Mantan Sekretaris DPD PDIP NTT, Ir. Karel Yani Mboeik bicara blak-blakan tentang Frans Lebu Raya, cagub dari PDIP. Berikut petikannya:
Sejak Pilkada Bupati secara langsung di NTT, PDIP baru menang satu kabupaten, yaitu di Timor Tengah Utara. Anda disebut-sebut sebagai tokoh yang ikut memenangkan paket Gabriel Manek dan Ray Fernandez di TTU. Tapi, di kabupaten lainnya, termasuk di Kota Kupang, PDIP kalah telak. Menurut Anda, fenomena apa ini? Apakah PDIP mulai ditinggalkan para pendukungnya?
Fenomena demokrasi sekarang itu yang bisa memenangkan seseorang bukan saja partai politik (Parpol) tetapi figur. Figur lebih besar prosentasinya daripada partai. Apakah itu pertanda Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) sudah mulai ditinggalkan pendukungnya? Tidak, tidak ditinggalkan tetapi figur dimana-mana PDIP, kekalahan itu, pemilih militan PDIP tetap pada posisi prosentasenya. Kita bisa bandingkan dengan perolehan legislatif DPR tahun 2004. Jadi yang terjadi seperti kasus Kota Kupang, itu yang terjadi dalam pemilih PDIP saja, yang memilih sama dengan prosentase legislatif, sedangkan diluar PDIP orang tidak memilih. Jadi kita kalah melulu.
Tahun ini, akan ada 10 Pilkada bupati sekaligus Pilkada Gubernur. Bagaimana Anda melihat kans PDIP menghadapi 11 Pilkada tersebut?
Bagi saya, PDIP harus melihat tokoh-tokoh yang membumi. Maksud saya tokoh-tokoh yang betul-betul merakyat. Yang terjadi secara kasat mata, PDIP melihat tokoh di tingkat elite keatas. Oleh karena itu, bagi saya kalau kita sudah menetapkan tokoh itu harus merubah perilaku untuk membumi. Nah, kondisi sekarang kita memilih tokoh yang punya kemampuan dimana dia tidak menyerap dari bawah tetapi dari menengah keatas. Jadi kita (PDIP) kalah. Kalah melulu. Dan, saya melihat trendnya kesitu.
Anda adalah salah satu orang yang berperan dalam memenangkan paket Piet A. Tallo dan Frans Lebu Raya lima tahun lalu, berhadapan dengan paket Viktor Laiskodat-Simon Hayon dan Eston Foenay-Gaspar Parang Ehok. Sekarang Eston Foenay malah bersedia menggandeng Lebu Raya, malah menjadi Calon Wakil Gubernur, dan sudah dideklarasikan. Bagaimana Anda melihat pergeseran konstelasi ini menurut Anda?
Pergeseran konstelasi bagi saya bahwa pasangan Pak Frans-Eston Foenay itu punya peluang untuk menang. Yang menjadi kendala terbesar adalah munculnya calon-calon lain yang terutama dari daratan Flores. Itu bisa menggurangi, memecah-belahkan kekuatan Pak Frans di Flores Timur (Flotim), sedangkan Eston melanggang di daratan Timor. Lawan terberat Pak Eston Foeney hanya ada Pak Medah, kalau dia maju dari Golkar.
Pertarungannya adalah di Kabupaten Kupang, begitu kan? Pertarungan di Kabupaten Kupang itu menjadi pertarungan antara Pak Eston dan Pak Iban. Tapi sebenarnya intinya seseorang mau menang daslam Pilkada adalah di Kabupaten Timur Tengah Selatan (TTS). Apakah Eston dan Iban sama-sama kuat kalau Iban maju di Kabupaten TTS? Itu satu pertanyaan saya. Kalau siapa pun yang menang di TTS dialah yang akan menjadi gubernur kalau konstelasinya macam sekarang ini.
Proses penetapan paket Lebu Raya – Foenay oleh PDIP amat mulus. Bahkan, “penyingkiran” Piet Djami Rebu yang sebelumnya digembar-gemborkan akan berpasangan dengan Lebu Raya (paket FAJAR) menjadi FREN, terkesan tanpa protes. Apakah semua elemen PDIP menerimanya ?
Saya tidak tahu tapi bagi kami pergantian itu wajar-wajar saja. Tetapi harus tersosialisasi dengan baik. Pengunduran diri Pak Piet Djami Rebu itu hanya karena mengundurkan diri, karena faktor lain, atau karena disingkirkan. Kalau yang tersosialisasi bapak Peit Djami disingkirkan itu berakibat politik, dampaknya pada pemilih Sumba, Sabu, Kabupaten Kupang dan lain-lain.
Jadi FREN harus benar-benar mensosialisasikan ke Sumba dan lain-lain, bahwa pemilih fasnatik Pak Djami Rabu, bahwa Pak Piet Djami Rebu mengundurkan diri hanya karena faktor kesehatan, bukan ditendang dan lain-lain. Yang tersebarkan sekarang di mata masyarakat Sumba dan lain-lain bahwa Pak Piet ditendang, Pak Piet tidak dipakai lagi. Itu menjadi kendala politik, itu menjadi kendala pemenangan, khususnya daerah pemilihan Sumba.
Figur Lebu Raya seolah-olah menjadi satu-satunya cagub PDIP tanpa ada persaingan sama sekali. Padahal, banyak figur yang diusung masyarakat. Apakah ini pertanda bahwa PDIP menutup mata terhadap figur dari luar partai sehingga muncul calon tunggal gubernur di PDIP? Apakah proses ini bisa disebut demokratis?
Saya tidak tahu soal pencalonan tunggal, biasanya dimana-mana khususnya di daerah lain, PDIP mencalonkan banyak, bahkan di Sumatera Utara bisa sampai 9 kalau tidak salah. Tapi kalau di Nusa Tenggara Timur, calon tunggal Pak Frans mekanismenya saya tidak mengerti, karena saya sudah diluar sistem partai. Saya fraksi biasa, coba tanya langsung ke Pak Frans atau ke anggota DPD lain mengapa ada calon tunggal.
Anda “tersingkir” dari kepengurusan DPD PDIP NTT setelah Lebu Raya terpilih jadi Wagub. Padahal, Anda banyak berjasa membangun PDIP NTT termasuk memperjuangkan Lebu Raya jadi top leader di PDIP berhadapan dengan Anton Haba. Sebetulnya, apa yang terjadi antara anda dan Lebu Raya?
Saya tidak berjasa. Saya bekerja itu karena PDIP. Jadi saya tidak tuntut jasa saya pada Pak Frans. Kalau saya bisa tuntut, bisa jadi kacau. Setiap orang partai punya jasanya tapi saya tidak tuntut. Saya bekerja karena tanggungjawab saya kepada partai. Sebentar lagi kan Pak Frans terpilih menjadi DPD, saya tidak pikir lagi. Menurut saya, wajar-wajar saja kalau dia tidak pakai saya. Tapi saya punya tanggungjawab kepada partai.
Jadi menurut saya itu tidak benar. Saya tetap kritik. Tetapi saya kritik terhadap Pak Frans dan lain-lain, tidak diluar dari aturan partai. Jadi kalau ada di PDIP yang tidak suka saya dan mematahkan duluan, itu tidak punya dasar hukum partai. Mereka-mereka itu penjilat dan penipu, bagi saya.
Siapa figur yang paling mengancam Lebu Raya dalam pilkada gubernur NTT?
Kalau dibandingkan dengan figur lain itu banyak. Dengan GAUL, Iban (Ibrahim Agustinus) Medah, banyak yang mengancam. Yang kita lihat adalah akibat dari munculnya banyak calon terhadap pemeca-belah suara pemilih di NTT, ini rata-rata tidak nasionalis, lebih orientasi pada suku, agama, begitu kan? Dan, itu berpengaruh keras. Dipartaipun tidak punya kemampuan untuk mengeliminir itu. Karena orang memilih itu tidak nasionalis di NTT, masih tidak nasionalis. Itu tergambar jelas pada pemilihan Kota Madya. Contoh kasus kalau ada Orang Timor, pernakah ada Orang Timor di Flores? Tidak kan? Jadi kalau ada orang yang mengatakan pemilih di NTT itu nasionalis, itu tidak benar. Itu pembodohan bagi saya. Dan ini harus dilihat oleh partai bahwa pemilih tidak nasional itu inti pokok. Bukan militansi, mereka tidak nasionalis. Mereka memilih karena suku, agama, golongan dan lain-lain.
Apakah Anda juga tim sukses paket FREN?
Sebagai kader, saya otomatis tim sukses. Tapi kan saya tidak bisa menggambarkan bahwa di Rote menang, begitu to. Kalau saya menggambarkan bahwa nanti di Rote menang, itu namanya pembodohan terhadap Pak Frans. Saya sudah menggambarkan bahwa kerja keras apapun, kalau Iban Medah maju, dari Rote kita (FREN) tetap maksimal 10%. Maka itu, saya katakan tadi, kalau Frans dan FREN mau menang di NTT maka yang harus direbut adalah TTS.
Bisa diceritakan peran Frans Lebu Raya dalam proyek Sarkes yang menyeret Anda dalam proses hukum?
Oh, itu nanti kita lihat perkembangan hukum. Saya masih tunggu perkembangan hukum sampai sekarang kan hukum belum jalan juga bagi saya. Saya ini masih tersangka bertahun-tahun. Jadi kita lihat saja, nanti proses hukum perkembangannya nanti macam apa dalam proses hukum nanti kita lihat ada hubungan atau tidak saya juga lihat perkembangannya dalam proses hukum. Iya, begitu kan? Saya bukan hakim. Jadi kita tunggu di proses hukum saja.
Masih ada, hal lain yang mau anda katakan terkait Pilkada?
Saya minta masyarakat kalau memilih Gubernur bukan memilih penjual obat di jalanan. Memilih gubernur harus banyak faktor yang harus dilihat. Kalau bapak ibu sekalian pemilih rakyat NTT memilih hanya karena emosional, kedekatan, suku, agama dan lain-lain, NTT akan tetap macam begini. august riberu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar