Selasa, 29 Januari 2008

Kalau Medah Maju, FREN Paling Banyak Raup 10% di Rote-Ndao

Mantan Sekretaris DPD PDIP NTT, Ir. Karel Yani Mboeik bicara blak-blakan tentang Frans Lebu Raya, cagub dari PDIP. Berikut petikannya:


Sejak Pilkada Bupati secara langsung di NTT, PDIP baru menang satu kabupaten, yaitu di Timor Tengah Utara. Anda disebut-sebut sebagai tokoh yang ikut memenangkan paket Gabriel Manek dan Ray Fer­nandez di TTU. Tapi, di kabu­pa­ten lainnya, termasuk di Kota Kupang, PDIP kalah telak. Menu­rut Anda, fenomena apa ini? Apakah PDIP mulai di­ting­galkan para pendukungnya?
Fenomena demokrasi se­ka­rang itu yang bisa me­menang­kan sese­o­rang bukan saja par­tai po­litik (Par­pol) tetapi fi­gur. Figur le­bih besar prosentasinya daripada par­tai. Apa­kah itu per­tanda Partai Demokrasi In­do­nesia Per­juangan (PDIP) su­dah mulai ditinggalkan pendu­kung­nya? Tidak, tidak ditinggal­kan tetapi figur dimana-mana PDIP, kekalahan itu, pemilih militan PDIP tetap pada posisi pro­sen­tasenya. Kita bisa ban­dingkan dengan perolehan le­gis­latif DPR tahun 2004. Jadi yang terjadi seperti kasus Kota Kupang, itu yang terjadi dalam pemilih PDIP saja, yang me­milih sama dengan prosentase legislatif, sedangkan diluar PDIP orang tidak memilih. Jadi kita kalah melulu.

Tahun ini, akan ada 10 Pil­kada bupati sekaligus Pilkada Gubernur. Bagaimana Anda meli­hat kans PDIP menghadapi 11 Pilkada tersebut?
Bagi saya, PDIP harus melihat tokoh-tokoh yang membumi. Mak­sud saya tokoh-tokoh yang be­tul-betul merakyat. Yang ter­jadi secara kasat mata, PDIP me­lihat tokoh di tingkat elite keatas. Oleh karena itu, bagi saya kalau kita sudah menetapkan tokoh itu harus merubah perilaku untuk membumi. Nah, kondisi sekarang kita memilih tokoh yang punya ke­mampuan dimana dia tidak menyerap dari bawah tetapi dari menengah keatas. Jadi kita (PDIP) kalah. Kalah melulu. Dan, saya melihat trendnya kesitu.

Anda adalah salah satu orang yang berperan dalam meme­nang­kan paket Piet A. Tallo dan Frans Lebu Raya lima tahun lalu, berha­dapan dengan paket Viktor Lais­kodat-Simon Hayon dan Es­ton Foe­nay-Gaspar Pa­rang Ehok. Se­karang Eston Foenay malah ber­sedia menggandeng Lebu Raya, malah menjadi Calon Wakil Gu­bernur, dan sudah dideklarasikan. Bagaimana Anda melihat perge­se­r­an konstelasi ini menurut An­da?
Pergeseran konstelasi bagi saya bahwa pasangan Pak Frans-Eston Foenay itu punya peluang untuk menang. Yang menjadi kendala terbesar adalah muncul­nya calon-calon lain yang teruta­ma dari daratan Flores. Itu bisa menggurangi, memecah-belah­kan kekuatan Pak Frans di Flores Timur (Flotim), sedangkan Eston melanggang di daratan Timor. Lawan terberat Pak Eston Foeney hanya ada Pak Medah, kalau dia maju dari Golkar.
Pertarungannya adalah di Ka­bupaten Kupang, begitu kan? Per­tarungan di Kabupaten Ku­pang itu menjadi pertarungan antara Pak Eston dan Pak Iban. Tapi sebenarnya intinya seseo­rang mau menang daslam Pil­kada adalah di Kabupaten Timur Tengah Selatan (TTS). Apakah Es­ton dan Iban sama-sama kuat ka­lau Iban maju di Kabupaten TTS? Itu satu pertanyaan saya. Kalau siapa pun yang menang di TTS dialah yang akan menjadi gubernur kalau konstelasinya macam sekarang ini.

Proses penetapan paket Lebu Raya – Foenay oleh PDIP amat mulus. Bahkan, “penyingkiran” Piet Djami Rebu yang sebelumnya digembar-gemborkan akan ber­pasangan dengan Lebu Raya (pa­ket FAJAR) menjadi FREN, ter­kesan tanpa protes. Apa­kah se­mua elemen PDIP menerimanya ?
Saya tidak tahu tapi bagi kami per­gantian itu wajar-wajar saja. Tetapi harus tersosialisasi de­ngan baik. Pengunduran diri Pak Piet Djami Rebu itu hanya karena mengundurkan diri, karena fak­tor lain, atau karena disingkirkan. Kalau yang ter­sosialisasi bapak Peit Djami disingkirkan itu ber­akibat politik, dampaknya pada pemilih Sumba, Sabu, Kabupaten Kupang dan lain-lain.
Jadi FREN harus benar-benar men­sosialisasikan ke Sumba dan lain-lain, bahwa pemilih fasnatik Pak Djami Rabu, bahwa Pak Piet Djami Rebu mengun­dur­kan diri hanya karena faktor kesehatan, bukan ditendang dan lain-lain. Yang ter­sebarkan sekarang di mata masyarakat Sumba dan lain-lain bahwa Pak Piet di­tendang, Pak Piet tidak dipakai lagi. Itu menjadi kendala politik, itu menjadi ken­dala pemenangan, khususnya daerah pe­milihan Sumba.

Figur Lebu Raya seolah-olah menjadi satu-satunya cagub PDIP tanpa ada per­saingan sama sekali. Padahal, banyak fi­gur yang diusung masyarakat. Apakah ini pertanda bahwa PDIP menutup mata ter­hadap figur dari luar partai sehingga mun­cul calon tunggal gubernur di PDIP? Apa­kah proses ini bisa disebut demokratis?
Saya tidak tahu soal pencalonan tung­gal, biasanya dimana-mana khususnya di daerah lain, PDIP mencalonkan banyak, bahkan di Sumatera Utara bisa sampai 9 kalau tidak salah. Tapi kalau di Nusa Teng­gara Timur, calon tunggal Pak Frans mekanismenya saya tidak mengerti, kare­na saya sudah diluar sistem partai. Saya fraksi biasa, coba tanya langsung ke Pak Frans atau ke anggota DPD lain mengapa ada calon tunggal.

Anda “tersingkir” dari kepe­ngurusan DPD PDIP NTT setelah Lebu Raya terpilih jadi Wagub. Padahal, Anda banyak berjasa membangun PDIP NTT termasuk memper­juangkan Lebu Raya jadi top leader di PDIP berhadapan dengan Anton Haba. Se­betulnya, apa yang terjadi antara anda dan Lebu Raya?
Saya tidak berjasa. Saya bekerja itu ka­rena PDIP. Jadi saya tidak tuntut jasa saya pada Pak Frans. Kalau saya bisa tun­tut, bisa jadi kacau. Setiap orang partai punya jasanya tapi saya tidak tuntut. Saya bekerja karena tanggungjawab saya ke­pada partai. Sebentar lagi kan Pak Frans terpilih menjadi DPD, saya tidak pi­kir lagi. Menurut saya, wajar-wajar saja kalau dia tidak pakai saya. Tapi saya punya tang­gungjawab kepada partai.
Jadi menurut saya itu tidak benar. Saya tetap kritik. Tetapi saya kritik terhadap Pak Frans dan lain-lain, tidak diluar dari aturan partai. Jadi kalau ada di PDIP yang tidak suka saya dan mema­tahkan duluan, itu tidak punya dasar hukum partai. Me­reka-me­reka itu penjilat dan peni­pu, bagi saya.

Siapa figur yang paling meng­ancam Lebu Raya dalam pilkada gubernur NTT?
Kalau dibandingkan dengan figur lain itu banyak. Dengan GAUL, Iban (Ibrahim Agustinus) Medah, banyak yang mengan­cam. Yang kita lihat adalah akibat dari munculnya banyak calon ter­hadap pemeca-belah suara pemi­lih di NTT, ini rata-rata tidak na­sio­nalis, lebih orientasi pada su­ku, agama, begitu kan? Dan, itu ber­pengaruh keras. Dipartaipun tidak punya kemampuan untuk meng­eliminir itu. Karena orang memilih itu tidak nasionalis di NTT, masih tidak nasionalis. Itu tergambar jelas pada pemilihan Kota Madya. Contoh kasus kalau ada Orang Timor, pernakah ada Orang Timor di Flores? Tidak kan? Jadi kalau ada orang yang mengatakan pemilih di NTT itu nasionalis, itu tidak benar. Itu pem­bo­dohan bagi saya. Dan ini harus dilihat oleh partai bahwa pemilih tidak nasional itu inti pokok. Bukan militansi, mereka tidak nasionalis. Mereka memilih karena suku, agama, golongan dan lain-lain.

Apakah Anda juga tim sukses paket FREN?
Sebagai kader, saya otomatis tim sukses. Tapi kan saya tidak bisa menggambarkan bahwa di Rote menang, begitu to. Kalau sa­ya menggambarkan bahwa nanti di Rote menang, itu nama­nya pembodohan terhadap Pak Frans. Saya sudah menggam­bar­kan bahwa kerja keras apapun, kalau Iban Medah maju, dari Ro­te kita (FREN) tetap maksimal 10%. Maka itu, saya katakan tadi, kalau Frans dan FREN mau me­nang di NTT maka yang harus dire­but adalah TTS.

Bisa diceritakan peran Frans Lebu Raya dalam proyek Sarkes yang menyeret Anda dalam proses hukum?
Oh, itu nanti kita lihat per­kem­bangan hukum. Saya ma­sih tung­gu perkembangan hu­kum sam­pai sekarang kan hu­kum belum jalan juga bagi saya. Saya ini ma­sih tersangka ber­tahun-tahun. Jadi kita lihat saja, nanti proses hukum perkem­bang­annya nanti macam apa dalam proses hu­kum nanti kita li­hat ada hubung­an atau tidak sa­ya juga lihat per­kembang­an­nya dalam proses hukum. Iya, be­gitu kan? Saya bu­kan hakim. Jadi kita tunggu di pro­ses hu­kum saja.

Masih ada, hal lain yang mau anda katakan terkait Pil­kada?
Saya minta masyarakat ka­lau memilih Gubernur bukan me­mi­lih penjual obat di jalanan. Memi­lih gubernur harus ba­nyak faktor yang harus dilihat. Kalau bapak ibu sekalian pemi­lih rakyat NTT memilih hanya karena emo­sio­nal, kedekatan, su­ku, aga­ma dan lain-lain, NTT akan tetap macam begini. august riberu

“Tarif RSUD Yohanes Naik 600%, Lebu Raya Tak Pernah Protes”

“Penerapan tarif Rumah Sakit Umum (RSU) dr. W.Z. Yohannes yang naik 600% tidak ada satu pejabat, Frans Lebu Raya tidak pernah protes, tidak ada satu pejabat yang mengatakan bahwa dicabut. Ngapain kita dukung? Jadi bukan soal daerah, satu pulau dengan saya, satu keluarga dengan saya, oh itu bukan jamannya lagi,” tandas Arif Rahman, S.Sos, M.Si —putra Adonara yang memilih bergabung dalam tim sukses bakal calon guber­nur, Viktor Bungtilu Laiskodat, SH kepada Demos NTT.
Berikut nukilan wawancaranya dengan Agust Riberu dari Demos NTT di kediamannya, Kelurahan Tuak Daun Merah (TDM). Kota Kupang, Jumat (25/1) lalu.

Bagaimana Anda melihat Pil­ka­da Gubernur kali ini?
Soal Pilkada yang berlang­sung kali ini, yang pertama kita menghimbau kepada koruptor atau orang-orang yang terindi­kasi korupsi meskipun mereka-mereka yang secara hukum be­lum dibuktikan tetapi dalam as­pek sosial atau fakta sosial kita bisa melihat bahwa ini koruptor atau tidak. Kita harapkan figur calon bebas dari itu. Yang kedua, bahwa calon ke­pala daerah itu selain bebas dari korupsi, harus bebas dari penin­dasan hak-hak asasi ma­nusia (HAM). Dia bisa bicara soal eko­nomi, pendidikan, kemiskinan masyarakat. Jadi keberpihakan kepada rakyat.
Saya melihat bahwa me­mang masyarakat sudah mulai sadar bahwa pejabat yang korup itu harus ditumbangkan. Misal­nya, di Flores Timur, Felix Fer­nandez, yang dianggap sangat korup tumbang, di Manggarai —Anton Bagul Dagur— juga tum­bang. Ini berarti Pilkada lang­sung itu memberi catatan khusus bagi para kandidat agar betul-betul menjaga kepercayaan publik.
Kita melihat bahwa selama ini siapapun menjadi pejabat Guber­nur, anaknya, anak man­tu­nya, adik­nya, bermain proyek. Itu kita bi­sa melihat secara terang-te­ra­ng­an. Kalau tidak Bu­pati sendiri atau Gubernur sen­diri dengan menggunakan ben­de­ra (nama pe­r­u­sahaan) orang lain untuk bagaimana menda­patkan pro­yek dan mendapat­kan keun­tungan dari proyek itu de­ngan cara me-mark up harga ba­rang atau juga underquality.
Kemudian saya melihat be­lum ada calon yang spektakuler secara ekonomi. Dia punya misi, visi soal itu. Karena apa? Tan­tang­an terberat kepala daerah kede­pan adalah pengangguran. Ini sa­ya belum lihat. Misalnya di Pro­vinsi, Pilgub saya melihat Gaspar Parang Ehok yang dua periode menjadi Bupati, tapi tidak buat kemajuan di Mang­garai, bahkan dia juga sekarang terjangkit strok. Kemudian, Frans Lebu Raya juga terindikasi kasus sarkes. Itu digu­nakan untuk Pil­Gub saat itu (2003). Terus, Drs. IA Medah juga dite­ngarai misalnya pembelihan Ka­pal Timau, Pembe­lian Kapal Ikan, Rumpon dan ba­nyak lagi, bahkan pembangunan kantor di Oelmasi, Ibukota Kabu­paten Ku­pang yang baru juga sa­rat masa­lah, dimana tiang-tiang pancang seharusnya 8 meter dija­dikan 6 me­ter. Ini semua walau­pun belum dibukti­kan secara hu­kum, kalau kita me­lihat orang-orang ini maka tidak ada perubahan ke­depan.

Jadi Anda tegas mendukung Viktor Laiskodat?
Memang saya secara sepi­hak, secara pribadi, saya mendu­kung Pak Viktor Laiskodat. Itu karena saya melihat janjinya bah­wa dia sanggup menda­tang­kan investor ke NTT. Te­tapi kalau nan­ti juga perkembangan beri­kutnya misal Pak Viktor Laisko­dat jadi Gubernur. Tapi kita harus kontrol dia, bahwa Pak Viktor kenapa tipu dan ini kita harus lihat kesitu.

Jadi, Anda tidak tertarik un­tuk mendukung paket FREN?
Pertama, itu tadi saya tidak mau terindikasi korupsi. Yang ke­dua, kebencian saya terhadap pa­ket FREN itu adalah soal bagai­mana Pak Piet A. Tallo mengu­sung Sekda, dimana calon Sekda itu ada 3 (tiga) orang. Satu dari Katholik, satu dari Muslim dan satu lagi dari Protestan. Mengapa PDIP membanci, bahkan memaki-maki Islam? Itu yang saya tidak mau. Bahwa kalau tidak suka Ja­min Habib, agama jangan diba­wa-bawa. Jadi kita kasih belajar kepada rakyat bahwa persoalan jabatan publik maupun karir biro­krasi dimana Sekda itu menjadi karir puncak atau jabatan politik?
Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati adalah bukan kita omong soal agama. Kita ingin­kan bahwa seorang pejabat itu bisa mengerti, memahami selu­ruh gejolak yang ada dalam ma­sya­rakat. Jadi kalau dia Muslim, juga ngapain? Kalau Muslim tu­kang korup ngapain orang Islam ha­rus ini? Kalau dia protestan, kalau Protestan juga tukang curi ngapain. Kalau dia Katolik, Katolik juga tidak bisa berpihak kepada rakyat ngapain?
Penerapan tarif Rumah Sakit Umum (RSU) dr. W.Z. Yohannes yang naik 600% tidak ada satu pejabat, Frans Lebu Raya tidak pernah protes, tidak ada satu pe­jabat yang mengatakan bahwa dicabut. Ngapain kita dukung?
Jadi bukan soal daerah, satu pulau dengan saya, satu keluar­ga dengan saya, oh itu bukan ja­mannya lagi. Kandidat itu ha­rus punya visi, punya karakter kepe­mimpinan. Itu seperti apa? Dia ha­rus punya.

Kabarnya, FREN mengklaim didukung oleh masyarakat Lama­holot. Menurut Anda?
Loh, kita Lamaholot tidak du­kung itu. Jadi saya berani ber­taruh bahwa dia kalau mau me­nang di Flores Timur itu, Frans Lebu Raya 50% itu dia sudah sukses, kalau Pak Viktor. Dan, saya perkirakan di Flotim itu ka­lau Pak Viktor masuk dan Dia (Frans Lebu Raya) tidak sampai 50%. Nah, kalau di Flotim sudah tidak didukung, bagaimana indikator dari daerah lain. Hal ini juga kan repot.
Mengapa? Mengapa orang Flotim tidak dukung Frans Lebu Raya? Orang-orang melihat se­ca­ra nyata bahwa saya misalnya ulang-ulang dialog dengan ma­sya­rakat, bahwa masyarakat me­­­nga­takan kami ini tidak tahu bikin proposal, tidak sekolah. Ka­mi disuruh bikin proposal, kom­puter kami pake sewa bikin proposal, sampai hari ini misalnya ban­tuan yang dijanjikan Pak Le­bu Raya sampai hari ini tidak ada bantuan, hanya janji saja. Beda dengan Pak Viktor. Ma­syarakat mengeluh bahwa ada demam berdarah, dia turunkan de­ngan yayasan, diturunkan fo­gging, dan melakukan pengo­bat­an. Ma­syarakat mengeluh ada kelapar­an, dia turunkan beras bantuan. Ini menjadi indikator bahwa rakyat sudah mulai beru­bah ka­lau kau pemilihnya bang­ga orang Adonara jadi Gubernur, semen­tara tidak ada trickle down efect atau kebawah tidak, ngapain? Ngapain sebagai orang Adonara saya bang­ga Frans Lebu Raya jadi Gu­ber­nur, sementara efek kebawah bagi kita tidak ada?
Dan, menjadi catatan penting ketika PDIP mempersoalkan Sek­da, bukan Islam dimaki-maki ma­ka akan sangat sulit Lebu Ra­ya itu mendapat dukungan. Nah, kalau orang Lamaholot yang Mus­­lim itu kalau dia sangat buta dia selalu mendukung Lebu Ra­ya. Itu dia sangat buta. Karena itu memberikan luka yang sangat dalam ketika PDIP memper­soal­kan Pak Jamin Habib, bukan Ja­min Habibnya, islam yang diper­soalkan, itu yang menjadi kema­rahan, kebencian umat Islam.

Apa keunggulan komparatif Laiskodat dibandingkan figur yang lain?
Jadi Pak Viktor di satu sisi lain dia punya kelemahan adalah masa lalu, pernah masuk penjara. Itu masa lalunya. Tetapi keung­gul­annya adalah aset finansial. Viktor tidak menggunakan uang dengan mark up proyek untuk suk­sesi. Kita di Pak Viktor saja kita hitung biaya jaringan saja itu 15 miliar itu sampai ke tingkat desa. Kita belum hitung ongkos bantuan kepada masyarakat. Maka, Gu­ber­nur itu pertama secara finan­sial dia harus kuat dalam Pilkada. Jadi kalau Pak Viktor misalnya sanggup membawa maksimal Rp 50 milliar saja, maka ada per­pu­taran luar biasa uang itu.
Nah, kalau Medah, nah kalau Le­bu Raya, Gaspar Parang Ehok, dapat uang dari mana? Ini kan per­tanyaan. Maka ada sejumlah proyek pasti tidak bermutu. Pro­yek-proyek pasti tidak bermutu ka­rena yang mereka mampu itu hanya meng­ambil bagian dari situ. Mereka tidak punya keung­gulan untuk memba­wa investor dari luar.

Masih ada yang mau Anda ka­takan terkait Pilkada Guber­nur 2008 ini?
Pesan saya untuk Pilkada kali ini, artinya bahwa masyarakat se­cara jernih melihat, masya­ra­kat ingin perubahan atau ego, ego agama atau ego daerah. Nah, ka­lau saya ego agama atau ego dae­rah, pasti saya pilih Frans Lebu Raya. Tapi saya tidak me­lihat itu. Saya melihat tokoh kedepan ini tidak omong soal aga­ma, mendis­kriminasi soal agama.
Tokoh kedepan itu adalah sanggup menjadi lokomotif untuk menarik gerbong ekonomi ma­suk ke NTT. Karena apa? Ba­nyak pe­ngangguran yang sangat be­sar di NTT ini. Sangat berbahaya ketika pihak-pihak luar meletup­kan isu-isu agama atau isu-isu su­ku lebih cepat. Karena apa? Ka­re­na pe­ngangguran, orang tidak ker­ja.
Kira-kira itu yang saya bisa sampaikan bahwa semua ter­gan­tung rakyat meskipun pilihan Pak Viktor tapi rakyat bisa beda. Saya pikir tidak ada klaim dari suku-suku didalam Pilkada, mi­salnya pro Lamaholot-lah, tidak boleh ada klaim. Itu kita sudah secara jernih menyampaikan pro­gram secara jernih ke publik. Contoh nyatanya adalah Dan Adoe, ketika memberi contoh program-program semua program tidak dikerjakan, marahlah. Malu kan kita yang mendukung. Kedepan kalau program yang kau tidak bisa kerjakan jangan jual ke pubik. Nantilah kau me­nang dulu baru kau bisa kerjakan atau tidak. Calon kepala daerah, baik Gu­bernur maupun Bupati adalah dia harus menjual program ker­ja yang bakal dikerjakannya. Bukan seperti Dan Adoe, bahwa ini cuma wacana, bisa, ia bisa tidak, tidak boleh lagi. Itu nama­nya pembohongan politik. peni­puan para politisi dan itu tidak boleh terjadi lagi.

Kamis, 17 Januari 2008

LURUSKAN SEJARAH LEMBATA

Hari ini, Kamis, 17 Januari 2008, merupakan hari teramat penting bagi saya. Karena hari ini saya bersama tiga rekan, Elias Making, Luis Ladjar dan Hanny Candra bertemu seorang pelaku dalam pembuatan Statemen 7 Maret 1954, yang jadi tonggak sejarah perjuangan otonomi Lembata. Namanya, Leo Boli Lajar, 78 tahun, tinggal di Kalikasa, Kecamatan Atadei, Lembata. , yang memimpin rapat penyusunan "statemen 7 Maret" bukanlah Gute Betekeneng sebagaimana ditulis berbagai pihak sebelumnya, tetapi Yan Kiapoli. Cerita lengkapkan akan disajikan setelah ini. Banyak fakta yang dibeberkan seputar perjuangan otonomi yang berbeda jauh dari apa yang didokumentasikan oleh Pemerintahan Lembata saat ini. Kami bertekad untuk terus memburu para saksi sejarah untuk meluruskan sejarah perjuangan rakyat .
Sejarah yang bengkok, akan melahirkan generasi yang bengkok. Karena itulah, sebagai generasi pembaharu, sudah bulat tekad kami untuk meluruskan fakta sejarah Lembata agar tidak lahir generasi bengkok. Nantikan naskah lengkapnya.