Oleh: Fredy Wahon
Pada masa pra paskah, segenap umat Kristiani mempersiapkan diri menyambut hari kebangkitan Yesus Kristus, sang pejuang rakyat tertindas. Tema Aksi Puasa tahun ini memang sungguh menyentuh kaum tertindas: “Kesejatian Hidup: Pengembangan Lingkungan Hidup”.
Memang, kerusakan lingkungan hidup sudah bukan lagi ancaman. Karena telah menjadi fakta yang terlihat jelas di depan mata. Kasus Lapindo di Jawa Timur merupakan fakta yang tak terbantahkan. Juga, meluapnya sungai Bengawan Solo. Atau juga, menganganya tanah di Kolilanang, Adonara, Flores Timur. Betapa alam sudah semakin tidak bersahabat dengan umat manusia.
Saya sendiri berkesempatan untuk mengunjungi sebuah perkampungan penduduk di Gunung Mutis, gunung tertinggi di Pulau Timor bagian barat, wilayah Propinsi Nusa Tenggara Timur. Persisnya di Desa Nenas, Molo, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS). Wilayah ini bersebelahan dengan Kabupaten Timor Tengah Utara, dan distrik Oekuse, Republik Demokratik Timor Leste (RDTL). Saya diundang oleh Pokja OAN, sebuah lembaga swadaya pimpinan Mama Aleta Baun, seorang aktifis perempuan di TTS.
Perjalanan menuju Desa Nenas sungguh memprihatinkan. Selepas Kota Kapan, ibukota Kecamatan Molo Utara, saya harus berjibaku dengan jalanan yang rusak, berlumpur, becek dan sebagian lagi berbatu. Menyedihkan.
Saya diminta memfasilitasi proses Analisis Sosial Pertanian bagi kelompok tani hutan di kawasan Mutis. Peserta pertemuan di Gereja Protestan Nenas adalah para anggota kelompok tani hutan di Mutis, Community Organizer (CO) Pokja OAN dan para tokoh masyarakat adat setempat. Walaupun acapkali warga harus bertanya-tanya soal kata-kata yang terdengar agak asing di telinga mereka --maklum sehari-hari mereka menggunakan bahasa lokal yang saya sendiri tidak paham-- namun pertemuan berlangsung cukup lancar.
Saya dibantu oleh Semmy, staf Pokja OAN, yang paham betul bahasa lokal. Warga Mutis yang rata-rata petani, hidup dalam kawasan hutan lindung. Desa-desanya yang sudah di-enclave, terletak persis di pusat sumber air bersih bagi warga Kota Soe, Ibukota Kabupaten TTS. Mereka mengaku selalu dituduh sebagai perusak hutan.
Yang menarik, mereka juga mengungkapkan bahwa aktifitas pertanian mereka sama sekali luput dari perhatian pemerintah. Sejak punahnya apel –tanaman yang sempat menjadi trade mark wilayah setempat, sama sekali tak ada intervensi pembangunan dari pemerintah di wilayah setempat. Potensi wilayah yang demikian hebat dibiarkan terlantar begitu saja. Malah, warga diancam dengan berbagai cara gara-gara menolak rencana penambangan marmer, yang memang potensial di wilayah itu. Sebuah bukit di Molo sudah rata tanah setelah ditambang. Dua lokasi tambang lainnya berhasil digagalkan warga dengan berbagai aksi penolakan.
Saat ditanya tentang apakah mereka memiliki keterwakilan di DPRD NTT atau DPRD TTS, mereka mengatakan tidak punya. Saya terus bertanya, “Apakah kamu ikut pemilu?”
Mereka mengatakan, “Kami memang ikut pemilu. Tapi, siapa yang menjadi wakil kami di DPRD kami tidak tahu. Selama ini tidak ada anggota dewan yang berkunjung kesini.” Astaga!
