Jumat, 01 Februari 2008

Jan Kiapoli Penggagas Statement 7 Maret ?

Sejarahwan nasional, Anhar Gonggong pernah berucap, “Sejarah hanya akan dibuktikan kebenarannya oleh sejarah itu sendiri.” Bagaimana dengan sejarah lahirnya Statement 7 Maret 1954, yang dijadikan tonggak sejarah perjuangan otonomi Lembata? Siapakah yang menggagas pertemuan 7 Maret 1954? Siapa pula yang pertama kali memakai nama Lembata untuk menggantikan Lomblen?

Seolah hendak memutar jarum jam ke belakang, ke tahun 1954, dimana masyarakat Lembata masih terbelah dua: Paji dan Demon(g). Tahun-tahun sebelum itu, tanah Lembata senantiasa bersimbah darah. Darah anak tanah Lembata sendiri, darah kelompok Paji atau Demon(g). Ketika itu, pemerintahan Lembata memang terdiri dari enam hamente. Tiga hamente tunduk kepada pusat pemerintahan swapraja tingkat III di Larantuka, yang disebut dengan kelompok Demon(g). Yakni, hamente Lewoleba yang berkedudukan di Hadakewa, Hamente Lamalera yang berkedudukan di Lamalera, dan Hamente Kawela, yang berkedudukan di Belang. Ketiga hamente ini diperintah oleh seorang kakang.
Sedangkan, tiga hamente lainnya, yakni Hamente Lewotolok yang berkedudukan di Lewotolok, Hamente Kedang yang berkedudukan di Kalikur dan Hamente (Raja) Lebala yang berkedudukan di Lebala, tunduk pada pusat pemerintahan swapraja tingkat III di Sagu, Adonara. Kelompok ini disebut Paji.
Sedangkan, partai politik di Lembata, ketika itu, sudah ada Partai Katolik komisariat Lomblen yang dipimpin Petrus Gute Betekeneng, Masyumi (di Kedang), Parmusi dan beberapa partai lagi. Juga, ada Partai Kaum Tani Indonesia (PKTI). Partai yang memiliki kepengurusan hampir di seluruh pulau Lomblen, ketika itu, adalah Partai Katolik.
Alhasil, menghadapi pemilihan umum tahun 1955, partai-partai melakukan konsolidasi. Konon, momentum inilah yang melahirkan pertemuan Partai Katolik di Hadakewa. Sumber-sumber Demos NTT menyebutkan bahwa pertemuan Parkat dilakukan di Hadakewa sejak hari Jumat tanggal 5 Maret 1954. Pada hari terakhir rapat itulah, persis hari Minggu tanggal 7 Maret 1954, lahirnya pernyataan sikap bersama untuk memperjuangkan Lembata menjadi swapraja tingkat III, keluar dari swapraja Larantuka dan Adonara. Artinya, stop perang. Lembata bersatu. Dan, hilangkan sentimen Paji-Demon(g).
Nah, siapakah yang memimpin rapat pada tanggal 7 Maret 1954? Menurut salah peserta pertemuan 7 Maret 1954, Leo Boli Lajar, yang memimpin rapat adalah Jan Kia Poli, yang punya nama asli Johanes Kia Bote. Kia Poli waktu itu menjabat sebagai Kepala Kantor Urusan Agama Katolik di Ende, Flores, sejak tahun 1953, setelah sebelumnya menjabat Kepala Kantor Urusan Agama Katolik Propinsi Sulawesi (1951-1953).
Leo Laba Lajar yang ditemui di kediamannya, Kalikasa, Ibukota Kecamatan Atadei, membantah sejumlah literatur yang menulis tentang peristiwa terjadinya statement 7 Maret 1954. “Yang memimpin Rapat ketika itu adalah Bapak Jan Kia Poli, dan bertindak selaku sekretaris rapat ketika itu adalah Lambertus Magun. Beliau (Lambertus Magun-Red) tamatan Makasar orang Lelalein, dan ia juga pandai menulis steno,” tegas Leo Laba Lajar, setelah sebelumnya membaca mantra memohon leluhurnya agar ucapannya tetap sesuai fakta dan dapat bermanfaat bagi anak cucu.
Dia mengisahkan bahwa dirinya hadir dalam pertemuan di Hadakewa mewakili Raja Lebala. “Saya ketika itu saya mengajar di Lebala. Pada tanggal 5 Maret tepat hari Rabu (Jumat?), saya sedang duduk di pantai Wato Kleta. Tiba-tiba saya didatangi oleh seorang anak bernama Musa Kasim, dan menyampaikan pesan untuk Kang Guru (sapaan untuk guru saat itu) ke Istana Raja. Ketika saya sampai di Istana, Raja Baha Mayeli menyampaikan kepada saya bahwa ada surat dari Hadakewa bahwa ada sebuah rapat yang digelar di Hadakewa, yang akan dilaksanakan pada tanggal 7 Maret. Saya diminta untuk ikut. Bersama dengan saya ketika itu untuk mewakili Hamente Lebala adalah Opas Fransiskus Boli Kolin Gromang, opas terakhir di Hamente Lebala,” kisah Leo Boli Lajar.
Dikisahkan bahwa mereka berangkat dari Lebala tanggal 6 Maret 1954 dengan berjalan kaki dan sempat bermalam di Karangora. “Orang tua saya tinggal di Karangora. Keesokan harinya kami berangkat dari Karangora jam 6.00 pagi dan tiba di Kolibuto (kampung lama Desa Merdeka sekarang) sekitar pukul 08.00 pagi. Dari situ kami melanjutkan perjalanan ke Hadakewa. Kami tiba di Hadakewa sekitar pukul 11.00. Rapat belum mulai karena masih menunggu peserta dari seluruh Lomblen,” kisahnya.
Karena datang lebih awal, Leo Laba Lajar menuturkan bahwa dia melihat kehadiran Dia Sarabiti. Ya, “Utusan dari Kedang ketika itu yang datang pertama adalah Bapak Dia Sarabiti dengan mengendarai kuda berwarna merah belang kaki putih. Jadi bukan Mas Abdul Salam seperti yang diceritakan selama ini,” tandasnya.
Setelah itu, sambung dia, rombongan dari Kedang lain yang menyusul adalah Karama Bejeer. Sedangkan, peserta dari Watuwawer adalah Nuba Apa Lejap. “Bukan Nuba Mato seperti yang ditulis oleh Bapak Petrus Gute Betekeneng,” tegas Leo Laba Lajar.
Menurut dia, Nuba Mato adalah seorang kondektur kereta api di Jakarta. “Beliau (Nuba Mato-Red) hadir di Lembata pada tanggal 7 Maret 1967 di Lewoleba, membawa hadiah dari Jakarta,” ujarnya, seraya menyebut sejumlah nama yang hadir dalam pertemuan 7 Maret 1954 antara lain Petrus Gute Betekeneng, Guru Ribu Toran, Lambertus Kedang, guru Lela Tufan. “Hadir waktu itu banyak juga orang dari Ude, termasuk guru Lera Lozor, dari Kolibuto Kepala Desa Olak Lewar dan Kepala Payong. Rapat dibuka sekitar pukul 16.00. Tempat rapat terjadi adalah sekitar 30 meter ke selatan dari SDK Hadakewa, lima meter dari pinggir lapangan bola ke timur. Kalau tidak sala sekarang telah dibangun Puskesmas di tempat itu,” ujarnya.
Sayangnya, Boli Lajar mengaku tak banyak mengenal orang. “Waktu itu, banyak sekali yang hadir. Ketika mereka bicara baru kita tahu darimana asalnya. Tapi, nama-nama seperti Aleks Murin (alm), Mohamad Ali Raya Belen, saya tidak lihat. Dan, merteka kan suka bicara, kalau hadir pasti mereka omong. Tapi, waktu itu tidak ada. Yang paling banyak bicara Jan Kia Poli,” kata dia.
Apa agenda rapat? “Agenda rapat ketika itu adalah mempersatukan penduduk Lomblen dengan menghilangkan kata Demon dan Paji. Sehingga rencananya Jan Kia Poli untuk diganti Lomblen menjadi Lembata. Jadi bukan Pak Petrus Gute yang beri nama Lembata. Saya tetap tolak, karena saya masih hidup. Jadi kita jangan putar balikan fakta sejarah,” tandasnya, seraya menambahkan, “Saya juga ingat baik kata Jan Kia Poli ketika itu adalah kita ini harus menjadi pemerintahan sendiri atau menjadi Swapraja Tingkat II.” Selain itu, sambung dia, “Jan Kia juga mengatakan, sebelum ayam jantan berkokok kita sudah harus berdiri sendiri.”
Ditanya siapa yang menandatangani undangan untuk menghadiri pertemuan di Hadakewa, Leo Boli Lajar mengaku tidak membaca naskah undangan tersebut. Dia hanya menerima permintaan lisan dari Raja Baha Mayeli. “Raja Ibrahim Baha Mayeli itu orangnya buta huruf. Raja cuma perintahkan kami untuk hadir dalam rapat yang sedianya dilaksanakan pada tanggal 7 Maret 1954. Beliau tidak berceritra tetang dari mana gagasan pertemuan itu datang,” ujar Leo Boli Lajar, polos. Toh begitu, dia bersikukuh bahwa yang menggagas pertemuan 7 Maret 1954 adalah Jan Kia Poli. Ya, “Yang menjadi inspirator itu adalah Jan Kia Poli, yang –ketika itu-- menjabat sebagai ketua Parkat wilayah Flores,” tandasnya, dan menambahkan, “Setahu saya Jan Kia Poli sebagai pencetus statment 7 Maret 1954”.n fredy wahon/eli making

4 komentar:

jlo mengatakan...

mantap.. terima kasih sudah sharing

Unknown mengatakan...

Mohon dipublikasikan juga dokumen berharga ini. Jangan sampai tercecer seperti Supersemar

Unknown mengatakan...

Saya secara pribadi agak sedikit keberatan dengan tokoh bapak dia sarabiti. Saya lebih sepakat dengan mas abdul salam sarabiti. Karna dalam fakta sejara yang bertanda tangan diatas kertas adalah mas abdul salam sarabiti. Lalu pertanyaannya kenapa bapak dia sarabiti yang di akui. Kita tidak harus sembunyikan sesuatu untuk mengedepankan politik identitas. Saya menolak tulisan ini.

Antonius Rian mengatakan...

Setahu saya Dia Sarabiti dan mas Sarabiti pernah konflik