Rabu, 26 Desember 2007
PERNYATAAN SIKAP IKALAYA SOAL TAMBANG LEMBATA
IKATAN KELUARGA LEMBATA YOGYAKARTA (IKALAYA)
“LEMBATA MASA LALU, MASA KINI DAN MASA AKAN DATANG”
A. LATAR BELAKANG
Ikatan Keluarga Lembata Yogyakarta (IKALAYA), merupakan bagian yang tak dapat dipisahakan dari masyarakat Lembata secara keseluruhan. Menyadari sebagai putra-putri Lembata kami terpanggil untuk tidak bersikap diam dan berpangku tangan saja tetapi kami perlu merespon dan mengambil sikap tegas terhadap fenomena yang terjadi di Lewo Tanah tercinta. Sikap tegas kami ini benar-benar lahir dari nurani yang tulus dan tidak terkontaminasi dengan berbagai kepentingan, sebaliknya sebagai wujud kepedulian kami generasi muda terhadap fenomena yang telah terjadi.
Untuk menindaklanjuti pernyataan sikap IKALAYA yang pertama tertanggal 5 September 2007, dimana niat baik dari kami tidak direspon oleh pihak PEMDA LEMBATA maka kami kembali memberikan pernyataan tegas dan menjelaskan kepada PEMDA Lembata sikap kami sesungguhnya. Adalah salah apabila kami Cuma diam dan berpangku tangan menyaksikan fenomena yang terjadi. Tetapi kami terus mencari data dan informasi terkait rencana pertambangan yang terjadi di Lembata. Dari hasil informasi dan data yang kami terima, kami menemukan bahwa rencana pertambangan yang terjadi di Lembata tidak mendapat dukungan dari sebagian besar masyarakat Lembata, malah melahirkan konflik baik yang bersifat vertikal maupun horisontal. Melalui diskusi panjang dan melelahkan yang dilakukan berkali-kali, kami akhirnya melalui forum kerjasama IKALAYA dengan :
ü International centre for development of right,
ü Pusat studi hak asasi manusia dan demokrasi universitas atmajaya Yogyakarta
ü Fransiscan’s office justice, peace and integrity of creation
ü Forum Mahasiswa NTT Yogyakarta
mengadakan sarasehan yang berlangsung pada tanggal 13 November 2007 bertemakan,”Pengaruh pertambangan emas terhadap kehidupan masyarakat Lembata.” Guna mengkaji data-data yang sudah kami peroleh dari hasil sarasehan tersebut, kami tindaklanjuti lagi dengan pertemuan IKALAYA, tanggal 18 November 2007, bertempat di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, yang melahirkan kata sepakat yang kami tuangkan dalam pernyataan ini.
Tambang merupakan suatu anugerah yang diberikan Sang Pencipta yang patut disyukuri. Rasa syukur ini, harus direalisasikan dalam bentuk dan cara yang bisa diterima semua pihak. Tak dapat dipungkiri bahwa pengalaman pertambangan hampir diseluruh belahan dunia, yang selalu mengedepankan iming-iming kesejaterahan masyarakat pada umumnya secara khusus daerah pertambangan, tampak jauh dari harapan dan kenyataan. Kini masyarakat Lembata dihadapkan pada kenyataan akan pertambangan emas, yang telah menimbulkan respon pro dan kontra diberbagai lapisan masyarakat. Dalam kenyataannya hingga detik ini persoalan pro dan kontra semakin mencuat dan memanas yang belum mengudang respon penyelesaian terhadap persoalan ini.
Pihak pro yang dalam hal ini PEMDA Kabupaten Lembata dan pendukungnya, terus merapatkan barisan dan memperjuangkan agar proses pertambangan emas Lembata harus terjadi. Di sisi lain realitas empirik menunjukan mayoritas masyarakat Lembata, khususnya masyarakat Kedang dan Leragere yang menjadi daerah obyek pertambangan dengan tegas menolak rencana pertambangan emas Lembata. Ironis memang, ditengah arus penolakan yang begitu besar dan bertubi-tubi, akan tetapi PEMDA Lembata tetap memaksakan kehendak untuk mewujutkan rencana pertambangan emas tersebut.
Sampai pada situasi dan kondisi saat ini apa yang harus diperbuat? Semua orang dan semua pihak telah terkotak dalam bingkai pengkotakan antara pro dan kontra. Lalu kemanakah simpul penyelesaian konflik pro dan kontra yang seharusnya dilakukan, guna mengantisipasi keadaan yang semakin terpuruk?
B. RUMUSAN MASALAH
“Apakah Pertambangan Emas, Mensejahterahkan Masyarakat Lembata”?
C. PEMBAHASAN
Kami mengkritisi fenomena pertambangan emas Lembata, yang kami bingkaikan dalam tiga cara pandang yakni :
1. Masa lalu
Masa lalu adalah guru terbaik dalam hidup, dan keliru kalau kita tidak belajar dari padanya. Pengalaman masa lalu perihal pertambangan di Kabupaten Lembata diantaranya : Pertambangan Batu Barit di Atanila Kecamatan Omesuri, yang masuk dalam jenis tambang golongan B,tidak meninggalkan suatu kesejahteraan tetapi membawa derita dimana tidak adanya proses reklamasi yang jelas untuk menangani keadaan yang telah tercemar oleh aktifitas tersebut. Pertambangan Gas Alam di Watuwawer Kecamatan Atadei yang masuk dalam jenis tambang golongan A, dimana melalui survey menyatakan apabila dikelola untuk dijadikan pembangkit listrik tenaga gas, maka akan mengairi seluruh NTT bahkan sampai dengan pulau dewata Bali, serta pertambangan Batu dan Pasir di Waikomo Kecamatan Nubatukan, yang masuk dalam jenis tambang golongan C, yang mana membawa dampak pelebaran terhadap sungai waikomo serta mambawa dampak terhadap rusaknya sarana dan prasarana yang menghubungkan beberapa kecamatan, setidaknya memberikan kita pelajaran berharga yang patut kita jadikan cerminan untuk segala bentuk kegiatan pertambangan di Kabupaten Lembata, bukan hanya sekedar cerita klasik yang diwariskan dari generasi-kegenerasi bahwa disana, dipulau Lembata, diwaktu lampau ada kisah tentang pertambangan, tapi tidak memberikan kesejaterahan bagi masyarakat Lembata, malah sebaliknya penderitaan yang menjadi buah dari pertambangan tersebut. Iming-iming pertambangan masa lalu di Kabupaten Lembata adalah sama dengan iming-iming yang lagi marak disuarakan oleh PEMDA Lembata yakni “Demi Kesejaterahan Masyarakat Lembata”, yang tidak jauh berbeda dengan janji-janji para calon pemimpin dalam kampanye baik dalam pemilihan umum Legislatif maupun Eksekutif.
Dahulu hingga sekarang iming-iming kesejaterahan menjadi senjata pemungkas yang dapat menghibnotis masyarakat demi dan untuk sesuatu yang dalam kenyataan sulit untuk direalisasikan. Inilah salah satu proses pembodahan memanfaatkan kelemahan Sumber Daya Masyarakat (SDM), oleh karena itu masyarakat jangan terus dibodohi oleh janji-janji palsu yang dikedepankan.
2. Masa kini
Pertambangan merupakan keseluruhan proses yang dilakukan guna mengambil hasil kekayaan alam yang terkandung dalam perut bumi, dimana tambang / bahan galian yang terdapat didalam perut bumi tersebut merupakan anugerah terindah dari sang pencipta, yang tidak dapat ditolak oleh siapapun melainkan harus disyukuri dan dimanfaatkan dengan cara yang baik dan benar.
Namun dalam konteks persoalan di Lembata bukan masyarakat bersih keras menolak tambang yang nota bene merupakan anugerah terindah dari sang pencipta tetapi menolak kebijakan PEMDA Lembata mengenai pertambangan emas di Lembata, Penolakan oleh masyarakat terhadap kebijakan PEMDA Lembata disebabkan oleh beberapa faktor :
1. Tidak transparannya PEMDA Lembata dari proses awal hingga penandatangnan MoU dengan PT. Meruch Interprice, Cooper mengenai pertambangan emas di Kabupaten Lembata. Yang seharusnya diawali dengan proses sosialisasi terlebih dahulu kepada masyarakat, baru penandatangannan MoU. Dengan demikian yang dilakukan PEMDA Lembata adalah TERBALIK. Dan perlu diketahui bahwa apabila dikaji dari sisi hukum secara khusus mengenai hukum pertambangan perihal pengaturan soal Kontrak Kerja, sulit untuk dibatalkan apabila sudah ada kata sepakat yang dituangkan lewat penandatanganan kontrak kerja antara kedua belah pihak.
2. Yang disosialisakan PEMDA Lembata setelah penandatanganan MoU pun, materi-materi yang lebih bersifat positif dengan iming-iming kesejaterahan masyarakat tanpa mensosialisakan dampak negative apabila pertambangan itu terjadi, disamping itu isi yang diatur dalam MoU seperti apapun tidak disosialisasikan dan tidak dipublikasikan sehingga menambah kecurigaan masyarakat terhadap rencana tersebut. Kelihatan PEMDA Lembata lupa akan pengalaman pertambangan yang pernah dilaksanakan dihari kemarin.
3. Inisiatif PEMDA Lembata untuk mensejaterahkan masyarakat lewat usaha pertambangan emas ternyata melahirkan PRO dan KONTRA dalam masyarakat. Ironisnya PEMDA Lembata Mendiskriminasikan Masyarakatnya sendiri, dimana ketika kelompok Pro melakukan aksi demo malah diterima oleh PEMDA, sebaliknya apabila kelompok Kontra melkukan aksi demo ternyata diabaikan dan terkesan tidak dikenal
4. Tidak bijaksananya PEMDA Lembata dalam menyikapi persoalan yang terjadi, sehingga terjadi pengkotakan baik yang bersifat vertical maupun horizontal yang berdampak pada konflik berdarah. Ketika ada aksi penolakan dari masyarakat malah PEMDA Lembata semakin ngotot agar pertambangan emas di Lembata harus terjadi, dengan mengirim ahli-ahli pertambangan asli Lembata guna melakukan study bangding ke BUYAT-Minahasa. PROFICIAT buat para AHLI, jebolan UNIVERSITI jagung titi dan Merungge.
5. Keputusan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang baru disahkan, menujukkan kata sepakat untuk berpihak dan mendukung kebijakan Pertambangan Emas Lembata merupakan keputusan yang tidak TERPUJI dan telah MEMPERKOSA iklim demokrasi, yang bertendensi memanfaatkan dan menghalalkan segala cara termasuk gesekan SARA untuk mencapai tujuan. Ironiskan, disaat masyarakat melakukan aksi penolakan kebijakan tersebut mala wakil-wakil rakyat yang terhormat mendukung kebijakan tersebut. Idealnya wakil rakyat yang terhormat membela rakyatnya dan atau sebagai lembaga formal yang hadir sebagai “pahlawan” dalam menyelesaikan konflik yang lagi hangat terjadi antara rakyatnya dan pemerintah daerah.
6. Tidak bijaksana pula masyarakat Lembata yang melihat persoalan ini merupakan persoalan sekelompok kecamatan yang menjadi obyek dari rencana pertambangan tersebut, tanpa disadari keuntungan yang dihasilkan dari pertambangan tersebut merupakan keuntungan bersama yang tertuang dalam kesejahteraan masyarakat Lembata secara umum, serta dampak yang akan dihasilkan oleh pertambangan tersebut juga tidak hanya dirasakan oleh masyarakat disekitar lokasi pertambangan melainkan membawa dampak kerusakan lingkungan yang luas, tidak hanya di sekitar pulau Lembata melainkan juga wilayah NTT pada umumnya, karena kita tahu bahwa lautlah yang menghubungkan relasi antar pulau sehingga apabila limba dibungan kelaut maka celakalah kita. Oleh karena itu, marilah kita melihat persoalan ini sebagai persoalan kita bersama. PERLU DINGAT bahwa kami generasi muda asal Lembata sedang DIAJARKAN dan DIWARISKAN sikap yang tidak terpuji oleh masyarakat kami sendiri yang nota bene, juga bagian dari keluarga kami dan kerabat kenalan kami, yakni SIKAP APATISME yang mengedepankan SIKAP PRIMODIAL yang sangat tinggi.
7. Pegawai negeri sipil (PNS) Kabupaten Lembata secara keseluruhan menunjukan sikap loyalitas terhadap kebijakan pemimpin sebagai cermin pola penyelenggaraan pemerintahan yang bersifat “Top-Down”. Yang walaupun secara pribadi hati nurani mereka menunjukan sikap penolakan terhadap kebijakan tersebut. Sikap diamlah yang mereka kedepankan, sambil melontarkan bahasa pembelaan diri bahwa berada dalam system. Patut kita mengerti bahwa satu-satunya lapangan pekerjaan yang paling dominan dan diminati hampir sebagian besar masyarakat Lembata adalah menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Ironis memang kita menginjak-injak sesuatu yang memiliki nilai kebenaran dan keadilan yang keluar dari nurani kita, tetapi tidak membakar semangat kita untuk memperjuangkannya. Kita menjadi orang yang pasif, dengan terus mempertahankan posisi kita dengan menunjukan sikap loyalitas pada kebijakan pimpinan yang tidak humanis.
3. Masa Depan
Beranjak dari persoalan masa lalu dan saat ini, yang diulas singkat diatas dan apabila tidak direspon bijak dalam rangka penyelesaian konflik baik yang bersifat vertical (antara masyarakat dan PEMDA Lembata), maupun horizontal (antara masyarakat yang PRO dan yang KONTRA) maka akan berakibat akan terjadinya hal-hal sebagai berikut :
1. Terjadi tirani antara PEMDA Lembata yang di Beck up oleh militer apabila dipaksakan untuk terjadi pertambangan, serta antara masyarakat yang PRO dan masyarakat yang KONTRA. Karena realitas empirik menunjukan bahwa aksi penolakan dari masyrakat yang tolak kebijakan pertambangan emas Lembata, wujud konkretnya tidak hanya dalam bentuk demonstrasi beleka tetapi dengan penyatuan ritual adat masing-masing desa yang masyaraktnya dengan berani dan tegas menujukan sikap penolakan. Tak dapat kita pungkiri bahwa NTT pada umumnya dan Lembata pada khususnya hingga detik ini masih menjunjung tinggi segala bentuk ritual adat dalam konteks apapun.
2. Secara psikis dapat mempengarui kehidupan sosial –budaya yang seharusnya terjadi, karena setiap saat masyarakat hanya berpikir tentang pertambangan dimana, dan kapanpun. Sebagai salah satu contoh konkrit dalam acara sarasehan yang dilaksanakan pada tanggal 13 November 2007, ada pangakuan dari seorang perawat yang pernah bekerja di Dinas Kesehatan Kabupaten Lembata dan lagi melanjutkan study di Yokyakarta menuturkan bahwa ketika Ia bersama tim medis melakukan penyuluhan kesehatan di salah satu desa yang berada di Kecaatan Lebatukan, merasa terganggu dan tidak efektif karena masyarakat lebih aktual merespon isu dan kasus pertambangan dari pada moment yang pada waktu itu dilaksanakan.
3. Kecamba terjadinya konflik SARA (suku, ras dan agama). Kita tahu bahwa masyarakat Lembata yang memiliki sifat heterogen yang mengedepankan sikap primodial yang sangat menojol ditengah arus Sumber Daya Manusia (SDM) yang masih dibawah standar, yang amat rentan apabila diprofokasi oleh pihak-pihak yang tidak bermoral, memanfaatkan situasi dan kondisi yang sedang terjadi. Perlu disadari bersama bahwa ini masalah Pertambangan bukan masalah SARA.
4. Menghambat proses pembangunan disektor lain karena semua terfokus pada masalah pertambangan yang lagi hangat terjadi. Diakibatkan karena manajemen birokrasi Kabupaten Lembata yang sangat Loyal pada pemimpinnya dan masih dominan pola penyelenggaraan pemerintahan yang bersifat “TOP-DOWN” (dari atas ke bawah) dari pada “BOTTON-UP” (dari bawah ke atas). Sebagai salah contoh dalam kasus Pertambangan ini.
5. Melahirkan mosi tidak percaya dan krisis kepercayaan pada PEMDA yang berimplikasi pada aksi penurunan BUPATI dan WAKIL BUPATI. Persoalan pertambangan berahli jadi persoalan politik. Perlu di ingat bahwa Soeharto yang berkuasa 32 tahun, dapat dilengserkan dengan muda oleh masyarakatnya sendiri. Dulu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang Memilih, sekarang masyarakat yang memilih.
6. Keputusan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Lembata yang menyetujui kebijakan PEMDA Lembata perihal pertambangan emas Lembata, tersirat adanya KOLUSI yang dilakukan antara PEMDA Lembata dan DPRD Lembata yang telah BERKOMPIRASI untuk menetang aspirasi rakyat. Hal inilah yang melahirkan kebencian masyarakat yang berujung pada mosi tidak percaya dan krisis kepercayaan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Lembata. Perlu diingat bahwa Kedaulatan Tertingi Berada Pada Tangan Masyarakat, oleh karena itu amat sangat berbahaya ketika rakyat MURKA. Segala sesuatu yang tidak pernah direncanakan dan dibayangkan bisa saja dengan muda terjadi. Adalah menarik untuk direnungkan syair pepata klasik yang berujar, “VOX POPULI VOX DEI”, yang artinya “SUARA RAKYAT ADALAH SUARA TUHAN”. Ingat itu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang Terhormat bahwa anda sampai dikursi empuk dan menyandang gelar yang terhormat karena andil dan pilihan rakyatmu, jangan lupa dan jangan sia-siakan itu. Kepercayaan rakyat padamu hanya diberi untuk sekali, bisa untuk lebih dari sekali apabila Bapak-bapak yang terhormat bisa lebih rendah hati dan menjunjung tinggi kemauan rakyatmu. Cuma itu yang dipintah darimu wahai Dewan yang TERHORMAT. Cintailah Rakyatmu jika anda orang yang punya hati dan moral Ketimbang Cinta Akan Kenikmatan Sesaat, sebab Itu DOSA.
D. KESIMPULAN
Berdasarkan paparan pernyataan yang diulas dari atas serta kajian dari sisi masa lalu, masa kini, dan masa depan, dengan satu kata sepakat dari kami, Ikatan Kelurga Lembata Yogyakarta (IKALAYA), maka dari nurani yang tulus, dan dengan tegas kami menyampaikan beberapa hal sebagai berikut :
1. Kami Ikatan Keluaraga Lembata Yogyakarta (IKALAYA), dengan berbagai pertimbangan masa lalu perihal pertambangan yang tidak mensejahterakan masyarakat Lembata maka, kami “MENOLAK” kebijakan pertambangan yang telah dibuat PEMDA Lembata dan telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Lembata, dengan membatalkan MoU yang telah disepakati mersam pihak PT.Meruck Interprice, Cooper.
2. Kami Ikatan Keluarga Lembata Yogyakarta (IKALAYA), “MENOLAK” Kebijakan PEMDA sungguh sangat tidak POPULIS di mata masyarakat sehingga mendapat protes keras dari masyarakat. Untuk itu PEMDA perlu melakukan Re_Thinking terhadap kebijakan tersebut agar dapat mengembalikan rasa kepercayaan rakyat kepada PEMDA.
3. Kami Ikatan Keluaraga Lembata Yogyakarta (IKALAYA), “MENGHENDAKI” agar konflik yang terjadi segera untuk diselesaikan dan mengembalikan keadaan seperti keadaan sebelumnya. Keadaan dimana masyarakat hidup dengan tenang, damai berdampingan satu dengan yang lainnya dalam nuansa persaudaraan dan kekeluargaan.
4. Kami Ikatan Keluaraga Lembata Yogyakarta (IKALAYA), “DENGAN TEGAS MENGATAKAN” Bahwa Bupati Lembata sama sekali tidak mau mendengarkan aspirasi masyarakat dan tidak punya nilai kebijakan public yang berpihak kepada hak-hak dasar rakyat. Bupati telah menunjukan perilakunya yang otoriter sejati dalam pengambilan keputusan. Maka pantas dan layak diberikan PIAGAM PENGHARGAAN kepada bupati Lembata sebagai seorang Bupati yang memiliki karakter suka memaksakan kehendak. Apabila Bupati Lembata Tidak menggubris point SATU dan DUA dari kesimpulan ini, maka kami akan melanjutka pernyataan serta sikap tegas kami untuk berpihak kepada kepentingan serta aspirasi masyarakat Lembata.
5. Kami Ikatan Keluaraga Lembata Yogyakarta (IKALAYA), “DENGAN KERAS MENGECAM DAN MENGUTUK” keptusan Dewan Perwakilan Rakyat Lembata yang tidak Populis dan Humanis, dengan berpihak dan mendukung kebijakan PEMDA Lembata. Adalah lebih baik seorang “PELACUR” yang menjual diri untuk kepentingan dirinya ketimbang DPRD Lembata yang menjual “RAKYATNYA” untuk kepentingan diri dan golongannya.
6. Kami Ikatan Keluaraga Lembata Yogyakarta (IKALAYA), “TIDAK SIMPATI” pada sikap apatisme yang ditunjukan masyarakat diluar KEDANG dan LERAGERE yang mengambil sikap diam juga sebagai penonton menyaksikan adegan penolakan masyarakat terhadap kebijakan PEMDA Lembata. Kalau mengharapkan Lembata kedepannya bisa maju seperti yang diimpikan bersama maka sikap apatisme yang mengedepankan sikap primodial yang sangat tinggi harus kita singkirkan dari bumi penyelesaian konflik dan pembangunan Lembata saat ini dan kedepannya.
7. Kami Ikatan Keluaraga Lembata Yogyakarta (IKALAYA), “SANGAT-SANGATLAH MENYAYANGKAN” sikap pengecut yang ditunjukan oleh Pegawai Negeri Sipil yang bekerja di Kabupatan Lembata, yang rata-rata memiliki Sumber Daya Manusia (SDM) diatas standar. Dahulu semasa muda memiliki idealisme yang melangit dan sekarang menunjukan sikap loyalitas yang sedalam dasar lautan, kendatipun mereka tahu bahwa bertentangan dengan hati nurani mereka. Intinya asal BABE senang kata orang Betawi. Abis kamikan berada dalam system jadi mau tidak mau harus begitu, setuju tidak setuju, baik tidak baik kami harus mendukung biar posisi kami aman. Itulah bahasa pembelaan diri yang sering dilontarkan oleh hampir semua PNS yang berada di Kabupaten Lembata.
E. SARAN
Ada rupa-rupa pernyataan yang sering digunakan manusia. Ada yang mengatakan “Nasi Sudah Menjadi Bubur”, ada juga yang mengatakan “Penyesalan Selalu Datang Terlambat Setelah Semuanya Terjadi”, Ada pula yang mengatakan “Lebih Cepat, Lebih Baik”, dan masih banyak lagi pernyataan yang sering kita jumpahi dalam kehidupan kita yang paling tidak memiliki subtansi dan makna yang sama. Kami Ikatan Keluarga Lembata Yogyakarta (IKALAYA), mengamini semua pernyataan diatas dalam rangka penyelesaian konflik yang terjadi di Bumi Lembata. Oleh karena itu, sebelum semuanya terlambat dalam nada dan irama penyelesaian konflik kami menyarankan beberapa hal sebagai buah dalam bentuk solusi yang kami paparkan dibawah ini:
1. Kami, Ikatan Keluarga Lembata Yokyakarta (IKALAYA), menyarankan kepada masyarakat Lembata untuk Cool in-down (Mendinginkan Situasi), dan kepada PEMDA, LSM serta masyarakat baik yang pro maupun yang kontra untuk menghentikan segala bentuk kegiatan yang berkaitan dengan pertambangan.
2. Kami, Ikatan Keluarga Lembata Yogyakarta (IKALAYA), menyarankan Kepada PEMDA dan LSM – LSM terkait dengan Lingkungan SEGERA Menghentikan segala Aktivitasnya yang berhubungan dengan Proses pertambangan dalam bentuk dan cara apapun. Dan dalam situsi Cool In-Down PEMDA SEGERA Melakukan dialog terbuka dengan seluruh masyarkat Lembata untuk menyelesaikan persoalan ini tanpa melibatkan PT. Merukh Enterprice untuk mengembalikan rasa kepercayaan masyarakat kepada Pemda. Hal ini HARUS SEGERA dilakukan oleh Pemda untuk mencegah hal – hal yang tidak diinginkan kita bersama,
3. Apabila point 2 diatas tidak dapat direalisasikan maka kami Ikatan Keluarga Lembata Yogyakarta menganjurkan beberapa jalan penyelesaian diantaranya:
Ø Mengharapkan agar para pimpinan tertinggi masing-masing agama, yang sudah tercerai-berai para bawahannya dengan menunjukan sikap PRO dan KONTRA terhadap konflik yang terjadi, untuk bersatu, membangun kekuatan sebagai pihak yang diandalkan untuk memediasi penyelesaian konfik secara damai di Kabupaten Lembata, sebab Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Lembata sudah tidak dapat diharapkan lagi. Kita tahu bersama bahwa suara para petinggi masing-masing agama, dihadapan rakyat Lembata yang beragama maupun tak beragama sangat-sangat didengarkan. Oleh karena itu dari pihak pimpinan agama tidaklah cukup hanya sekedar menghimbau dan menghimbau tetapi menunjukan ketegasan dalam bingkai penyelesaian konflik yang sedang terjadi karena situasi dan kondisinya kian hari memanas.
Ø Mengandaikan pihak agamapun tak mampu hadir untuk menyelesaikan konflik secara damai maka menggunakan pihak ketiga yang dianggap bijak dan bersikap netral yang masih merupakan satu-kesatuan yang tak dapat dipisahkan dalam hirarki pemerintahan Negara Indonesia. Oleh karena itu, dalam konteks Negara kesatuan Republik Indonesia yang bersifat sentralistik maka yang paling pas hadir sebagai pihak ketiga adalah PEMDA Propinsi yakni PEMDA Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Karena dilihat dari sisi wilayah, Kabupaten Lembata merupakan salah satu bagian dari propinsi NTT dan atau Pemerintah Pusat.
Ø Jika point satu dan dua dalam anjuran diatas tidak dapat menyelesaikan konflik di Kabupaten Lembata maka, menghadirkan pihak lain diluar wilayah territorial Negara Rapublik Indonesia baik itu Negara, Organisasi Internasional dan atau Lembaga-lembaga yang bergerak khusus dalam penyelesaian sengketa, yang dianggap bisa dan kompeten menjembatani proses penyelesaian konflik di Kabupaten Lembata.
F. PENUTUP
Menurut Gay Hendricks dan Kate Lubeman dalam bukunya The Corporate Mystic, Pemimpin yang sukses selalu menerima umpan balik atau kritik yang jujur, meskipun kritik itu “Pedas, Kasar dan Merendahkan”. Pemimpin harus menerimanya dan bila perlu mengucapkan terima kasih.
Rahasia sukses seorang pemimpin adalah ”KOMUNIKASI”. Hal yang paling sulit dirasakan banyak orang dalam berkomunikasi , selain mendengar aktif, adalah mendapatkan dan memberikan umpan balik yang JUJUR. Pada hal itu merupakan sesuatu yang paling berharga. Lebih dari itu, pemimpin yang Agung tidak saja menerima umpan balik yang tidak mengenakan, tetapi juga “KEMATIAN” yang bisa dipakai sebagai umpan balik yang berdampak luar biasa. Pemimpin Agung adalah Pemimpin yang sangat mencintai dan dicintai oleh orang yang dipimpinnya. Meskipun demikian, pemimpin tersebut siap menerima umpan balik demi KEMATIAN DIA, bahkan siap menerima balasan dari orang-orang yang pernai dilukai, dan hal itu merupakan salah satu rahasia sukses pemimpin agung.
Oleh karena itu, apa yang diperbuat harus dapat dipertanggung jawabkan kepada ALLAH sebagai pertanggung jawaban seorang Pemimpin.
Yogyakarta, 06 Desember 2007
Disahkan Oleh :
A. Sesepuh IKALAYA
1. Johanes M. Kedang :…………………………….
2. H. Nasrullah Krisnam :…………………………….
3. Yoseph Yappi Taum :…………………………….
4. Antonius L. Tukan :…………………………….
B. PENGURUS IKALAYA
KETUA IKALAYA
Florentinus V.D Blikololong
C. TEMBUSAN DISAMPAIKAN :
1. Dirjen Mineral, Batubara dan Panas Bumi.
2. Kementrian Energi dan Sumber daya Mineral
3. Komisi VII DPR RI
4. Pemerintah Propinsi D.I.Y
5. Dinas Pertambangan dan Energi (ESDM) Propinsi D.I.Y
6. DPRD D.I.Y
7. Pemerintah Propinsi Nusa Tenggara Timur
8. DPRD Nusa Tenggara Timur
9. DPRD Kabupaten Lembata
10. Keuskupan Larantuka
11. Deken Lembata
12. JPIC OFM Jakarta
13. JPIC OFM – SVD Ende
14. LSM yang berada di Lembata
15. Media Masa Lokal
Jumat, 14 Desember 2007
Koteklema Sumber Hidup Warga Lamalera
Oleh Maria D. Andriana
Kamis, 13 Desember 2007
Pemkab Lembata Perlu Transparan Terkait Investasi Tambang
“Aksi demo ini mengindikasikan ketidakpercayaan rakyat terhadap Pemkab Lembata. Jadi harus dimulai dengan membangun kepercayaan rakyat dengan cara menjelaskan secara transparan dan jujur kepada rakyat,” katanya terkait aksi demo penolakan tambang dengan cara menduduki kantor Bupati Lembata.
Menurut dia, kesan kuat dari rakyat adalah bahwa pemerintah memiliki kepentingan tertentu dengan mengorbankan rakyat. Ini yang mendorong rakyat bersatu dan melakukan aksi besar-besaran untuk menolak rencana investasi tambang dan emas oleh Grup PT. Merukh Interprises.
Karena itu, hanya dengan penjelasan secara jujur dan transparan, masyarakat dapat memahaminya dan dengan sendirinya bisa menerima apa yang telah menjadi keputusan pemerintah, katanya.
Dia juga meminta DPRD Lembata untuk dapat mengakomodir aspirasi rakyat dan memfasilitasi pertemuan dengan pemerintah dan pihak perusahan untuk mencari solusi penyelesaian yang dapat diterima oleh kedua belah pihak.
Menurut dia, reaksi penolakan terhadap rencana investasi tambang dan emas di Lembata telah berlangsung sejak diumumkan oleh pemerintah, tetapi tidak pernah ditanggapi oleh DPRD sebagai pemegang kedaulatan rakyat.
Mestinya, kata dia, DPRD Lembata sejak awal meminta penjelasan pemerintah dan memfasilitasi masyarakat untuk berdialog secara bersama-sama mencari solusi penyelesaian.
Tetapi yang terjadi, lanjut dia, adalah DPRD lebih memilih berpihak pada kepentingan pemerintah dan pengusaha dengan mengabaikan aspirasi rakyat yang diwakilinya.
Walaupun rencana investasi tambang di Lembata terus menuai protes, pemerintah Kabupaten Lembata bertekad untuk tetap memperjuangkan dan merealisasikan rencana tersebut.
Bupati Lembata, Andreas Duli Manuk, dalam keterangannya kepada wartawan menegaskan, investasi usaha pertambangan yang berlokasi di Kecamatan Buyasuri dan Lebatukan tetap akan dilaksanakan sesuai dengan kesepakatan yang sudah dibuat oleh pihak perusahan dengan Pemkab Lembata.
Apa yang dilakukan oleh pemerintah saat ini adalah bagian dari upaya untuk mensejahteraan rakyat di kabupaten yang baru berpisah dari Kabupaten induk Flores Timur delapan tahun lalu itu, katanya. antara
Tak Ada Gunanya Tambang di Lembata
Diaz yang juga aktivis Lembaga Studi Advokasi dan Hak-hak Asasi Manusia (ELSHAM) Papua diminta tanggapannya terkait rencana PT Merukh Lembata Coopers (MLC), kelompok usaha Merukh Enterprise, melakukan kegiatan pertambangan di Lembata yang disetujui Bupati Andreas Duli Manuk dan DPRD Lembata namun ditolak keras masyarakat dan beberapa elemen, termasuk para pastor se-Dekanat Lembata.
“Kita lihat saja Papua. Pulau itu secara geografis sangat luas tetapi setelah PT Freeport Indonesia (PT FI) beroperasi sekian puluh tahun, limbahnya membuat tumbuhan rusak dan masyarakat sekitar areal pertambangan justru pindah dari tempat tinggal mereka,” ujar Diaz Gwijangge kepada FLORES POS di Hotel Patra Semarang, Jawa Tengah belum lama ini.
Kenyataan ini, ujar Diaz, sangat merugikan masyarakat sehingga ia menyarankan agar jika ada perusahaan yang berencana melakukan pertambangan di Lembata sebaiknya masyarakat adat atau komponen-komponen yang ada di sana menolak. Ini sangat penting karena jangan sampai Pulau Lembata menjadi Freeport kedua.
“Saya ini salah satu korban kekerasan ketika Freeport hadir di wilayah kami. Selama ini kami sudah berusaha mengadakan advokasi tetapi perusahaan begitu kuat karena bermain mata dengan pemerintah. Perusahaan menggunakan uang untuk membeli semua kekuatan sehingga perjuangan kami selama ini tak pernah digubris dan perusahaan beroperasi terus. Saya ingatkan agar jangan sampai hal ini dialami lagi oleh masyarakat Lembata,” tegas sarjana Antropologi jebolan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisip) Universitas Cendrawasi (Uncen) ini mengingatkan.
Diaz Gwijangge adalah salah satu korban yang ditabrak hingga cacat kakinya karena dianggap sebagai tokoh yang menentang PTFI dan pemerintah setempat. Ia menceritakan, banyak sanak familinya meninggal karena berjuang mempertahankan hak ulayat. Mereka malah dituding terlibat dalam gerakan separatis padahal ingin mempertahankan tanah ulayatnya.
Ia mengingatkan, DPRD Lembata mestinya bicara untuk menyuarakan penolakan masyarakat terhadap rencana perusahaan pertambangan beroperasi di Lembata. DPRD semestinya menyampaikan aspirasi penolakan masyarakat kepada perusahaan pertambangan yang berniat menanamkan investasinya di sana (Lembata).
“Di alam demokrasi saat ini, penghargaan terhadap hak-hak masyarakat lokal menjadi sangat penting. Hal itu juga menjadi salah satu bentuk penghormatan terhadap prinsip-prinsip kemanusiaan universal. Jangan membuat sebuah kebijakan investasi tanpa persetujuan pemangku ulayat dan masyarakat. Ini sangat berbahaya,” tegas Diaz.
Pemerintah Kabupaten Lembata dan masyarakat perlu banyak belajar dari sejarah kelam kehadiran perusahaan pertambangan di Papua. Kehadiran sebuah perusahaan pertambangan tak hanya mengambil emas, perak, tembaga, dan lain-lain tetapi masyarakat akan terancam mempertahankan hak-hak ulayatnya karena pendekatan represif menjadi sangat dominan.
“Saya pikir pengalaman perusahaan pertambangan di Papua dapat dijadikan cermin bagi Pemkab dan masyarakat Lembata dan di manapun di Indonesia ini. Masyarakat Lembata yang hidup dari bertani dan nelayan justru akan kehilangan mata pencahariannya. Mereka juga akan tercerabut dari akar budayanya dan menjadi orang asing di kampung sendiri. Ini tentu sangat menyakitkan,” ujarnya.Janji Perusahaan
Sementara itu, pemangku ulayat lainnya di Timika Melkianus Kiwang mengingatkan agar masyarakat Lembata mewaspadahi janji-janji manis yang diumbar oleh perusahaan pertambangan. Ini penting karena jika sudah beberapa tahun beroperasi dan mengeruk banyak keuntungan dari tanah ulayat masyarakat maka masyarakat akan ditinggalkan dan tetap hidup dalam balutan kemiskinan.
“Tanah kami yang begitu luas, saat ini tak bisa kami harapkan lagi untuk menjadi sumber kehidupan. Nah, bagaimana jika hal itu terjadi di Pulau Lembata? Lambat laun masyarakat akan habis jika mengijinkan perusahaan tambang beroperasi di wilayah itu,” tandas Kiwang yang juga Wakil Ketua I Sinode Gereja Papua.
Ia menegaskan, masyarakat tentu tidak akan bertahan hidup di mana pun jika dipindahkan secara paksa oleh karena hadirnya sebuah perusahaan pertambangan. Masyarakat sudah hidup menyatu dengan alam dan lingkungannya walaupun dalam kesederhanaan. Namun, itu merupakan bagian kehidupan mereka.
“Ya, hari ini perusahaan menjanjikan banyak hal hanya karena ingin mengeruk emas dan kandungan lainnya. Tetapi, setelah itu masyarakat akan diusir secara paksa. Ini pengalaman kami sebagai pemangku ulayat di areal Freeport. Sampai saat ini kami merasa bahwa hak ulayat kami diambil namun kami tidak pernah diperhatikan. Dulu kami banyak dijanjikan tetapi sampai dengan hari ini kami tidak pernah dapat apa-apa. Kalau masyarakat Lembata masih memikirkan bahwa mereka punya generasi berikut maka sebaiknya menolak tegas kehadiran perusahaan pertambangan,” ujarnya.
Ansel Deri
Sumber: harian FLORES POS edisi 11 Desember 2007
DPRD Lembata Janji Adukan ke Kejaksaan
Wakil Ketua Pokja I DPRD Kabupaten Lembata, Theodorus Laba Kolin, SH mengakui bahwa tim pansus DPRD Kabupaten Lembata juga menemukan hal yang sama. Menurutnya, Pokja I yang membidangi pembahasan laporan hasil temuan BPK telah menentukan sikap untuk merekomendasikan kepada Rapat Paripurna Dewan agar segera melapor Bupati Lembata dan Kepala BPKAD Kabupaten Lembata ke Kejaksaan Negeri Lewoleba untuk diproses secara hukum.
“Memang, Pansus DPRD sudah bekerja dan kami juga telah menemukan sekitar Rp 12 miliar lebih cek dan slip yang tidak dapat ditelusuri. Daerah kan rugi sekian banyak duit. Jadi kami tetap akan proses hukum,” jelas Laba Kolin.
Selain itu, agenda lain yang akan dilakukan adalah mendesak BPKAD untuk segera melakukan verifikasi terhadap seluruh cek dan slip yang telah beredar untuk dapat dipertanggungjawabkan.
Menanggapi penilaian BPK kepada Bupati Lembata, Drs. Andreas Duli Manuk yang dinilai lalai dalam melakukan pengawasan terhadap penatausahaan BUD dan Kuasa BUD, Laba Kolin yang juga anggota Pansus DPRD mengatakan secara riil memang Bupati Manuk telah dianggap lalai. “Seharusnya, apabila telah ditemukan kekeliruan atau kesalahan yang dilakukan oleh BUD dan Kuasa BUD seperti begini sedini mungkin harus ditindak secara tegas. Tidak bisa dibiarkan begini,” tegas Kolin.
Terhadap temuan ini, jelas Kolin, semestinya BPK juga harus memberikan sikap tegas, tidak harus mengembalikannya kepada bupati karena BPK sendiri telah memegang bukti-bukti otentik. (tabloid demos lembata)
Temuan BPK: Rp 12M "Raib" di Lembata
n Bupati Manuk Dinilai Lalai
Bupati Lembata, Drs. Andreas Duli Manuk dinilai lalai oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Republik Indonesia lantaran lemahnya pengawasan terhadap penatausahaan Bendahara Umum Daerah (BUD) dan Kuasa BUD. Akibatnya, Rp 12 miliar lebih cek dan slip yang tidak dapat ditelusuri dan diyakini kebenarannya.
Ini benar-benar mengejutkan. Audit keuangan yang dilakukan Badan Pemerisa Keuangan (BPK) Republik Indonesia terhadap pengelolaan keuangan oleh Pemerintah Kabupaten Lembata ditemukan uang senilai Rp 12.317.045.760,91 dalam bentuk cek beredar. Namun BPK menyatakan, “tidak dapat diyakini kebenarannya sebagai unsur kas”.
Dalam laporan hasil auditnya, BPK mengungkapkan bahwa pada Tahun Anggaran 2006 Pemerintah Kabupaten Lembata menerbitkan cek atau slip untuk mengeluarkan uang dari rekening kas daerah guna merealisasikan belanja yang tercantum dalam Surat Perintah Membayar Utang (SPMU). Setiap SPMU yang terbit telah dicatat dalam register SPMU dan B.IX. Namun tidak demikian halnya dengan cek dan slip. Setiap cek atau slip yang terbit untuk penarikan uang tidak dicatat dalam buku register cek atau slip. Setiap cek atau slip memiliki nomor seri beserta sobekan kecil perforasi di sebelah kiri, namun tidak demikian halnya dengan slip.
“Hal ini menimbulkan kesulitan untuk menelusuri dan menyandingkan antara SPMU dengan cek atau slip yang terbit serta pengembalian atas penerbitan atau pembatalan cek dan slip menjadi lemah,” tulis BPK.
Pada konsep neraca per 31 Desember 2006 sebelum koreksi, papar BPK, saldo bank disajikan sebesar Rp 14.744.043.236,61. Bendahara Umum Daerah (BUD) dan Kuasa BUD tidak pernah membuat rekonsiliasi bank untuk mencocokan B.IX dengan rekening koran. “Sampai dengan berakhirnya pemeriksaan data dan rincian mengenai saldo bank tersebut tidak didapatkan,” jelas mereka.
Sisa Laporan Perhitungan Anggaran (SiLPA) Tahun 2006 setelah koreksi diketahui sebesar Rp 29.019.419.718,00. Data yang berhubungan langsung dengan SiLPA dan dapat ditelusuri adalah Kas di Bendahara Pengeluaran sebesar Rp 6.431.731.137,00; uang muka kerja atau panjar yang dianggap sebagai bagian dari kas sebesar Rp 2.851.221.955,00; dan deposito sebesar Rp 5.000.000.000,00. Sehingga jumlah ketiganya secara keseluruhan sebesar Rp 14.282.953.092,00.
“Saldo bank yang menjadi hak daerah per 31 Desember 2006 seharusnya sebesar Rp 14.736.466.626,00. (Rp.29.019.419.718,00 – Rp.14.282.953.092,00),” jelas BPK.
Pemeriksaan terhadap dua belas rekening giro dan tabungan milik Pemerintah Kabupaten Lembata diketahui bahwa terdapat saldo bank sebesar Rp 34.551.827.496,09 per 31 Desember 2006. Rekapitulasi BUD/Kuasa BUD atas cek dan slip yang masih beredar per 31 Desember 2006 adalah sebesar Rp 32.132.406.631,00 sehingga hak daerah atas saldo bank menurut data ini adalah Rp 2.419.420.865,09.
Namun demikian, ungkap BPK dalam laporannya, pencocokan terhadap cek dan slip yang dicairkan ke bank setelah tanggal neraca dengan rekening koran 2007 tidak secara persis dapat ditelusuri. “Data mengenai berapa jumlah sebenarnya cek dan slip yang beredar tidak dapat ditelusuri dan didapatkan sampai dengan berakhirnya pemeriksaan,” papar tim auditor BPK.
Disebutkan pula bahwa informasi dari BUD/Kuasa BUD mengenai tutup kas terjadi pada 31 Januari 2007. Sayangnya, informasi ini diperoleh menjelang berakhirnya pemeriksaan. “Sehingga Tim Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tidak mempunyai prosedur lain untuk dapat menelusuri jumlah cek dan slip yang beredar yang sebenarnya per 31 Desember 2006,” jelas mereka.
“Dari saldo bank setelah koreksi yaitu sebesar Rp 14.726.466.626,00 di neraca per 31 Desember 2006, diantaranya sejumlah Rp 12.317.045.760,91 dalam bentuk cek beredar dan tidak dapat diyakini kebenarannya sebagai unsur kas. Nilai sebesar Rp. 12.317.045.760,91 berasal dari selisih antara saldo bank dikurangi cek/slip yang seharusnya beredar dengan saldo bank dikurangi cek/slip beredar menurut BUD/Kuasa BUD atau secara matematis adalah (Rp 34.551.827.496,09 – Rp 19.815.360.870,09) – (Rp 34.551.827.496,09 – Rp 32.132.406.631,00),” papar BPK.
Langgar Aturan
Berdasarkan hasil temuan ini, maka BPK menilai Pemerintah Daerah Kabupaten Lembata telah melanggar aturan perundang-undangan yang berlaku, khususnya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah Pasal 4 yaitu Keuangan Daerah dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggungjawab dengan memperhatikan asas keadilan, kepatutan dan manfaat untuk masyarakat, dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintah.
Kerangka Konseptual Akuntansi Pemerintah bagian Karakteristik Kualitatif Laporan Keuangan yaitu “Andal”. Khusus pada poin yang menyatakan bahwa informasi dalam laporan keuangan bebas dari pengertian yang menyesatkan dan kesalahan material, menyajikan setiap fakta secara jujur serta dapat diverifikasi.
“Informasi mungkim relevan tetapi jika hakikat atau penyajiannya tidak dapat diandalkan maka penggunaan informasi tersebut secara potensial dapat menyesatkan,” jelas mereka.
Dengan demikian, BPK menilai Bupati Lembata, Drs. Andreas Duli Manuk telah lalai dalam melakukan pengawasan terhadap penatausahaan cek dan slip yang dipertanggungjawabkan oleh BUD dan Kuasa BUD.
Berdalih
Sementara itu, menurut auditor utama keuangan negara VI Perwakilan BPK RI di Kupang, Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kabupaten Lembata, Petrus Toda Atawolo telah menjelaskan kepada mereka bahwa cek dan slip itu sulit ditelusuri disebabkan penutupan buku Tahun Anggaran 2006 baru dilaksanakan pada 31 Januari 2007. Artinya, seluruh dokumen SPP tahun 2006 yang diajukan pada bulan Desember 2006 baru dapat diselesaikan pada akhir bulan Januari 2007.
Juga, sebut mereka mengutip penjelasan Atawolo, dipengaruhi keterbatasan tenaga verifikasi SPP pada Sub Bagian Perbendaharaan. Akibatnya, seluruh SPP yang diterbitkan atas SPP yang dimaksud tanggal realisasinya ditetapkan tanggal 31 Desember 2006. “Dengan mundurnya penutupan buku tersebut maka akan sangat mempengaruhi cek dan slip yang masih beredar”.
Demikian penjelasan Kepala BPKAD sesuai yang termuat dalam Laporan Atas Pengendalian Intern Dalam Kerangka Pemeriksaan Laporan Keuangan Pemerintah Kabupaten Lembata Tahun Anggaran 2006 oleh Auditorat Utama Keuangan Negara VI Perwakilan BPK RI di Kupang Nomor 08.3.C/Pwk.BPK RI di Kpg/07/2007 tanggal 11 Juli 2007.
Kendati begitu, BPK tetap memberikan rekomendasi kepada Bupati Lembata, Drs. Andreas Duli Manuk untuk memberikan sanksi kepada BUD dan Kuasa BUD atas kelalaiannya yang tidak tertib dalam menatausahakan cek dan slip beredar.
Nah, kemanakah dana sebesar Rp 12 miliar lebih itu dimanfaatkan? Kita nantikan proses lanjutannya. (tabloid demos lembata)
Minggu, 09 Desember 2007
Kebijakan pertambangan berbasis potensi daerah
Bria Yohanes menyampaikan pemikirannya ini saat memberikan arahan awalnya sekaligus membuka secara resmi rapat teknis pertambangan dan energi bagi para kepala dinas semua kabupaten/kota dari instansi ini di aula Distamben NTT, Rabu (5/12/2007).
"Pembangunan daerah termasuk di dalamnya kebijakan Distamben dirancang berdasarkan dua perspektif yang harus berjalan harmonis, yakni selaras dengan pembangunan nasional dan di lain pihak berbasis kepentingan atau potensi daerah atau sumber daya lokal. Dengan demikian, akan tercipta hubungan fungsional yang sinergis dan tetap terarah kepada masyarakat sebagai subyek sekaligus obyek pembangunan," ujarnya.
Menurutnya, salah satu tugas Distamben NTT adalah mengembangkan potensi kekayaan sumber daya alam NTT khususnya bidang pertambangan umum dan energi secara hemat dan optimal. Untuk itu, dia mengharapkan, peserta rapat teknis ini agar melakukan pembahasan dan evaluasi program kerja 2007 dan pemantapan perencanaan 2008. Peserta juga diharapkan mampu menangkap berbagai isu aktual di bidangpertambangan dan energi sehingga dapat menghasilkan rekomendasi teknis dan administrasi bagi pelaksanaan tugas Distamben yang lebih baik ke depan.
Salah satu narasumber yang adalah Kepala Bagian Tata Usaha Distamben NTT, Drs. Hendrik Lolang saat membawakan makalah tentang kelembagaan, ketatalaksanaan dan SDM bidang pertambangan dan energi mengatakan, Distamben dalam perumpunan dinas berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun 2007 berdiri sendiri dan tidak perlu dihapus ataupun dimerger dengan dinas yang lain.
Karena itu, menurutnya, kepala daerah/walikota harus memahami bahwa perumpunan dinas yang disyaratkan dalam PP 41 Tahun 2007, Distamben berdiri sendiri dan berbeda dengan dinas lain yang dapat digabung.
"Dinas Pendidikan digabung dengan Pemuda dan Olahraga, Sosial dengan Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Perhubungan dengan Komunikasi dan Informatika, dan lain-lain. Tetapi Pertambangan dan Energi berdiri sendiri. Karena itu, kepala daerah harus memperhatikan hal ini saat menerapkan PP 41 tersebut," jelasnya.
Dia juga mengungkapkan beberapa kelemahan terkait kondisi kelembagaan pemerintahan saat ini. Menurutnya, kelembagaan masih memiliki hierarkhis yang tinggi, masih bersifat tambun, didukung oleh sumber daya aparatur yang kurang kompeten, kurang adanya kejelasan kewenangan tugas, kegiatan yang tumpang-tindih dan kurang memiliki visi dan misi yang jelas.
Karena itu, Distamben di setiap daerah, katanya, harus mencermati kondisi ini dan membenah dirinya. "Dalam Distamben ini ada sarjana hukum yang bekerja sebagai teknisi bahan galian dan mineral. Kondisi ini memang tidak bisa dihindari pada masa yang lalu, tetapi harus diperbaiki pada masa mendatang," ujarnya. (dar)
Bupati Lembata dinilai sewenang-wenang
Demikian ditegaskan Lembaga Advokasi dan Penelitian (LAP) Timoris dalam siaran pers-nya yang ditandatangani Hipol Mawar (Direktur), diterima Pos Kupang, Kamis (6/12/2007). LAP Timoris melakukan telaahan prosedur hukum terhadap SK Bupati Lembata Nomor 141 Tahun 2007 tentang Pemberhentian dan Pengangkatan Penjabat Kepala Desa Dikesare.
LAP Timoris menyatakan, Pilkades di Desa Dikesare "mengebiri" demokrasi oleh Pemerintahan Kabupaten Lembata. Proses pemilihan dari awal hingga penyerahan berita acara hasil pemilihan calon kepala desa telah selesai dilakukan dan diserahkan ke kabupaten melalui camat Lebatukan. Pilkades Dikesare ini dimenangkan Eustakius Rafael Suban Ikun dengan jumlah suara kemenangan 165 suara, mengungguli Usman Gega dengan jumlah 43 suara.
Meski demikian, tanggal 13 September 2007 dikeluarkan Surat Pemberhentian Kepala Desa Dikesare melalui Surat Keputusan Bupati Lembata No. 141 Tahun 2007 yang ditandatangani Wakil Bupati Lembata, Andreas Nula Liliweri (surat diberikan ke kepala desa Dikesare pada bulan Oktober 2007).
LAP Timoris menyatakan, pemberhentian Kepala Desa Dikesare yang tidak prosedural dan inkonstitusional karena tidak merujuk pada ketentuan Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005 pada pasal 17 dan Peraturan Daerah Kabupaten Lembata Nomor 5 Tahun 2006 Pasal 33. Berikutnya adalah landasan pijak hukum bupati memberhentikan kepala desa harus mendapatkan usulan dari Badan Perwakilan Desa (BPD).
"Keputusan Bupati ini adalah bentuk penyelenggaraan pemerintahan Orde Baru yang masih tumbuh subur di Kabupaten Lembata, yakni penyelenggaraan pemerintahan otoriter yang tidak mendengarkan aspirasi dan partisipasi masyarakat, tidak mengikuti (berupaya melanggar) prosedur hukum yang demokratis di tingkat desa. Peran BPD hendak dimandulkan pemerintahan Kabupaten Lembata," demikian LAP Timoris.
Hal lainnya adalah keputusan Bupati Lembata Nomor 141 Tahun 2007 secara formal tidak memenuhi syarat sebagai sebuah keputusan. Judul keputusannya adalah Keputusan Bupati secara formal harus ditandatangani oleh Bupati Lembata sebagai pejabat yang membuat dan bertanggung jawab atas keputusan tersebut. Dalam keputusan tersebut pengesahannya ditandatangani Wakil Bupati Lembata, Andreas Nula Liliweri, secara formal adalah cacat hukum.
"Pengangkatan Making Gregorius yang adalah Sekretaris Camat Lebatukan sebagai Penjabat Kepala Desa Dikesare adalah tindakan melanggar ketentuan hukum. Keputusan itu adalah bentuk tindakan kesewenang-wenangan dan cacat hukum," tulis LAP Timoris.
LAP Timoris menduga, kasus yang terjadi di Desa Dikesare adalah lebih bernuansa politik karena keberpihakan Kepala Desa Dikesare kepada masyarakat dan menolak menjadi agen kepentingan penguasa pemerintahan kabupaten. (aca)
SIARAN PERS LAP TIMORIS
PEMBERHENTIAN KEPALA DESA DIKESARE INKONSTITUSIONAL DAN ”PENGANGKANGAN” DEMOKRASI
Kehadiran UU 32 TAHUN 2004 tentang Otonomi Daerah berdampak pada perubahan penyelenggaraan tata pemerintahan sampai ke pemerintahan desa. Sejak digulirkan, diharapkan mampu menjadi jalan untuk demokratisasi, dengan meningkatkan partisipasi dan keterlibatan masyarakat dalam setiap proses pembangunan. Atau dengan kata lain, kewenangan penyelenggaran dan pengaturan pemerintahan diberikan kepada daerah, berotonom mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa dan aspirasi masyarakat.
Otonomi daerah dalam hubungannya dengan desa, diatur dengan PP 72/2005, tentang Desa dan Keputusan Mentri Dalam Negri No. 64 tahun 1999 tentang Pedoman Umum Pengaturan Mengenai Desa. Adanya peraturan spesifik tentang desa merupakan harapan baru berkembangnya demokrasi di tingkat desa. Sistim dan mekanisme penyelanggaran pemerintahan otoriter yang hanya menggunakan desa sebagai alat kepentingan penguasa bergeser kepada otonomi. Desa berhak menyelenggarakan pemerintahan berdasarkan asal-usul, kebutuhan wilayah, prakarsa dan partisipasi masyarakat desa dalam pembangunan, termasuk proses dan mekanisme Pemilihan Langsung Kepala Desa (Pilkades) yang adalah perwujudan demokrasi di desa.
Pemilihan langsung kepala desa sesuai ketentuan normatif memberikan kewenangan seluas-luasnya kepada masyarakat melalui BPD untuk mengatur semua proses dan mengkawalnya hingga pelantikan kepala desa terpilih adalah wujud nyata demokrasi sedang berkembang ditingkat desa. Ironis, kalau ada pihak atau penguasa kabupaten berupaya mematikan demokrasi yang tengah berkembang dengan mengintervensii keputusan-keputusan politik di tingkat pemerintahan desa.
Hal ini sedang terjadi di Kabupaten Lembata. Pilkades di Desa Dikesare Kabupaten Lembata terjadi ”pengebirian” demokrasi oleh Pemerintahan Kabupaten Lembata. Proses pemilihan dari awal hingga penyerahan berita acara hasil pemilihan calon kepala desa telah selesai dilakukan dan diserahkan ke Kabupaten melalui camat Lebatukan. Pilkades Dikesare ini dimenangkan sdr. Eustakius Rafael Suban Ikun dengan jumlah suara kemenangan 165 suara, mengungguli sdr. Usman Gega dengan jumlah 43 suara.
Anehnya, pada tanggal 13 September 2007 dikeluarkan Surat Pemberhentian Kepala Desa Dikesare melalui Surat Keputusan Bupati Lembata No. 141 Tahun 2007 yang ditandatangani Wakil Bupati Lembata, Andreas Nula Liliweri. (surat diberikan ke kepala desa Dikesare pada bulan Oktober 2007)
Berkaitan dengan pemberhentian Kepala Desa Dikesare yang tidak prosedural dan demokrastis ini, Lembaga Advokasi dan Penelitian (LAP) Timoris menyatakan:
1. Keputusan Bupati Lembata Nomor 141 Tahun 2007 tentang Pemberhentian dan Pengangkatan Penjabat Kepala Desa Dikesare, Kabupaten Lembata merupakan tindakan sewenang-wenang pemerintah kabupaten (abus de droit atau willekeur) dan Inkonstitusional. Hal ini bisa dilihat dalam ketentuan Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005 pada pasal 17 dan Peraturan Daerah Kabupaten Lembata Nomor 5 Tahun 2006 Pasal 33 ayat (1) bahwa “Kepala Desa berhenti karena: a). Meningggal dunia; b). Permintaan sendiri; c). Diberhentikan; Ayat (2) Pasal 33 huruf a, ditegaskan bahwa: Kepala Desa diberhentikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c karena: “berakhir masa jabatannya dan telah dilantik pejabat yang baru”. Ayat (3) Pasal 33 bahwa “Usul pemberhentian Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b dan ayat (2) huruf a dan b diusulkan oleh pimpinan BPD kepada Bupati melalui Camat, berdasarkan hasil rapat BPD yang ditetapkan dengan Keputusan BPD”.
Logika ini mengamanatkan bahwa:
a. Peraturan Daerah Kabupaten Lembata Nomor 5 Tahun 2006 Pasal 33 Ayat (2) Pasal 33 huruf a, bahwa: Kepala Desa diberhentikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c karena: “berakhir masa jabatannya dan telah dilantik pejabat yang baru” adalah masa jabatan kepala desa sebelumnya berakhir ketika terjadi pelantikan kepala desa baru/terpilih. Selama kepala desa terpilih belum dilantik maka kepala desa sebelumnya tetap sebagai kepala desa dan secara hukum tetap menjalankan tugas sebagai kepala desa sebagaimana mestinya.
b. Ayat (3) Pasal 33 adalah landasan pijak hukum bupati memberhentikan kepala desa harus mendapatkan usulan dari Badan Perwakilan Desa (BPD). Demokrasi terjadi pada proses ini, artinya masyarakat berhak mengusulkan melalui BPD dan bukan intervensi dari Bupati. Kecuali, hak bupati memberhentikan/sementara tanpa menerima usulan BPD jika melakukan tindakan melanggar ketentuan; Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005, pasal 18 ayat 1 dan 2 dan pasal 19 atau Peraturan Daerah Kabupaten Lembata Nomor 5 Tahun 2006, pasal 34 ayat 1 dan 3 dan pasal 35.
Namun demikian, jika dilihat bagian menimbang surat keputusan tersebut (poin a) sama sekali diluar kewenangan pemberhentian langsung oleh bupati.
2. Keputusan Bupati ini adalah bentuk penyelenggaran pemerintahan orde baru yang masih tumbuh subur di Kabupaten Lembata, yakni penyelenggaran pemerintahan otoriter yang tidak mendengarkan aspirasi dan partisipasi masyarakat, tidak mengikuti (berupaya melanggar) prosedur hukum yang demokrastis di tingkat desa. Peran BPD hendak dimandulkan pemerintahan Kabupaten Lembata
3. Keputusan Bupati Lembata Nomor 141 Tahun 2007 secara formal tidak memenuhi syarat sebagai sebuah Keputusan (beschikking). Judul keputusannya adalah Keputusan Bupati secara formal harus ditandatangani oleh Bupati Lembata sebagai pejabat yang membuat dan bertanggungjawab atas keputusan tersebut. Dalam keputusan tersebut pengesahaannya ditandatangani Wakil Bupati Lembata, Andreas Nula Liliweri, secara formal adalah cacat hukum. Sebagai perbandingan, keputusan bupati ditandatangani wakil bupati hanya terjadi di pemerintahan Kabupaten Lembata.
4. Pengankatan sdr. Making Gregorius yang adalah Sekretaris Camat Lebatukan sebagai Pejabat Kepala Desa Dikesare adalah tindakan melanggar ketentuan hukum. Dalam Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2006 khususnya pada BAB XII pasal 41 ayat (1) dan (2) menegaskan bahwa; ayat (1). Pengangkatan Penjabat Kepala Desa ditetapkan dengan Keputusan Bupati atas usul BPD. Kemudian pada ayat (2), Penjabat Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sekretaris desa atau perangkat desa lainnya atas usul BPD. Karena itu, keputusan ini adalah bentuk tindakan kesewenang-wenangan dana cacat hukum.
5. Beberapa desa di Kecamatan Lebatukan sama seperti halnya Desa Dikesare telah menyelesaikan pilkades. Namun tidak diberikan surat pemberhentian kepala desa. Dugaan LAP Timoris, kasus yang terjadi di Desa Dikesare adalah lebih bernuansa politik karena keberpihakan Kepala Desa Dikesare kepada masyarakat dan menolak menjadi agen kepentingan penguasa pemerintahan kabupaten.
Dari telaahan prosedur hukum ini, Lembaga Advokasi dan Penelitian (LAP) Timoris menyatakan SK Bupati Lembata Nomor 141 Tahun 2007 tentang Pemberhentian dan Pengangkatan Penjabat Kepala Desa Dikesare adalah cacat hukum dan “pengangkangan” terhadap demokrasi.
Menuntut pencabutan SK Bupati Lembata No. 141 Tahun 2007 dan segera melantik calon kepala desa terpilih, sdr. Eustakius Rafael Suban Ikun sebagai Kepala Desa Dikesare untuk periode 2007-2013
Kupang, 1 Desember 2008
Hipol Mawar
Direktur
Selasa, 04 Desember 2007
TIM PEMBELA PEJUANG KEADILAN DAN DEMOKRASI SOMASI BUPATI MANUK
TIM PEMBELA PEJUANG KEADILAN DAN DEMOKRASI SOMASI BUPATI MANUK
Kasus pemberhentian Kepala Desa Dikesare, Kecamatan Lebatukan, Kabupaten Lembata mulai memasuki wilayah hukum. Empat orang pengacara kondang di Kota Kupang sepakat membentuk TIM PEMBELA PEJUANG KEADILAN DAN DEMOKRASI untuk menangani kasus tersebut. Mereka adalah YOSEPH PATI BEAN, SH, VERONIKA ATA, SH, ARNOLDUS TAHU, SH dan SIPRIANUS PURU BEBE, SH.
Pati Bean dan Arnold Tahu pernah menangani sejumlah perkara di Timor Timur. Mereka berempat kini aktif menangani berbagai perkara di Kota Kupang, terutama yang berkaitan penindasan dan ketidakadilan penguasa. ”Untuk sementara kasus Kepala Desa Dikesare, kami ajukan somasi. Kita lihat dulu reaksinya. Jika tidak ditanggapi, kami teruskan ke meja hijau,” ungkap Siprianus Puru Bebe, kepada penulis.
Berikut petikan lengkap surat somasi keempat pengacara tersebut.
TIM PEMBELA PEJUANG KEADILAN DAN DEMOKRASI
Jln. Fatutuan – Kel. Liliba – Kota Kupang - NTT
Telp/fax : 0380 – 8552622. Hp. 08124662489/081339056649
Nomor : 01/TPPKD/XII/2007
Lampiran : 1 (satu) jepitan
Perihal : Somasi atas Keputusan Bupati No. 141 tahun 1007 tentang
Pemberhentian dan Pengangkatan Penjabat Kepala Desa
Dikesare Kecamatan Lebatukan Kabupaten Lembata
Bupati Lembata
Di –
Lewoleba.
Bahwa setelah mencermati Surat Keputusan Bupati No. 141 Tahun 2007 tentang Pemberhentian dan Pengangkatan Penjabat Kepala Desa Dikesare Kecamatan Lebatukan, tertanggal 13 September 2007, maka selaku Kuasa Hukum Kepala Desa Dikesare Rafael Suban Ikun sesuai surat kuasa khusus tertanggal, 24 November 2007 (surat kuasa terlampir), perlu kami memberikan Somasi kepada Bupati Kepala Daerah Kabupaten Lembata sebagai berikut :
- Bahwa Keputusan Bupati Lembata Nomor 141 Tahun 2007 tentang Pemberhentian dan Pengangkatan Penjabat Kepala Desa Dikesare Kecamatan Lebatukan Kabupaten Lembata, secara formal tidak memenuhi syarat sebagai sebuah Keputusan (beschikking). Karena Judul keputusannya adalah Keputusan Bupati yang seharusnya ditandatangani oleh Bupati Lembata sebagai pejabat yang membuat dan bertanggungjawab atas keputusan tersebut, namun karena pengesahaannya ditandatangani Wakil Bupati Lembata, maka secara formal keputusan tersebut mengandung cacat hukum.
- Bahwa pemberhentian seorang Kepala Desa karena berakhirnya masa jabatan sebagaimana yang diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005 khususnya pada pasal 17 dan Peraturan Daerah Kabupaten Lembata Nomor 5 Tahun 2006 yang termuat dalam Pasal 33 ayat (1) disebutkan bahwa “Kepala Desa berhenti karena: a). Meningggal dunia; b). Permintaan sendiri; c). Diberhentikan; Selanjutnya pada ayat (2) Pasal 33 huruf a, ditegaskan bahwa: Kepala Desa diberhentikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c karena: “berakhir masa jabatannya dan telah dilantik pejabat yang baru”. Kemudian lebih lanjut pada ayat (3) Pasal 33 mengamanatkan bahwa “Usul pemberhentian Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b dan ayat (2) huruf a dan b diusulkan oleh pimpinan BPD kepada Bupati melalui Camat, berdasarkan hasil rapat BPD yang ditetapkan dengan Keputusan BPD”.
- Bahwa dari uraian point 2 (dua) tersebut di atas, memberikan arti bahwa pemberhentian jabatan seorang kepala desa karena berakhir masa jabatannya kecuali telah dilantik pejabat yang baru dan atas usul pimpinan BPD kepada Bupati melalui Camat, berdasarkan hasil rapat BPD yang ditetapkan dengan Keputusan BPD.
- Bahwa Keputusan Bupati Lembata No. 141 Tahun 2007 untuk memberhentikan Rafael Suban Ikun sebagai Kepala Desa Dikesare karena telah berakhir masa jabatannya sebagai Kepala Desa Dikesare Periode 2002 – 2007, namun belum dilantiknya pejabat Kepala Desa yang baru dan tidak melalui proses usulan pimpinan BPD adalah bertentangan dengan Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005 khususnya pada pasal 17 dan ketentuan Pasal 33 ayat (2) huruf a dan ayat (3) Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2006.
- Bahwa Keputusan Bupati Lembata Nomor 141 Tahun 2007 mengangkat saudara Making Gregorius yang adalah Sekretaris Camat Lebatukan dan bukan sekretaris desa atau perangkat desa lainnya atas usul BPD sebagai Penjabat Kepala Desa Dikesare adalah bertentangan dengan Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2006 khususnya pada BAB XII pasal 41 ayat (1) dan (2) yang menegaskan bahwa; ayat (1). Pengangkatan Penjabat Kepala Desa ditetapkan dengan Keputusan Bupati atas usul BPD. Kemudian pada ayat (2), Penjabat Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sekretaris desa atau perangkat desa lainnya atas usul BPD.
- Bahwa atas dasar uraian tersebut di atas, maka Keputusan Bupati Lembata Nomor 141 Tahun 2007 tentang Pemberhentian dan Pengangkatan Penjabat Kepala Desa Dikesare, Kecamatan Lebatukan, Kabupaten Lembata adalah perbuatan sewenang-wenang (abus de droit atau willekeur) dan .melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik.
- Bahwa oleh karena Keputusan Bupati Lembata Nomor 141 Tahun 2007 tentang Pemberhentian dan Pengangkatan Penjabat Kepala Desa Dikesare, Kecamatan Lebatukan, Kabupaten Lembata bertentangan dengan Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005 dan Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2006 merupakan perbuatan sewenang-wenang (abus de droit atau willekeur) dan .melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik, maka harus dinyatakan tidak sah dan harus segera dicabut oleh Bupati Lembata.
TUNTUTAN
1. Menuntut Bupati Lembata, agar dalam waktu 7 x 24 jam, Surat Keputusan Bupati No. 141 Tahun 2007 tentang Pemberhentian dan Pengangkatan Penjabat Kepala Desa Dikesare Kecamatan Lebatukan, tertanggal 13 September 2007 harus sudah dicabut.
2. Menuntut Bupati Kepala Daerah Kabupaten Lembata, agar dalam waktu 8 x 24 jam, harus segera melantik calon Kepala Desa Dikesare terpilih atas nama Rafael Suban Ikun sebagai Kepala Desa Dikesare periode 2007 – 2013.
3. Menuntut Bupati Kepala Daerah Kabupaten Lembata, agar dalam waktu 5 x 24 jam, menyampaikan permohonan maaf kepada Kepala Desa Dikesare Rafael Suban Ikun dan masyarakat desa Dikesare melalui
4. Bahwa apabila tuntutan pada point 1 (satu), 2 (dua) dan 3 (tiga) di atas tidak dipenuhi, atau salah satu dari 3 (tiga) tuntutan di atas tidak dipenuhi, maka kami akan menempuh jalur hukum.
Kupang, 1 Desember 2007
Hormat kami Tim Kuasa Hukum,
2. VERONIKA ATA, SH
3. ARNOLDUS TAHU, SH
4. SIPRIANUS PURU BEBE, SH
Jumat, 30 November 2007
Bupati Manuk Lakukan Penipuan dan Pembohongan Publik
Tindakan Bupati Lembata, Andreas Duli Manuk ini benar-benar kebangetan. Frater ordo Fransiskan pun jadi korban.
Ihwal ceritanya dikisahkan kembali Frater Kristoforus Tara, OFM yang bertemu Bupati Manuk pada acara Kaul Kekal Frater baru dari ordo Fransiskan di biara Redem Torys, Yogyakarta, 12 September 2007 lalu.
Ketika acara ini selesai, Frater Kris coba membangun komunikasi dengan bupati. Awalnya, Frater Kris bertanya, “Bapak, kami dengar disini (Yogyakarta-Red) bahwa ada keterlibatan gereja, dalam hal ini para pastor untuk berjuang bersama masyarakat Lembata guna menentang rencana investasi yang digulirkan oleh pemerintah.”
Bupati menjawab, “Memang selama ini ada peran gereja dalam hal ini para pastor bersama masyarakat menghalangi-halangi program kerja kami ini.”
Frater: “Sejauhmana keterlibatan para pastor dalam persoalan ini, bapak?”
Bupati: “Mereka cukup getol dan aktif mempengaruhi masyarakat, tapi bagi saya, perlawanan ini masih terlalu dini atau di bilang premature, karena kita masih dalam tahap eksplorasi belum ada penandatanganan MoU tentang rencana eksploitasi”.
Frater: “Kapan rencana eksploitasi dilakukan?”
Bupati: “Jadi begini prosesnya: Kita masih pada tahap eksplorasi. Setelah eksplorasi selesai, kita belum maju pada tahap eksploitasi, tetapi ada satu tahap yang akan kita lalui, yaitu penelitian atau pengkajian. Hasil eksplorasi itu akan diteliti dan dikaji oleh Badan Penelitian milik perusahaan, sehingga pada kesimpulannya bahwa kandungan emas di Lembata itu bisa dilakukan eksploitasi atau tidak. Rekomendasi hasil penelitian itu juga belum final, tetapi hasil penelitian itu akan kita (pemerintah-Red) dan DPRD Lembata bahas. Hasilnya itu nanti bermuara pada kesimpulan bahwa apakah kandungan emas di Lembata layak dieksploitasi atau tidak.”
Frater: “Apakah dalam penelitian ini tidak bisa melibatkan elemen lain, seperti DPRD, LSM ataupun masyarakat, sehingga obyektifitas hasil penelitian itu bisa terjamin?”
Bupati: “Ini cukup perusahaan saja yang lakukan, karena itu menjadi kewenangan perusahaan. Toh hasilnya juga akan kita bahas bersama DPRD Lembata ko’, apanya yang mesti diragukan?”
Frater: “Bapak, kami dengar disini juga bahwa studi banding DPRD Lembata ke Buyat Minahasa itu penuh dengan ke-fiktif-an dan rekayasa belaka, karena tim STUBA tidak sampai ke lokasi tambang Minahasa. Sementara yang sampai kesana hanyalah tim STUBA dari JPIC OFM yang selama ini mengadvokasi masyarakat?”
Bupati: “Itu bohong. Tidak benar yang disampaikan itu, karena tim STUBA-nya JPIC OFM itu tanggal 8 September 2007 sudah meninggalkan lokasi tambang Minahasa. Sementara tim dari DPRD Lembata tanggal 9 September 2007 baru sampai ke lokasi. Jadi tim STUBA JPIC OFM itu sudah pulang baru tim STUBA DPRD sampai lokasi?”
Frater: “Sikap terakhir bapak atas ulah dan keterlibatan para pastor ini, bagaimana?”
Bupati: “Saya sangat marah dengan ulah mereka. Mereka telah membuat masyarakat resah dan terkotak-kotak dalam kubu pro dan kontra. Saya minta kepada mereka untuk tidak menciptakan konflik dan polemik berkepanjangan”.
Bohong
Sementara itu, Pater Mikhael Pruhe,OFM pimpinan STUBA JPIC OFM, yang dimintai keterangannya atas pernyataan Bupati Manuk, menyesalkan pernyataan Bupati Manuk. “Pernyataan yang disampaikan bupati itu penuh dengan tipuan dan kebohongan belaka. Saya katakan bahwa bupati Lembata telah melakukan penipuan dan pembohongan publik. Dia menipu dan membohongi para Frater yang barusan mengucapkan kaul kekal dan masyarakat Lembata serta publik pada umumnya. Saya katakan bahwa tim kami sampai di lokasi tanggal 3 September 2007. Setelah sampai di lokasi saya menanyakan kepada masyarakat lokasi tambang Buyat dan unsur pemerintah serta DPRD setempat, apa kemarin dulu ada tim Studi Banding dari Lembata yang datang kesini? Mereka semua mengatakan bahwa tidak pernah ada orang dari Lembata yang datang ke sini untuk melakukan studi banding. Padahal jadwal STUBA-nya DPRD Lembata adalah dari tanggal 2-12 Agustus 2007,” tegas Pater Mikhael.
Lebih lanjut Pater Mikael mengatakan, “Pemerintah Lembata bersama DPRD Lembata telah menipu rakyatnya sendiri, karena STUBA yang dilakukan itu penuh dengan kebohongan dan kepalsuan belaka, karena tim STUBA DPRD pada dasarnya mereka tidak sampai ke lokasi, lalu mereka kemana pada saat itu? Hanya Tuhan dan Lewotanahlah yang mengetahui dan membalas semua kebohongan mereka”.
Menyinggung pernyataan bupati bahwa kelompok pro dan kontra dalam masyarakat timbul karena ulah dan aktifitas para pastor dan kelompok LSM peduli advokasi lainnya, Pater Mikael menambahkan, “Pemerintah sedang mengkambinghitamkan kami. Apa mereka tidak sadar bahwa masyarakat terpolarisasi dalam kubu pro-kontra itu bukankah karena disebabkan oleh ambisi binatang mereka dalam menggulirkan rencana investasi tambang? Jadi tolong jangan fitnah yang bukan-bukanlah. Kita buktikan saja siapa yang menurut Tuhan dan Lewotanah berjuang dengan tulus untuk kebaikan Lewotanah Lembata, mereka ataukah kami bersama masyarakat?” (*/sinar uyelindo)
Semalam Disel, Imran Tegar Tolak Tambang
Ini baru pejuang namanya. Kendati sempat dijebloskan ke ruang tahanan polisi, Imran Husein, Ketua Mahasiswa Uyelewun (MAWU) Kupang, menyatakan tetap bersikukuh berjuang menolak tambang Lembata. “Tekad saya dan kawan-kawan sudah bulat, terus berjuang menolak rencana tambang di Lembata. Bagi saya, Lembata sudah di ujung kehancuran atas rencana ini. Dosa dan kesalahan pemerintah Lembata ini sudah tidak bisa ditolerir lagi. Sehingga menempatkan mereka pada titik yang tidak berdaya lagi. Sehingga untuk apa lagi mempertahankan pemerintahan seperti ini,” tandasnya.
Lebih jauh, dia mengharapkan agar segenap komponen rakyat Lembata segera bangkit dari ketaksadaran untuk melihat kondisi riil daerah dan pemerintahannya. “Jika kita harus menunggu pemerintahan ini berakhir secara konstitusional, maka jangka waktu yang terlalu lama. Kita akan terus diintimidasi. Maka tawaran saya, revolusi harus segera digulirkan di bumi Lembata,” tegas Imran berapi-api.
Dikisahkan bahwa dirinya “diamankan” polisi pasca aksi damai tolak tambang di Bean, 19 November 2007. Berikut petikan penuturan Imran seputar “pengamanan” dirinya oleh aparat kepolisian:
Saat berjalan pulang dari Bean, saya tidak tahu kalau terjadi insiden massa dengan Sulaiman Syarif. Ketika itu, banyak batu dan kayu di sepanjang ruas jalan. Saya pikir aksi tolak tambang sudah selesai, sehingga saya bergabung dengan rombongan wakil bupati untuk kembali.
Tiba-tiba Sulaiman Syarif meneriakkan massanya untuk tidak membiarkan saya pergi. Dia perintahkan massanya untuk menahan saya. Saya dipukul dua kali. HP dan jaket saya jatuh.
Lalu, Sulaiman mengancam akan membunuh saya. Tangan kirinya memegang kerah baju saya, dan di tangan kanannya dia pegang parang sepada panjang. Dia seret saya ke pinggir jalan.
Polisi yang mengawal wakil bupati berlari mendekati kami dan langsung mengamankan saya. Selanjutnya, saya dibawa ke Polsek Buyasuri, dan dimasukkan ke sel.
Sekitar 30 menit kemudian, saya dikeluarkan lagi. Ketika itu, massa Sulaiman Syarif memadati Polsek dan meminta agar saya dikeluarkan untuk diadili. Akhirnya, polisi melakukan pengawalan ketat, membawa saya keluar, dan saya dinaikkan ke motor untuk diberangkatkan ke Polsek Omesuri. Tapi, sebelum naik sepeda motor, saya dipukul di bagian belakang kepala sebanyak dua kali.
Dua orang polisi mengawal saya ke Balauring, dan dijemput Kapolsek Omesuri di Buriwutung dengan menggunakan mobil patroli. Sampai di Balauring, saya langsung dijebloskan ke sel sejak pukul 19.30. Tapi malam itu, Kapolres telepon meminta saya diantar ke Polres Lembata di Lewoleba. Akhirnya, pukul 22.00 malam saya dikeluarkan dari sel dan diantar Kapolsek Omesuri dan anak buahnya ke Polres Lembata di Lewoleba.
Kami tiba di Polres sekitar pukul 00.30 Witeng. Hanya polisi piket yang ada di Polres, sehingga saya langsung dijebloskan ke ruang tahanan.
Esok pagi sekitar pukul 08.00, saya dipanggil menghadap Kapolres. Ketika itu, Kapolres ditemani Kasat Intel dan Kasat Reskrim. Mereka menjelaskan kepada saya bahwa saya tidak ditahan, tapi hanya diamankan. Setelah itu, pukul 09.00, saya dibebaskan. Namun dikenakan wajib lapor. Tapi, saya tidak mau, karena saya merasa bukan tahanan polisi.
Dan, saya juga sudah melaporkan tindakan penganiayaan dan rencana pembunuhan yang dilakukan Sulaiman Syarif dan massanya terhadap saya. Laporan ini langsung disampaikan ke Polres Lembata di Lewoleba.
Sementara itu, Sekretaris Baraksatu, Anton Leumara mendesak Polres Lembata untuk mengusut tuntas laporan Imran Husein.
Dia juga mengingatkan aparat pemerintah di Kecamatan Omesuri dan Buyasuri agar tidak menjadi spionase investor dan antek-anteknya di Pemkab Lembata. “PNS itu pegawai negeri sipil, yang digaji dengan uang rakyat, bukan uang penguasa atau investor. Tugas PNS adalah melayani rakyat bukan menginteli rakyat. Sangat memalukan kalau PNS justru jadi provokator,” tandasnya.
Anton Leumara menangkap indikasi adanya oknum-oknum pejabat yang sengaja memperkeruh keadaan di Kedang. “Buktinya, ada oknum PNS yang sibuk masuk keluar kampung mencari orang untuk mendukung tambang dengan tawaran sepeda motor megapro, HP camera dan uang Rp 2 juta per bulan. Ini jelas-jelas tindakan provokatif,” tegas dia, sembari mengingatkan Bupati Manuk agar tidak memutarbalikkan fakta seolah-olah aktifis tolak tambang yang memprovokasi masyarakat. (*/sinar uyelindo)
Kamis, 29 November 2007
Biarawati Dimarahi Istri Bupati Manuk
Biarawati Dimarahi Istri Bupati Manuk
Entah setan apa yang merasuk, Ny. Margareta Manuk, istri Drs. Andreas Duli Manuk --Bupati Lembata, tak kuasa menahan emosinya. Biarawati SSpS pun jadi korban. Dihardik, dimarahi di depan umum. Persis di ruang tunggu Bandar Udara Wunopito, Lewoleba, Lembata. Duh!
Sejumlah calon penumpang dan penghantar di ruang tunggu Bandar Udara Wunopito Lewoleba, Senin (1/10/2007), benar-benar terpana. Suasana santai menanti keberangkatan pesawat Trans Nusa Trigana Air tujuan Kupang berubah tegang. Antrean penumpang yang berarak menuju pintu keluar ke arah pesawat dibikin tertegun. Bagaimana tidak? Istri orang nomor satu di Lembata, Ny. Margareta Manuk bersama segerombolan lelaki bertubuh kekar dan berpakaian serba hitam tiba-tiba masuk ke ruang tunggu dengan raut wajah yang tegang.
Ini memang pemandangan yang tidak lazim. Biasanya, Ny Reta Manuk turun dari pesawat langsung menuju ruang VIP. Tapi, kali ini benar-benar unik. Ketika turun dari pintu pesawat, Ny Reta Manuk langsung menuju ruang tunggu penumpang umum.
“Mana suster”, “Mana suster”, “Mana suster...,” teriak Ny. Reta Manuk seolah-olah sudah tahu kalau Suster Hironima sedang berada di ruang tunggu.
Begitu melihat suster, Ny. Reta langsung menohok dengan nada suara tinggi. “Suster yang sms ya?” teriak Ny Reta tanpa tedeng aling-aling.
Sontak saja, semua calon penumpang Trans Nusa tujuan Kupang terkejut. Sebagian penumpang dan pengantar tampak menggeleng-gelengkan kepala. Mereka sama sekali tak menyangka, kalau tokoh perempuan yang setia mendampingi orang nomor satu Lembata itu bisa bertindak demikian. “A... kenapa bisa begitu,” ketus sejumlah tanpa berani menghentikan tindakan Ny Reta Manuk.
Tapi, Suster Hironima tampak tenang. “Ya, saya yang sms,” ujarnya dengan suara pelan sembari memperhatikan Ny Reta dengan seksama. Ny Reta langsung menyergap, “Suster jangan begitu”. “Suster jangan begitu,” katanya berulangkali.
Ia langsung menimpali dengan banggga, “Supaya suster tahu, saya sudah enam tahun membangun Lembata ini”.
Masih dengan sikap tenang, Suster Hironima menjawab, “Kalau saya salah, minta maaf.”
Pastor Jhon yang berada persis disamping Suster Hironima berusaha menengahi. “Ibu, harus bicara baik-baik. Mereka ini membawa suara kenabian,” ujar Pastor Jhon.
Tapi, Ny. Reta malah menghardiknya. “Kau jangan campur,” tohok Ny Reta. Entah ia tahu atau tidak, kalau yang bicara adalah seorang rohaniawan Katolik.
Ny Reta Manuk terus mengoceh. Dan... “Ibu minta maaf, pesawat mau berangkat... jadi saya jalan dulu,” ujar Suster Hironima sembari meninggalkan Ny. Reta dan rombongannya.
Jumpa Pers
Sepekan kemudian, Minggu (7/10/07), Ny. Reta Manuk menggelar jumpa pers di kediamannya. Ini merupakan reaksi atas jumpa pers Suster Hironima di Sekretarait Lembata Center, yang juga dihadiri P. Vande Raring SVD, Ketua KPRL Lembata, Yohanes Boro serta beberapa masyarakat yang bersimpati terhadap insiden Wunopito.
“Susterlah yang pertama sekali mengirim SMS ke nomor saya. Waktu itu, saya berada di Denpasar, dan Bapak (Ande Manuk) masih berada di Jakarta. Jadi itu omong kosong. Suster jangan putar bale,” ungkap Ny Reta dalam dialek Nagi yang kental.
Dikatakan, sms pertama suster tertanggal 27 September 2007 pukul 12:05. Isinya: “Maaf ya kami tidak akan menjual tanah kami.” Disusul lagi dengan sms kedua pada pukul 19:34.
Ny Reta menegaskan bahwa dirinya tidak punya urusan dengan Suster Hironima, apalagi menyangkut tambang. “Saya mau tanya, dia punya tanah dimana? Dia punya orang tua punya tanah dimana? Bapak (Ande Manuk—Red) sudah pernah jual dia punya tanah dimana?” tandasnya, seraya menyambung, “Suster juga suruh kami berdoa agar tidak dimukahi Tuhan dan Lewotana. Apa maksudnya? Koq, dia bisa suruh kami berdoa? Jadi dia pikir saya punya anak mati itu karena dimurkahi Tuhan? Saya sementara susah dengan anak saya. Jadi jangan ganggu otak saya.”
Toh begitu, Ny Reta mengakui adanya insiden Wunopito. Dikatakan, dirinya sempat meminta Wabup Andreas Nula Liliweri untuk mempersiapkan pertemuan dirinya dengan suster Hironima. “Jadi waktu saya marah, saya bilang suster saya menghargai atribut yang kau pake itu tetapi kau punya hati busuk. Kenapa campur aduk sampe laki-laki punya urusan. Kita ini urus perempuan-perempuan. Saya ini urus perempuan orang Lembata,” ungkap Ny Reta menirukan ucapannya di Bandara Wunopito.
Ny Reta menilai biarawati tak sepantasnya mengirim sms demikian. “Memang tidak pantas dia sms seperti itu kepada saya, karena ini laki-laki punya urusan, menyangkut pertambangan. Saya tidak suka orang bicara sembarangan. Saya punya kemauan baik untuk membangun Lembata. Membangun perempuan-perempuan Lembata. Saya ini urus perempuan-perempuan Lembata. Dia jangan campur terlalu jauh. Ini urusan laki-laki. Perempuan itu urus perempuan,” ungkap istri orang nomor satu Lembata ini.
Uniknya, ketika disodor pertanyaan seputar tambang, Ny. Reta Manuk menuturkan, “Kita ini mau dapat uang dari mana untuk membangun Lembata kalau bukan dari investor. Barang dalam tanah (baca: tambang) itu orang mau kasih keluar supaya bisa menopang kita punya hidup ka...!”
Jumpa pers di kediaman pribadi Bupati Manuk bagai pasar ikan. Pasalnya, para “pengawal” rumah pun ikut-ikutan memberikan penjelasan yang sebenarnya sudah disampaikan Ny Reta Manuk. Tak cuma itu, beberapa wanita yang bertugas sebagai juru masak pun ikut memberi penjelasan. Padahal, jumpa pers itu dihadiri pula Kabag Humas Setda Lembata, Ambrosius Lein. (tabloid demos)
Warga Tolak Caretaker Kades Dikasare
Ratusan warga Desa Dikesare tak kuasa menyembukan kekesalannya atas sikap Bupati Lembata yang memberhentikan kadesnya, Rafael Suban Ikun. Kontan saja, mereka segera menghimpun diri dan mempersiapkan aksi unjukrasa ke kantor camat Lebatukan dan kantor Bupati Lembata. Ijin dari Polres Lembata pun sudah dikantongi.
Sayangnya, ketika tengah menanti hari “H” beraksi, Wabup Lembata, Drs. Andreas Nula Liliewerr mengirim staf Kesbanglinmas, Markus Lela Udak untuk “merayu” massa agar tidak melancarkan aksi. Wabup bahkan menyanggupi untuk menerima utusan warga di ruang kerjanya.
Sikap kompromis ini disambut hangat warga desa, kendati dalam suasana batin yang was-was. Lima orang utusan warga Desa Dikesare pun dikirim menemui Wabup Liliweri, Senin (11/11). Tanpa kompromi mereka langsung menuntut agar Pemerintah Kabupaten Lembata menarik kembali Surat Keputusan (SK) Bupati Lembata tentang Pemberhentian Kepala Desa Dikesare Kecamatan Lebatukan. Menurut warga, pemberhentian itu tidak sesuai prosedur dan membingungkan.
Lima utusan itu adalah Fransisko Making, Emanuel Making (ketua BPD), Batolomeus Bos, Fidelis Kewaman, dan Yohanes Vianye. Hadir dalam pertemuan itu Kepala Bagian Pemerintah Desa Wilem Sogen, Kepala Bagian Tata Pemerintah Setda Lembata, Said Kopong, Asisten II Setda Lembata, Lukas Witak dan beberapa pejabat lain, termasuk Kasat Intel Polres Lembata, Iptu Jamaludin.
Koordinator utusan warga Desa Dikesare, Fransisko Making mengatakan, kehadiran mereka untuk meminta klarifikasi soal pemberhentian Kepala Desa Dikesare. Mereka menanyakan dasar atau alasan dikeluarkan SK pemberhentian itu. Mereka juga minta Bupati Lembata Andreas Duli Manuk menarik kembali SK pemberhentian itu. Masyarakat Dikesare, kata dia, juga minta supaya Kepala Desa Dikesare Rafel Suban Ikun yang terpilih untuk kedua kalinya itu segera dilantik.
Wakil Bupati Lembata Andreas Nula Liliweri dan Kepala Bagian Pemerintah Desa, Wilem Sogen menjelaskan usulan Pejabat Caretaker kepala desa itu sebenarnya atas usulan BPD. Namun hal itu tidak dilakukan oleh Badan Perwakilan Desa (BPD) sehingga Pemerintah Daerah mengeluarkan SK pemberhentian Kepala Desa Dikesare dan menunjuk Caretaker Pejabat Kepala Desa Dikesare, yakni Making Gregorius (Sekretaris Kecamatan Lebatukan). Wakil Bupati Lembata mengatakan SK itu dikeluarkan karena masa jabatan Kepala Desa Dikesare Rafel Suban Ikun sudah berakhir 20 Juni 2007. Hal yang sama disampaikan Asisten II Setda Lembata, Lukas Lipataman Witak.
Ini benar-benar membingungkan. Pasalnya, Ketua BPD Dikesare, Emanuel Making mengatakan sebelum pemilihan kepala desa ia sebagai ketua BPD sudah berkonsultasi dengan seksi tata pemerintahan Kecamatan Lebatukan soal pejabat kepala desa. Namun, ketika itu, kepala tata pemerintahan mengatakan tidak menjadi soal dan pejabat kepala desa itu hanya formalitas saja.
Berdasarkan hasil konsultasi itu maka mereka tidak atau mengusulkan pejabat kepala desa dan proses pemilihan kepala desa berjalan dengan aman dan demokratis. “Mana yang kami pegang, orang kecamatan omong lain, pemerintah kabupaten omong lain. Setahu saya pemerintah kecamatan itu perpanjangan tangan pemerintah kabupaten,” tandasnya.
Emanuel Making juga mengatakan kalau hanya alasan masa jabatan kepala desa Dikesare sudah berakhir 20 Juni 2007, mengapa hanya dia saja yang mendapat SK Pemberhentian, sementara banyak kepala desa di Kecamatan Lebatukan yang masa jabatannya juga sudah berakhir tapi tidak diberhentikan. Bahkan ada pemilihan kepala desa lebih dahulu dari pemilihan kepala desa Dikesare.
Kontan saja, situasi mulai tegang. Wabup dan Asisten II yang mulai terpojok tampak berusaha membangun argumentasi pembelaan diri. Wabup Liliweri beralasan bahwa selain karena alasan masa jabatan berakhir, juga ada laporan dari masyarakat terkait perilaku Kepala Desa Dikesare. Akan tetapi, Fransisko Making langsung menohok bahwa bagi mereka tidak ada masalah kalau hanya laporan dari Usman Gega (calon Kepala Desa yang kalah). Bahkan, soal “ulah” Usman, mereka sendiri sudah menghadap pihak kecamatan Lebatukan untuk klarifikasi. Namun saat itu Usman Gega tidak hadir. Dia bahkan menilai laporan Usman Gega salah alamat, karena seharusnya pengaduan itu disampaikan kepada panitia pemilihan kepala desa bukan ke kecamatan atau ke kabupaten.
Liliweri tak habis akal, ia langsung menepis. Diakui bahwa pengaduan Usman memang salah alamat. Menurut dia, laporan yang dimaksud bukan dari Usman Gega, tetapi masyarakat lainnya. Sayangnya, ia tidak menjelaskan siapa yang melaporkan Kades Ikun ke pemerintah kabupaten.
Asisiten II Setda Lembata Lukas Witak bahkan mempertegas ucapan Wabup. Dikatakan, laporan yang disampaikan menyangkut korupsi yang dilakukan oleh Kades Dikesare. “Kalau omong tentang korupsi kita punya telinga ini berdiri semua,” ujarnya. Terus?
Sabar dulu. Fransisko Making balik mengingatkan bahwa pada tanggal 19 Juli 2007, Badan Pengawas (Banwas) Lembata sudah melakukan pemeriksaan terhadap Kades dan seluruh staf desa. Hasilnya, Banwas menyatakan tidak menemukan adanya indikasi tindakan korupsi.
Tak ayal lagi, ini menyulut emosi Wabup. Dengan nada suara keras, Wabup meminta Making menyebutkan atau menjelaskan jenis-jenis pemeriksaan. Namun dengan santai Making mengatakan, “Saya tidak tahu.”
“Kau stop omong itu,” tohok Lukas Witak. Suasana pertemuan makin panas. Witak menegaskan bahwa pemberhentian Kades Dikesare guna memperlancar proses admnistrasi. Dikatakan, desa akan mengalami kesulitan kalau Pemerintah Desa Dikesare mengurus administrasi, misalnya tentang keuangan desa. “Uang desa tidak mungkin bisa dicairkan kalau ditandatangani Rafel Suban Ikun karena masa jabatannya sudah berakhir. Karena itu perlu ditunjuk seorang pejabat kepala desa sebelum kepala desa terpilih dilantik,” kata Lukas Witak.
Tapi, Ketua BPD Dikesare, Emanuel Making balik menyergap bahwa tanpa Dana Alokasi Desa (ADD) mereka tetap bisa hidup. Ya, “kami tetap bisa hidup tanpa ADD,” tandasnya.
Emanuel Making juga mengatakan mereka tetap tidak menerima pejabat kepala desa yang ditunjuk bupati. Kalau pemerintah tetap tidak mau maka mereka mengancam akan melantik sendiri kepala desa yang mereka pilih secara demokratis. Pernyataan Emanuel Making ini membuat beberapa pejabat emosi dan minta menarik kembali pernyataannya.
Suasana pertemuan selama kurang lebih dua jam ini tegang. Lima utusan warga desa Dikesare itu tidak terima penjelasan pemerintah karena itu meraka minta supaya Wabup dan jajarannya bisa menjelaskan sendiri kepada masyarakat Dikesare.
Semua permintaan masyarakat itu tidak terpenuhi. Utusan diminta menjelaskan ke masyarakat. Emanuel making dan Fransisko Making mengatakan mereka tidak puas dengan penjelasan pemerintah.
Asal tahu saja, pasal 35 Perda Lembata Nomor 5 Tahun 2006, menyebutkan, “Kepala Desa diberhentikan sementara oleh Bupati tanpa melalui usulan BPD karena berstatus sebagai tersangka karena melakukan tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar dan atau tindak pidana terhadap keamanan negara.”Sejauh ini, Rafael Suban Ikun tidak pernah dikenakan status sebagai tersangka. Pun, BPD sama sekali tak pernah mengusulkan pemberhentiannya. Karena itu, mereka menilai keluarnya SK pemberhentian sebagai tindakan sewenang-wenang yang melecehkan demokrasi di desa.(fredy wahon/hu flores pos)