Tapi, dari sini, saya memahami bahwa akses masyarakat terhadap proses politik di lembaga legislatif sangat rapuh. Begitu juga, dengan akses terhadap lembaga eksekutif. Ada dua alasan mendasar lemahnya akses ini. Pertama, rendahnya kepedulian dan inovasi di tingkat elit politik dan pemerintahan. Dan, kedua, rendahnya kualitas sumber daya manusia (SDM) di tingkat masyarakat untuk memanfaatkan instrumen kekuasaan bagi perubahan lingkungannya.
Pada simpul inilah, apa yang dilakukan Pokja OAN menjadi menarik. Yakni, penguatan analisis pada masyarakat akar rumput. Dimana, masyarakat dirangsang untuk menentukan langkahnya sendiri (self determination) dan dimampukan untuk menolong dirinya sendiri (self help). Dengan begitu, pada gilirannya nanti, masyarakat diharapkan mampu self regulating, bahkan self financing; suatu conditio sine qua non bagi terciptanya civil society yang kuat.
Pada hari terakhir pertemuan, masyarakat kembali bertanya: “Siapakah yang harus kami pilih dalam Pemilu Gubernur NTT dan Bupati TTS nanti?” Saya sungguh terperangah karena “gugatan” yang saya dan Mama Aleta Baun ajukan dalam dua hari pertemuan di desa nan dingin tersebut. Masyarakat ternyata menangkap bahwa mereka punya kekuatan untuk mendorong perubahan di tingkat elit kekuasaan politik. Inilah kebangkitan yang mesti terus disebarluaskan kedalam pelbagai pelosok masyarakat Nusa Tenggara Timur, agar tidak terus menjadi obyek politik para elit.
Menjawab pertanyaan masyarakat, Mama Aleta Baun balik bertanya: “Apakah ada figur yang kamu percaya bisa memperjuangkan penyelesaian berbagai persoalan sosial kemasyartakan di lingkungan kamu?”
Masyarakat mengaku tidak mengenal figur-figur calon Gubernur NTT ataupun calon Bupati TTS. Mereka hanya melihat wajah para bakal calon itu di kalendar ataupun stiker-stiker yang dibagikan tim sukses para calon. Mereka juga mengaku bosan dengan janji-janji para bakal calon. Sebab dari pemilu ke pemilu, selalu ada janji. Tapi, sampai pertemuan itu terjadi, tak satupun yang terealisasi. Bahkan, janji perbaikan jalan dan pemasangan instalasi listrik saat pemasangan jaringan pipa air untuk Kota Soe, sampai detik ini tidak dilaksanakan. Boleh jadi, karena itulah rakyat marah dan merusak hutan di sekitar mata air. Pun, masyarakat merasa kalau tambang boleh dilakukan, mengapa pembukaan lahan pertanian tidak boleh. Logika yang menyesatkan, tapi itulah yang bisa dilakukan sebagai protes atas berbagai kebijakan yang tak berpihak pada rakyat.
Alhasil, disepakati untuk menggelar sumpah adat dengan para bakal calon gubernur/wagub dan bupati/wabup. Sumpah adat ini dilakukan untuk membuat kebijakan yang berdampak pada kerusakan hutan dan tidak akan memuluskan ijin penambangan. Siapa yang tidak ikut sumpah adat, disepakati untuk dikampanyekan agar tidak dipilih oleh warga pemilih. Luar biasa.
Ini merupakan salah satu jalan untuk menyelamatkan lingkungan hidup. Sudah saatnya masyarakat berjuang untuk membuka mata penguasa agar tidak selalu melempar tanggungjawab kerusakan lingkungan hidup dengan menuduh masyarakat sebagai perusak. Persoalannya, adakah calon gubernur atau calon bupati yang berani melakukan sumpah adat? Hanya orang-orang yang punya komitmen yang berani melakukan itu. Siapa? Kita nantikan saja waktunya. Semoga paskah tahun ini menjadi kebangkitan rakyat untuk bersikap tindak. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar