Pak Harto semasa berkuasa, memang dihadirkan sebagai sosok bak malaikat penyelamat. Lakonnya dalam film “Janur Kuning” sungguh menarik simpatik anak negeri. Tapi, saat hendak lengser, orang yang paling dekat dengannya pun berpaling. Sampai-sampai para pembantunya di kabinet, termasuk “anak emasnya” BJ Habibie nekad mengundurkan diri jika Pak Harto tidak segera lengser. Sekalipun Habibie kemudian diberi kuasa untuk memimpin pemerintahan menggantikan dirinya, toh hingga menghembuskan nafasnya yang terakhir, Pak Harto tak mau menerima kunjungan Habibie.
Penulisan sejarah pada masa pemerintahan Pak Harto, memang penuh dengan ceritera heroisme sang presiden, waktu itu. Apalagi, kalau menyangkut penumpasan PKI. Pak Harto sampai-sampai dipersonifikasikan sebagai Pancasila, dengan 36 butirnya. Tapi, setelah lengser, semuanya lenyap.
Memang, penulisan sejarah harus diakui sangat dipengaruhi oleh situasi politik, selain ketersediaan narasumber atau dokumen sejarah. Ceritera sejarah yang mengganggu kenyamanan penguasa politik, sudah tentu, akan hilang dalam proses dokumentasi sejarah itu sendiri. Apalagi, jika dokumen pendukung tidak mencukupi.
Tidak heran, kalau banyak ceritera sejarah yang hilang dalam naskah sejarah perjuangan sebuah bangsa/komunitas. Peran komunitas atau seseorang yang sudah terpinggirkan setelah peristiwa sejarah berakhir seringkali tenggelam dalam penulisan sejarah.
Hal yang sama terjadi di daerah, seperti di tanah asalku, Lembata. Saya “digugat” lantaran menulis hasil wawancara dengan seorang pelaku sejarah perjuangan Lembata, Leo Boli Ladjar, mantan guru sekolah dasar, yang menghadiri rapat di Hadakewa sebagai utusan Raja Labala pada tanggal 7 Maret 1954. Ini soal peran mantan Ketua DPRD NTT, Jan Kiapoli dalam peristiwa pembuatan statement 7 Maret 1954, yang menjadi tonggak sejarah perjuangan rakyat Lembata untuk menjadi kabupaten otonom.
Tulisan hasil wawancara saya muat pada blog saya di internet. Tapi, naskah itu “digugat”. Ini baru ketahuan ketika naskah hasil wawancara dengan Bapak Gute Betekeneng, yang juga dimuat di blog saya.
Seseorang menulis komentar kepada saya, begini: “Thanks buat anda yang cepat menghubungi Bapak Gute Betekeneng (sang pejuang dan saksi hidup) untuk meluruskan tulisan anda sebelumnya yang juga hasil kesalahan anda sebagai wartawan. Anda seharusnya meminta maaf kepada semua pihak: Keluarga Besar Betekeneng. Kepada para penulis (wartawan senior) yang sudah menerbitkan banyak tulisan dan buku tentang perjuangan Lembata dari hasil penyelidikan serius. Kepada Pemerintah Kab. Lembata yang ikut dan terus mendukung tulisan bersejarah tentang perjuangan itu sendiri. Alasannya, anda sudah menuding semua pihak tersebut di atas dan anda bisa dituduh sebagai salah satu generasi yang ingin membengkokkan sejarah”.
Saya sendiri baru membacanya setelah diberitahu oleh Pemred Pos Kupang, Dion DB Putra, bahwa ada yang mengomentari tulisan di blog saya. Saat membaca catatan dari seseorang yang menggunakan nama: Franco, itu saya merasa sungguh tertantang untuk terus menggali cerita dari lebih banyak narasumber. Tidak sekedar karena “gugatan” atas reputasi jurnalistik saya, tapi lebih dari itu adalah keyakinan Franco atas kebenaran tulisan-tulisan sebelumnya, yang menurut saya masih harus diperdebatkan lagi.
Sebab “gugatan” atas cerita sejarah yang didokumentasikan oleh sejumlah pihak sudah beberapa kali dilontarkan oleh sejumlah mantan pelaku sejarah Lembata. Hal ini sama sekali tidak dimaksudkan untuk mengingkari peran para tokoh sekaliber Bapak Gute Betekeneng --yang sudah tertulis dalam berbagai buku sebelumnya, tapi yang lebih penting dari itu adalah tidak menghilangkan peran mereka yang tidak tersentuh atau bahkan termarginalkan dalam proses dokumentasi sejarah.
“Gugatan” atas dokumentasi sejarah Lembata pernah datang dari saudara sulung ayah saya: F.X. Wahon (alm), mantan camat Ile Ape dan mantan Koordinator Scap Lembata, atas buku yang ditulis Karolus Kia Burin, SH dkk yang dibiayai Pemkab Lembata melalui APBD II. Banyak kejanggalan dalam buku Kia Burin dkk. Anehnya, buku itu tetap rapih tersimpan di perpustakaan daerah Lembata, dan bahkan dibagi-bagikan kepada yang membutuhkannya secara pordeo, tanpa sedikitpun diperbaiki isinya.
Dari cerita FX Wahon yang juga jadi salah satu narasumber bagi Kia Burin dkk, saya tahu bahwa proses investigasi tidak cukup mendalam. Inilah yang mendorong saya untuk terus melakukan penelusuran. Juga, termasuk peran Jan Kiapoli, yang ketika itu, sudah bertugas di Ende, Flores.
Kata FX Wahon, Jan Kiapoli datang dari Ende dengan mobil jeep putih dan diparkir di rumah kakek saya di Pohon Sirih, Larantuka, lantas menyeberang ke Lembata dengan perahu motor. FX Wahon, ketika itu, mengantar sumbangan tiga karung beras dari swapraja Larantuka untuk mendukung pertemuan Partai Katolik (Parkat) Komisariat Lembata di Hadakewa. Ketua Komisariat Parkat Lembata, waktu itu, adalah Bapak Gute Betekeneng.
Pertemuan itu sendiri, kata FX Wahon, dilangsungkan sejak hari Jumat, 5 Maret 1954. Apa kaitan antara pertemuan tanggal 5-6 Maret dan tanggal 7 Maret, masih harus digali lagi. Karena peserta pertemuan pada tanggal 7 Maret bukan hanya pengurus PARKAT, tapi juga menghadirkan para kepala hamente (kakang atau kapitan). Hanya saja, yang datang kebanyakan utusannya bukan kakang/kapitan sendiri. Sayangnya, FX Wahon dan Jan Kiapoli telah berpulang, sebelum naskah saya “digugat”. FX Wahon sendiri mengaku tidak menghadiri pertemuan tersebut.
Tapi, yang pasti, yang saya masih ingat dari keduanya adalah bahwa hal yang mendasar dari peristiwa 7 Maret 1954, ketika itu, adalah semangat untuk menghentikan pertumpahan darah: PAJI – DEMONG, di tanah Lembata. Dimana, jalan ke arah itu ditempuh melalui upaya pembentukan swapraja Lembata, sekaligus keluar dari swapraja Larantuka (Demong) dan swapraja Adonara (Paji).
Saya tidak hendak mencari pembenaran diri atas tulisan saya soal kesaksian Bapak Leo Boli Lajar. Tapi saya juga tidak ingin mengamini salah satu pihak tanpa penelusuran yang lebih serius lagi. Sehingga bisa ditemukan kesahian cerita sejarah itu sendiri.
Bagaimana mungkin dua orang yang menghadiri pertemuan yang sama bisa punya cerita yang berbeda soal pemimpin pertemuan itu? Ini sungguh mengusik naluri kewartawanan saya. Bisa jadi, ada sesuatu yang tidak beres dalam pendokumentasian sejarah 7 Maret 1954. Saya hanya khawatir kalau-kalau proses pendokumentasian sejarah diselimuti motivasi ekstrinsik untuk tujuan yang dapat justru dapat menegasikan nilai sejarah perjuangan itu sendiri.
Karena itulah, saya berharap agar segenap anak tanah Lembata, terutama para pelaku sejarah untuk tidak terus menutup diri. Sudah cukup banyak orang yang mengaku kecewa dengan proses dokumentasi sejarah 7 Maret 1954 dan seterusnya hingga detik-detik menjelang lahirnya Undang-undang tentang Pembentukan Kabupaten Lembata. Tapi, rata-rata masih “malu hati” untuk buka suara.
Bagi saya, sikap “malu hati” yang berlebihan justru semakin menjauhkan generasi baru Lembata dari kemurnian nilai sejarah itu sendiri. Generasi penerus bisa terjebak pada sikap hipokrit, kepura-puraan. Ya, pura-pura tidak tahu, pura-pura lupa, pura-pura tidak ada masalah, dan lain sebagainya. Sebuah permakluman yang membahayakan masa depan Lembata sendiri.
Tentu saja, keterbukaan mengisahkan kembali sejarah perjuangan tidak dalam kepentingan sempit orang perorangan. Sehingga segera tampil generasi yang sportif. Generasi yang siap mengakui kelemahan, kekurangan, dan ketidaktahuan. Maka itu, sebelum semuanya berlalu, marilah kita benahi dari awal, dari sejarah perjuangan itu sendiri. Iya
Kepada Bapak Gute Betekeneng, saya dari hati ikhlas mohon maaf jika tekad saya untuk melakukan penelusuran kembali sejarah yang bapak dan kawan-kawan ukir di era 1950-an itu. Bapak Gute
Biarkan saya dan kawan-kawan menggali yang terlupakan itu, agar semuanya jelas. Paling tidak, agar generasi kami berjalan di atas kesahihan sejarah. Boleh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar