan Gubernur Piet A. Tallo, SH dan Wagub Drs. Frans Lebu Raya, sejumlah kasus dugaan korupsi masih belum dapat tersingkap. Di lingkup Pemprop NTT, misalnya, ada kasus Sarkes yang sempat menghadirkan Gubernur Tallo sebagai saksi. Kasus ini sudah merebak beberapa saat sebelum Tallo – Lebu Raya terpilih. Tapi, sampai kini prosesnya masih terkatung-katung.
Salah seorang tersangka, Ir. Karel Jani Mboeik –mantan sekretaris DPD PDIP NTT, sendiri masih harus menanti kejelasan status hukumnya karena belum juga disidangkan perkaranya. Apakah ia sendiri yang tersangkut atau masih ada koleganya di PDIP yang terlibat masih samar-samar. Kemana aliran yang dikorupsi itu pun tersungkup misteri. Siapa saja yang kebagian jatah, masih belum terkuak. Disebut-sebut ada sejumlah elit politik NTT yang ikut menikmati hasil korupsi proyek yang menghebohkan itu.
Di simpul inilah, Ir. Sarah Leri Mboeik bertanya-tanya, kenapa aliran dana yang dikorupsi tidak ditelusuri. “Di kasus Sarkes juga, gubernur bisa diperiksa misalnya, tetapi sebenarnya kan yang bermain di belakang itu siapa, tidak jelas juga. Kita harus cari tahu aliran uang itu lari kemana saja,” ujarnya, sinis.
Demikian halnya dengan kasus pengadaan kapal ikan di Kabupaten Kupang yang menyeret Bupati Kupang, Drs. IA Medah jadi tersangka. Pengusutannya pun sudah seusia kepemimpinan Bupati Medah dan Bupati Rote Ndao, Christian Nehemia Dillak, yang juga jadi tersangka.
Disatu sisi, perkara korupsi seolah menjadi ladang pembantaian karier politik seseorang. Tapi, disisi lain, seolah tampak ada kekuatan yang melindungi para elit dari jeratan hukum.
Tengok saja, komentar Sekretaris DPD Partai Golkar NTT, Cyrilus Bau Engo. Dia menilai banyak sekali kasus korupsi yang pada awalnya begitu menggebu-gebu, tapi akhirnya kabur. “Sebaliknya ada kasus-kasus yang tidak ada indikasi korupsi tapi dipaksa-paksa untuk menjadi korupsi. Dan, anehnya di NTT kasus korupsi itu baru ramai dibicarakan ketika ada suksesi,” kata dia, prihatin.
Jadi, sambung dia, “korupsi seringkali dijadikan stigmatisasi aparat ataupun politisi tertentu. Maunya saya itu kalau memang mau berantas korupsi harus tuntas sampai selesai sehingga orang itu selesai dalam bingkai waktu tertentu. Dia tidak digantung-gantung, lalu menjadi alat untuk stigmatisasi orang. Kami juga tidak tahu siapa-siapa yang korupsi dan tidak korupsi. Karena proses hukumnya menggantung terus.”
Sementara Leri Mboeik, aktifis yang gencar mempersoalkan kasus korupsi di NTT, mensinyalir adanya pengaruh kepemimpinan politik terhadap proses hukum kasus korupsi. “Pengaruhnya besar sekali. Yang terjadi itu politik hukum atau hukum politik? Itu kan menjadi pertanyaan kami disitu. Karena yang kami temui, ada tarik ulur,” tandasnya.
Menurut Leri Mboeik, pihaknya mencatat sekitar 90 kasus korupsi yang masih tertunggak. “Ada (kasus) yang baru dan ada yang lama. Kalau rata-rata waktu itu (kasus) yang lama itu dari tahun 2000, 2001 tetapi ada yang sampai 6-7 tahun. Cukup lama itu. Ada kasus yang berulang tahun. Ada yang terjadi dari 2001 dan ada yang terjadi tahun 2002 sampai pada kasus baru. Dan, modus yang terbanyak itu adalah modus mark up,” ujarnya.
Jika modusnya adalah mark up (penggelembungan harga), sudah tentu birokrasilah yang lebih berperan. Uniknya, penanganannya pun masih tersendat-sendat. Upaya minimalisasi pun tampaknya masih belum optimal dilakukan.
Disinilah raport pemerintahan ini dinilai masih merah. Bukan cuma soal bagaimana mendorong agar perkara korupsi bisa diproses hingga berakhir dengan vonis pengadilan, tapi juga menyangkut upaya minimalisasi korupsi itu sendiri. Dan, yang lebih penting, menurut pakar hukum Universitas Katolik Widya Mandiri (Unwira) Kupang, Dr. Frans Rengka, SH, MHum adalah perlunya menemukan akar masalah yang melatari maraknya korupsi. “Kalau sudah tahu sebabnya maka sebab itu harus dibasmi pertama-tama. Misalnya, karena miskin, ya kemiskinan harus diatasi. Misalnya sebab integrasi/integritas birokrasinya belum jelas, maka itu harus dibasmi. Maka rekrutlah birokrasi yang baik. Misalnya karena gaji pegawai negerinya, mungkin itu harus diperbaiki. Jadi korupsi itu sebetulnya multi fase dan multi faktor yang menyebabkannya,” jelasnya.
Upaya mengatasi korupsi, menurut dia, tidak bisa dilakukan secara parsial. Tapi, “Harus dilakukan secara komprehensif. Karena secara parsial percuma. Misalnya, sembuhkan disini, muncul disana,” tandasnya.
Pengamat ekonomi dari Universitas Kristen (Unkris) Kupang, Fritz Fanggidae, SE, MSi juga senada. Dia menilai semua ini terjadi karena pemerintah berjalan sendiri. “Yang harus dibuat pemerintah itu adalah rubah strategi. Jangan dilakukan sendiri-sendiri. Gunakan potensi kelembagaan yang ada dalam masyarakat, gunakan yang sifatnya partisipatif. Banyak potensi dalam masyarakat yang sudah membantu mengurangi kemiskinan. Pemerintah gunakan itulah. Jangan dia pakai pendekatan proyek. Itu nggak bisa,” tandasnya, mengingatkan. Lalu?
Jika raport pemerintahan sekarang masih merah menangani kasus korupsi, maka dibutuhkan pemerintahan baru yang lebih berkemampuan untuk memerangi korupsi. Karena, menurut Leri Mboeik, akar daripada kemiskinan di NTT adalah korupsi. “Saya lebih banyak berharap pada orang yang berani, dan orang yang berani itu menurut saya, itu saya bukan membela salah satu kandidat, tetapi saya akan memilih kandidat yang benar-benar selama ini konsisten terhadap penegakkan korupsi. Karena menurut kami (PIAR) akar kemiskinan di NTT itu adalah korupsi,” tandasnya, serius. Siapa?
Entahlah. “Saya pikir figur yang menurut analogi kami begini: jangan memilih kain lap kotor untuk membersihkan meja. Karena kain lap kotor, meja pun ikut kotor. Paling tidak, kain lap harus lebih bersih dari yang sudah ada. Saya juga tidak setuju kalau gubernur kedepan, gubernur yang bisa senyum. Rakyat tidak butuh senyum. Rakyat butuh tindakkan konkrit. Lima tahun yang lalu, wakil gubernur buat apa saja? Saya rasa tidak buat apa-apa. Jadi saya tidak percaya kalau dia bisa menyelesaikan kasus-kasus masa lalu,” ucap Leri Mboeik. Koq?
Ya, “Gubernur kan sakit banyak, seharusnya (wagub) punya kewenangan, mana, dimana, ada koq. Hanya HIV/AIDS yang menjadi pola penyelesaian dengan foto-foto HIV/AIDS dan foto Wakil Gubernur. Dia (Wagub) tidak terlalu bersimpati untuk itu. Tulis aja, saya yang suruh,” ujar Leri Mboeik, menantang.
Tapi, Sekretaris Fraksi PDIP DPRD NTT, Kornelis Soi, SH menandaskan, “Penanganan masalah korupsi itu tidak menjadi urusan gubernur. Untuk itu, harus jadi urusan kita semua. Jadi kalau eksekutif, legislatifnya kuat dan yudikatifnya lemah juga tidak jalan.” Iya deh! Semoga tidak ada dusta diantara kita. n fredy wahon, agust riberu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar