Siaran Pers:
PEMBERHENTIAN KEPALA DESA DIKESARE INKONSTITUSIONAL DAN ”PENGANGKANGAN” DEMOKRASI
Kehadiran UU 32 TAHUN 2004 tentang Otonomi Daerah berdampak pada perubahan penyelenggaraan tata pemerintahan sampai ke pemerintahan desa. Sejak digulirkan, diharapkan mampu menjadi jalan untuk demokratisasi, dengan meningkatkan partisipasi dan keterlibatan masyarakat dalam setiap proses pembangunan. Atau dengan kata lain, kewenangan penyelenggaran dan pengaturan pemerintahan diberikan kepada daerah, berotonom mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa dan aspirasi masyarakat.
Otonomi daerah dalam hubungannya dengan desa, diatur dengan PP 72/2005, tentang Desa dan Keputusan Mentri Dalam Negri No. 64 tahun 1999 tentang Pedoman Umum Pengaturan Mengenai Desa. Adanya peraturan spesifik tentang desa merupakan harapan baru berkembangnya demokrasi di tingkat desa. Sistim dan mekanisme penyelanggaran pemerintahan otoriter yang hanya menggunakan desa sebagai alat kepentingan penguasa bergeser kepada otonomi. Desa berhak menyelenggarakan pemerintahan berdasarkan asal-usul, kebutuhan wilayah, prakarsa dan partisipasi masyarakat desa dalam pembangunan, termasuk proses dan mekanisme Pemilihan Langsung Kepala Desa (Pilkades) yang adalah perwujudan demokrasi di desa.
Pemilihan langsung kepala desa sesuai ketentuan normatif memberikan kewenangan seluas-luasnya kepada masyarakat melalui BPD untuk mengatur semua proses dan mengkawalnya hingga pelantikan kepala desa terpilih adalah wujud nyata demokrasi sedang berkembang ditingkat desa. Ironis, kalau ada pihak atau penguasa kabupaten berupaya mematikan demokrasi yang tengah berkembang dengan mengintervensii keputusan-keputusan politik di tingkat pemerintahan desa.
Hal ini sedang terjadi di Kabupaten Lembata. Pilkades di Desa Dikesare Kabupaten Lembata terjadi ”pengebirian” demokrasi oleh Pemerintahan Kabupaten Lembata. Proses pemilihan dari awal hingga penyerahan berita acara hasil pemilihan calon kepala desa telah selesai dilakukan dan diserahkan ke Kabupaten melalui camat Lebatukan. Pilkades Dikesare ini dimenangkan sdr. Eustakius Rafael Suban Ikun dengan jumlah suara kemenangan 165 suara, mengungguli sdr. Usman Gega dengan jumlah 43 suara.
Anehnya, pada tanggal 13 September 2007 dikeluarkan Surat Pemberhentian Kepala Desa Dikesare melalui Surat Keputusan Bupati Lembata No. 141 Tahun 2007 yang ditandatangani Wakil Bupati Lembata, Andreas Nula Liliweri. (surat diberikan ke kepala desa Dikesare pada bulan Oktober 2007)
Berkaitan dengan pemberhentian Kepala Desa Dikesare yang tidak prosedural dan demokrastis ini, Lembaga Advokasi dan Penelitian (LAP) Timoris menyatakan:
1. Keputusan Bupati Lembata Nomor 141 Tahun 2007 tentang Pemberhentian dan Pengangkatan Penjabat Kepala Desa Dikesare, Kabupaten Lembata merupakan tindakan sewenang-wenang pemerintah kabupaten (abus de droit atau willekeur) dan Inkonstitusional. Hal ini bisa dilihat dalam ketentuan Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005 pada pasal 17 dan Peraturan Daerah Kabupaten Lembata Nomor 5 Tahun 2006 Pasal 33 ayat (1) bahwa “Kepala Desa berhenti karena: a). Meningggal dunia; b). Permintaan sendiri; c). Diberhentikan; Ayat (2) Pasal 33 huruf a, ditegaskan bahwa: Kepala Desa diberhentikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c karena: “berakhir masa jabatannya dan telah dilantik pejabat yang baru”. Ayat (3) Pasal 33 bahwa “Usul pemberhentian Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b dan ayat (2) huruf a dan b diusulkan oleh pimpinan BPD kepada Bupati melalui Camat, berdasarkan hasil rapat BPD yang ditetapkan dengan Keputusan BPD”.
Logika ini mengamanatkan bahwa:
a. Peraturan Daerah Kabupaten Lembata Nomor 5 Tahun 2006 Pasal 33 Ayat (2) Pasal 33 huruf a, bahwa: Kepala Desa diberhentikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c karena: “berakhir masa jabatannya dan telah dilantik pejabat yang baru” adalah masa jabatan kepala desa sebelumnya berakhir ketika terjadi pelantikan kepala desa baru/terpilih. Selama kepala desa terpilih belum dilantik maka kepala desa sebelumnya tetap sebagai kepala desa dan secara hukum tetap menjalankan tugas sebagai kepala desa sebagaimana mestinya.
b. Ayat (3) Pasal 33 adalah landasan pijak hukum bupati memberhentikan kepala desa harus mendapatkan usulan dari Badan Perwakilan Desa (BPD). Demokrasi terjadi pada proses ini, artinya masyarakat berhak mengusulkan melalui BPD dan bukan intervensi dari Bupati. Kecuali, hak bupati memberhentikan/sementara tanpa menerima usulan BPD jika melakukan tindakan melanggar ketentuan; Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005, pasal 18 ayat 1 dan 2 dan pasal 19 atau Peraturan Daerah Kabupaten Lembata Nomor 5 Tahun 2006, pasal 34 ayat 1 dan 3 dan pasal 35.
Namun demikian, jika dilihat bagian menimbang surat keputusan tersebut (poin a) sama sekali diluar kewenangan pemberhentian langsung oleh bupati.
2. Keputusan Bupati ini adalah bentuk penyelenggaran pemerintahan orde baru yang masih tumbuh subur di Kabupaten Lembata, yakni penyelenggaran pemerintahan otoriter yang tidak mendengarkan aspirasi dan partisipasi masyarakat, tidak mengikuti (berupaya melanggar) prosedur hukum yang demokrastis di tingkat desa. Peran BPD hendak dimandulkan pemerintahan Kabupaten Lembata
3. Keputusan Bupati Lembata Nomor 141 Tahun 2007 secara formal tidak memenuhi syarat sebagai sebuah Keputusan (beschikking). Judul keputusannya adalah Keputusan Bupati secara formal harus ditandatangani oleh Bupati Lembata sebagai pejabat yang membuat dan bertanggungjawab atas keputusan tersebut. Dalam keputusan tersebut pengesahaannya ditandatangani Wakil Bupati Lembata, Andreas Nula Liliweri, secara formal adalah cacat hukum. Sebagai perbandingan, keputusan bupati ditandatangani wakil bupati hanya terjadi di pemerintahan Kabupaten Lembata.
4. Pengankatan sdr. Making Gregorius yang adalah Sekretaris Camat Lebatukan sebagai Pejabat Kepala Desa Dikesare adalah tindakan melanggar ketentuan hukum. Dalam Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2006 khususnya pada BAB XII pasal 41 ayat (1) dan (2) menegaskan bahwa; ayat (1). Pengangkatan Penjabat Kepala Desa ditetapkan dengan Keputusan Bupati atas usul BPD. Kemudian pada ayat (2), Penjabat Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sekretaris desa atau perangkat desa lainnya atas usul BPD. Karena itu, keputusan ini adalah bentuk tindakan kesewenang-wenangan dana cacat hukum.
5. Beberapa desa di Kecamatan Lebatukan sama seperti halnya Desa Dikesare telah menyelesaikan pilkades. Namun tidak diberikan surat pemberhentian kepala desa. Dugaan LAP Timoris, kasus yang terjadi di Desa Dikesare adalah lebih bernuansa politik karena keberpihakan Kepala Desa Dikesare kepada masyarakat dan menolak menjadi agen kepentingan penguasa pemerintahan kabupaten.
Dari telaahan prosedur hukum ini, Lembaga Advokasi dan Penelitian (LAP) Timoris menyatakan SK Bupati Lembata Nomor 141 Tahun 2007 tentang Pemberhentian dan Pengangkatan Penjabat Kepala Desa Dikesare adalah cacat hukum dan “pengangkangan” terhadap demokrasi.
Menuntut pencabutan SK Bupati Lembata No. 141 Tahun 2007 dan segera melantik calon kepala desa terpilih, sdr. Eustakius Rafael Suban Ikun sebagai Kepala Desa Dikesare untuk periode 2007-2013
Kupang, 1 Desember 2008
Hipol Mawar
Direktur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar