Selasa, 18 Maret 2008

Kebenaran (FAKTA) Sejarah

Oleh: Fredy Wahon

SEJAK kejatuhan HM Soeharto, sang jenderal besar berbintang lima yang kini telah berpulang, orang mulai mempertanyakan kesahihan naskah Surat Perintah 11 Maret (SUPERSEMAR). Pembantaian massa pas­­ca tragedi terbunuhnya para jenderal pada tanggal 30 September 1965 atau disebut dengan G30S/PKI pun mulai “digugat”. Ini baru terjadi setelah Pak Harto lengser. Jika dilakukan saat ia berkuasa, boleh jadi, yang mempersoalkan SUPERSEMAR sudah digelandang ke bui dengan tuduhan menghina kepala negara atau makar.

Pak Harto semasa berkuasa, memang diha­dirkan sebagai sosok bak malaikat pe­nyelamat. Lakonnya dalam film “Janur Ku­ning” sungguh menarik simpatik anak negeri. Tapi, saat hendak lengser, orang yang paling dekat dengannya pun berpaling. Sampai-sampai para pembantunya di kabinet, ter­masuk “anak emasnya” BJ Habibie nekad mengundurkan diri jika Pak Harto tidak segera lengser. Sekalipun Habibie kemudian diberi kuasa untuk memimpin pemerintahan meng­gantikan dirinya, toh hingga menghembuskan nafasnya yang terakhir, Pak Harto tak mau menerima kunjungan Habibie.

Penulisan sejarah pada masa peme­rintahan Pak Harto, memang penuh dengan ceritera heroisme sang presiden, waktu itu. Apalagi, kalau menyangkut penumpasan PKI. Pak Harto sampai-sampai dipersonifi­kasikan sebagai Pancasila, dengan 36 butir­nya. Tapi, setelah lengser, semuanya lenyap.

Memang, penulisan sejarah harus di­akui sangat dipengaruhi oleh situasi politik, selain ketersediaan narasumber atau dokumen se­jarah. Ceritera sejarah yang mengganggu ke­nyamanan penguasa politik, sudah tentu, akan hilang dalam proses dokumentasi seja­rah itu sendiri. Apalagi, jika dokumen pendu­kung tidak mencukupi.

Tidak heran, kalau banyak ceritera seja­rah yang hilang dalam naskah sejarah per­juangan sebuah bangsa/komunitas. Peran komunitas atau seseorang yang sudah ter­ping­girkan setelah peristiwa sejarah berakhir se­ringkali tenggelam dalam penulisan seja­rah.

Hal yang sama terjadi di daerah, se­perti di tanah asalku, Lembata. Saya “digugat” lan­taran menulis hasil wawancara dengan seorang pelaku sejarah perjuangan Lembata, Leo Boli Ladjar, mantan guru sekolah dasar, yang menghadiri rapat di Hadakewa sebagai utusan Raja Labala pada tanggal 7 Maret 1954. Ini soal peran mantan Ketua DPRD NTT, Jan Kiapoli dalam peristiwa pembuatan statement 7 Maret 1954, yang menjadi tong­gak sejarah perjuangan rakyat Lembata untuk menjadi kabupaten otonom.

Tulisan hasil wawancara saya muat pada blog saya di internet. Tapi, naskah itu “digu­gat”. Ini baru ketahuan ketika naskah hasil wawancara dengan Bapak Gute Beteke­neng, yang juga dimuat di blog saya.

Seseorang menulis komentar kepada sa­ya, begini: “Thanks buat anda yang cepat menghubungi Bapak Gute Betekeneng (sang pejuang dan saksi hidup) untuk meluruskan tulisan anda sebelumnya yang juga hasil ke­salahan anda sebagai wartawan. Anda seharusnya meminta maaf kepada semua pihak: Keluarga Besar Betekeneng. Kepada para pe­nulis (wartawan senior) yang sudah me­nerbitkan banyak tulisan dan buku tentang per­juangan Lembata dari hasil penyelidikan serius. Kepada Pemerintah Kab. Lembata yang ikut dan terus mendukung tulisan ber­sejarah tentang perjuangan itu sendiri. Alasannya, anda sudah menuding semua pihak tersebut di atas dan anda bisa dituduh seba­gai salah satu generasi yang ingin mem­beng­kokkan sejarah”.

Saya sendiri baru membacanya setelah diberitahu oleh Pemred Pos Kupang, Dion DB Putra, bahwa ada yang mengomentari tulisan di blog saya. Saat membaca catatan dari seseorang yang menggunakan nama: Franco, itu saya merasa sungguh tertantang un­tuk terus menggali cerita dari lebih banyak na­rasumber. Tidak sekedar karena “gugatan” atas reputasi jurnalistik saya, tapi lebih dari itu adalah keyakinan Franco atas kebenaran tulisan-tulisan sebelumnya, yang menurut sa­ya masih harus diperdebatkan lagi.

Sebab “gugatan” atas cerita se­jarah yang didokumentasikan oleh sejumlah pihak sudah beberapa kali dilontarkan oleh sejumlah man­tan pelaku sejarah Lembata. Hal ini sama seka­li tidak dimaksudkan untuk mengingkari peran para tokoh sekaliber Bapak Gute Bete­keneng --yang sudah tertulis dalam ber­bagai buku sebelumnya, tapi yang lebih penting da­ri itu adalah tidak menghilangkan peran mereka yang tidak tersentuh atau bahkan ter­­marginalkan dalam proses dokumentasi sejarah.

“Gugatan” atas dokumentasi sejarah Lem­bata pernah datang dari saudara sulung ayah saya: F.X. Wahon (alm), mantan camat Ile Ape dan mantan Koordinator Scap Lem­ba­ta, atas buku yang ditulis Karolus Kia Burin, SH dkk yang dibiayai Pemkab Lem­bata melalui APBD II. Banyak kejanggalan dalam buku Kia Burin dkk. Anehnya, buku itu tetap rapih tersimpan di perpustakaan dae­rah Lembata, dan bahkan dibagi-bagikan kepada yang membutuhkannya secara pordeo, tanpa sedikitpun diperbaiki isinya.

Dari cerita FX Wahon yang juga jadi salah satu narasumber bagi Kia Burin dkk, saya tahu bahwa proses investigasi tidak cukup men­dalam. Inilah yang mendorong saya un­tuk terus melakukan penelusuran. Juga, ter­masuk peran Jan Kiapoli, yang ketika itu, su­dah bertugas di Ende, Flores.

Kata FX Wahon, Jan Kiapoli datang da­ri Ende dengan mobil jeep putih dan diparkir di rumah kakek saya di Pohon Sirih, Larantuka, lantas menyeberang ke Lembata dengan perahu motor. FX Wahon, ketika itu, mengantar sumbangan tiga karung beras dari swapraja Larantuka untuk mendukung pertemuan Partai Katolik (Parkat) Komisariat Lembata di Ha­dakewa. Ketua Komisariat Parkat Lem­bata, waktu itu, adalah Bapak Gute Bete­keneng.

Pertemuan itu sendiri, kata FX Wahon, dilangsungkan sejak hari Jumat, 5 Maret 1954. Apa kaitan antara pertemuan tanggal 5-6 Maret dan tanggal 7 Maret, masih harus digali lagi. Karena peserta pertemuan pada tanggal 7 Maret bukan hanya pengurus PAR­KAT, tapi juga menghadirkan para kepala hamente (ka­kang atau kapitan). Hanya saja, yang datang kebanyakan utusannya bukan kakang/kapitan sendiri. Sayangnya, FX Wa­hon dan Jan Kiapoli telah berpulang, sebelum naskah saya “di­gu­gat”. FX Wahon sendiri me­ngaku tidak menghadiri pertemuan tersebut.

Tapi, yang pasti, yang saya masih ingat dari keduanya adalah bahwa hal yang men­dasar dari peristiwa 7 Maret 1954, ketika itu, adalah semangat untuk menghentikan pertumpahan darah: PAJI – DEMONG, di tanah Lembata. Dimana, jalan ke arah itu ditempuh melalui upaya pembentukan swapraja Lem­bata, sekaligus keluar dari swapraja Laran­tuka (Demong) dan swapraja Adonara (Paji).

Saya tidak hendak mencari pembenaran diri atas tulisan saya soal kesaksian Bapak Leo Boli Lajar. Tapi saya juga tidak ingin meng­amini salah satu pihak tanpa penelu­suran yang lebih serius lagi. Sehingga bisa ditemukan kesahian cerita sejarah itu sendiri.

Bagaimana mungkin dua orang yang menghadiri pertemuan yang sama bisa punya cerita yang berbeda soal pemimpin perte­mu­an itu? Ini sungguh mengusik naluri kewar­tawanan saya. Bisa jadi, ada sesuatu yang tidak beres dalam pendokumentasian sejarah 7 Maret 1954. Saya hanya khawatir kalau-kalau proses pendokumentasian sejarah dise­limuti motivasi ekstrinsik untuk tujuan yang dapat justru dapat menegasikan nilai sejarah perjuangan itu sendiri.

Karena itulah, saya berharap agar sege­nap anak tanah Lembata, terutama para pe­laku sejarah untuk tidak terus menutup diri. Sudah cukup banyak orang yang mengaku kecewa dengan proses dokumentasi sejarah 7 Maret 1954 dan seterusnya hingga detik-detik menjelang lahirnya Undang-undang ten­tang Pembentukan Kabupaten Lembata. Tapi, rata-rata masih “malu hati” untuk buka suara.

Bagi saya, sikap “malu hati” yang berle­bih­an justru semakin menjauhkan generasi baru Lembata dari kemurnian nilai sejarah itu sendiri. Generasi penerus bisa terjebak pada sikap hipokrit, kepura-puraan. Ya, pura-pura ti­­dak tahu, pura-pura lupa, pura-pura tidak ada masalah, dan lain sebagainya. Sebuah permakluman yang membahayakan masa depan Lembata sendiri.

Tentu saja, keterbukaan mengisahkan kembali sejarah perjuangan tidak dalam kepentingan sempit orang perorangan. Se­hingga segera tampil ge­nerasi yang sportif. Generasi yang siap meng­akui kelemahan, ke­kurangan, dan ke­tidaktahuan. Maka itu, sebelum semuanya berlalu, marilah kita benahi dari awal, dari sejarah perjuangan itu sendiri. Iya kan?

Kepada Bapak Gute Betekeneng, saya dari hati ikhlas mohon maaf jika tekad saya untuk melakukan penelusuran kembali seja­rah yang bapak dan kawan-kawan ukir di era 1950-an itu. Bapak Gute kan pernah ber­kata ke­pada almahrum FX Wahon, bahwa ada sebagian cerita yang bapak lupa.

Biarkan saya dan kawan-kawan meng­gali yang terlupakan itu, agar semuanya jelas. Paling tidak, agar generasi kami berjalan di atas kesahihan sejarah. Boleh kan? (*)

Tidak ada komentar: