Selasa, 05 Agustus 2008

Flores Timur: Wacana Budaya dalam Pentas yang tidak Berbudaya


Oleh: Marianus Kleden
-------------------------------
Dosen FISIP Unwira
-------------------------------

BUPATI Flores Timur telah melemparkan bola panas yang terus menggelinding: melaksanakan pembangunan berbasis budaya. Gagasan ini disampaikannya dalam banyak kesempatan khususnya ketika turun ke desa-desa pada saat pelantikan kepala desa. Dalam berbagai sambutan, juga dalam wawancara dengan wartawan wacana ini selalu dikedepankan, dan sekali waktu ketika beliau menghadiri pemakaman ibunda setahun lalu, gagasan ini disampaikannya juga kepada saya.
Tidak jelas benar apa yang dimaksudkannya dengan 'pembangunan berbasis budaya' dan tidak jelas juga bagaimana wacana (dalam arti asli: discourse, pertukaran pendapat dengan argumentasi yang kuat untuk menghasilkan sebuah gagasan yang jernih) ini diimplementasikan. Namun satu hal yang cukup konsisten dikatakan bupati ialah bahwa jabatan publik merupakan amanah yang harus dibaktikan bagi kepentingan ribu ratu (rakyat banyak). Dan ini dibuktikannya dengan sebuah pengelolaan keuangan yang 60 hingga 70 persennya dialokasikan untuk kepentingan rakyat. Lembaga audit negara akhirnya menempatkan Bupati Flotim sebagai salah seorang bupati dengan pengelolaan keuangan terbaik di Indonesia (meskipun bagi saya ini pun masih debatable karena pascaperampingan birokrasi ada kurang lebih Rp 9 M yang hilang dari peredaran yang membuat segmen pembeli berkurang dan berkurang pula komoditas masyarakat yang terserap dalam perputaran uang. Artinya, kalau Flotim bisa hidup lebih sejahtera dengan birokrasi yang gemuk, mengapa harus dikuruskan?).
Lepas dari pengelolaan uang, maka aspek lain dari wacana budaya ini masih kabur, baik dalam konsep maupun dalam implementasinya. Yang menonjol ke permukaan adalah beberapa statemen sang bupati yang memperlihatkan kecenderungan etnosentrik untuk menjadikan Flores Timur sebagai asal mula dan pusat peradaban. Bagi saya ini merupakan sebuah kekagetan yang amat terlambat, ibarat seorang anak kecil yang bangun kesiangan dan merasa dialah orang pertama yang menemukan matahari. Kecenderungan etnosentrik adalah kecenderungan purba yang melanda praktis semua suku bangsa di dunia, termasuk juga Flores Timur.
Kalau pemimpin bangsa-bangsa dijejerkan lalu orang bertanya, di manakah pusat bumi, maka Raja Jawa akan maju dan bilang: pusat bumi ada di Jawa. Di sana ada Merapi yang menjadi poros bumi, dan orang yang memimpin tanah Jawa disebut dia yang memangku alam semesta ini (mangkubumi) atau dia yang memangku buana ini (hamengkubuwono). Kaisar China segera menyela: Oh, maaf saudara, Tiongkok adalah pusat dunia. Tiongkok merupakan chung kuo, yaitu wilayah yang dikitari tembok tinggi. Di dalam wilayah itu hiduplah orang-orang beradab, sementara di luar tempok hanya ada orang-orang biadab. Tidak mengherankan kalau ada sebuah hadis (meskipun tidak sahih menurut Nurcholis Madjid) yang berbunyi: Belajarlah hingga ke negeri China.
Mendengar penjelasan Kaisar China ini kumis Hitler gemetar tidak karuan lalu nyerocos: Entschuldigung! Deutschland Über alles! Keyakinan bahwa bangsa Jerman mengatasi semua bangsa yang lain dan bahwa bangsa Arya merupakan bangsa yang paling refined dalam proses evolusi sehingga semua bangsa lain harus dimusnahkan, telah melahirkan kebijakan kejam Hitler membantai bangsaYahudi.
Raja Inggris yang sejak tadi tak sabaran, menyerobot dengan ketus: It is British that rules the waves, hanya orang Inggrislah yang bisa menaklukkan samudra raya. Dalam pada itu Tenno Heika, Kaisar Jepang yang tidak pernah ekspresif dalam bertutur, dan hanya menyimpan kebanggaan yang tidak pernah diungkapkan, dalam sikap santun yang amat bangsawani, menggumam: Mereka tidak tahu kalau saya ini Amaterasu Omikami, putra matahari yang menyinari dunia. Tanpa saya dunia menjadi gelap.
Kecenderungan etnosentrik juga bisa tampak dalam satuan wilayah yang lebih kecil. Apabila kita keliling Adonara lalu bertanya di manakah adonara-kepuhun (pusat Adonara), maka jawabnya bisa bervariasi: bisa di kampung Adonara, bisa di Gunung Boleng, bisa di Witihama dan bisa pula di Adobala.
Apakah Flores Timur merupakan awal mula peradaban? Dalam arti terbatas: ya! Misi awal Gereja Katolik dimulai di Solor. Di Flores Timur pulalah dihasilkan guru-guru generasi pertama yang menyebarkan agama ke arah barat terutama ke Ngada dan Manggarai, dan ke Sumba. Konon nama Waikabubak diberikan oleh Guru Ande, ayahanda dr. Hendrik Fernandez, mantan Gubernur NTT. Penyebaran agama adalah penyebaran perabadan: bukan hanya agama yang diajarkan melainkan banyak hal seperti musik khususnya lagu-lagu gerejani dan lagu-lagu rakyat, olahraga, keterampilan menjahit dan memasak (dua perkara di mana nyora guru sangat berperan, jauh sebelum PKK digalakkan perannya), keterampilan dalam budidaya pertanian dan peternakan, dst. Watak perintisan ini hingga dewasa ini kiranya tetap menonjol. Misi SVD di Madagaskar dimulai oleh Pater Anton Beki Kedang, putra Waibalun, Flores Timur, dan misionaris SVD asal Indonesia yang pertama dikirim ke Jepang adalah Pater Bruno Dasion, putra Lamalera yang juga merupakan bagian Flores Timur sebelum Lembata mekar menjadi kabupaten sendiri.
Ceritera Pater Anton tentang Madagaskar menegaskan bagaimana peradaban itu berdifusi, dan itu dimulai dari "Flores Timur": sang pastor bukan hanya merayakan misa dan berkhotbah tetapi mengajar jemaatnya membuat minyak kelapa, memasak sayur rumpu rampe yang bahan lokalnya berlimpah ruah tetapi tidak pernah dimanfaatkan, memelihara ternak dan mengatur rumah tangga.
Bruno Dasion, di lain pihak, tidak membuat bangsa Jepang menjadi lebih beradab, karena Jepang sudah sangat tinggi peradabannya, tetapi seluruh performans akademiknya, tutur katanya yang halus dalam bahasa Jepang 'kromo' yang amat piawai, pastoralnya yang sangat bersahabat, membuat bangsa Jepang kaget bahwa bukan hanya mereka yang boleh 'menyinari' bangsa lain, tetapi mereka pun bisa 'disinari' oleh bangsa lain, yang kebetulan saja berasal dari 'Flores Timur'.
Namun demikian beberapa kenyataan dan beberapa 'kebetulan' ini tidak perlu menghasilkan etnosentrisme apalagi sovinisme - terlebih kalau kedua semangat ini dibangkitkan dengan cara yang mengada-ada seperti membuat penafsiran abitrer atas kata-kata Lamaholot yang menginsinuasikan kemiripan nama dengan tempat kelahiran Yesus atau Nabi Muhammad. Menyamakan Meko dengan Mekkah atau menjelaskan Indonesia sebagai ina done sia adalah sebuah tindakan sembrono yang menyimpang jauh dari prinsip-prinsip semantika dan semiotika. Tindakan ini sama sembrononya seperti guru SD yang mengajarkan muridnya bahwa Islam merupakan singkatan dari isa, subuh, lohor, asyar, maghrib, sementara guru yang bersangkutan tidak tahu kalau lohor adalah pengindonesiaan kata Arab dhuhur. Kesalahkaprahan semantik juga tampak di tengah masyarakat ketika mereka mengira bahwa guru adalah singkatan dari di-gugu dan ditiru, atau wanita adalah singkatan dari wana ing tata.
Penelitian tentang dunia Lamaholot telah dilakukan oleh banyak peneliti seperti Paul Arndt (1937), Barnes (1993), Gorys Keraf (1978), Kopong Medan (2006) dan seterusnya, dan dalam berbagai kajian itu sama sekali tak ada insinuasi bahwa Lamaholot merupakan pusat dan awal mula peradaban. Malah cara pandang harus dibalik sama sekali: proses pemeradaban justru datang dari luar. Kalau ditelusuri berbagai strata sosial yang ada di Flores Timur, maka strata sosial yang dikategorikan sebagai raja, bangsawan, penguasa (yaitu mereka dapat disebut sebagai pemicu kemajuan), adalah pendatang, baik dari sebuah wilayah nun jauh di sebelah Barat yang bernama Sina Jawa maupun di sebelah Timur yang bernama Seran Goran. Malah morfologi fisik Raja Larantuka dan keturunannya amat jelas memperlihatkan ciri-ciri Kaukasoid mediteranea. Nama-nama Sina Jawa dan Seran Goran sulit dilokalisir karena lebih merupakan nama generik untuk sebuah tempat yang ada in illo tempore dan in illo loco.
Gejala bahwa pendatang menjadi penguasa, bukan hanya ada di Flores Timur tetapi ada di berbagai suku bangsa di dunia dengan alasan yang amat logis, yaitu bahwa pendatang selalu lebih peka melihat berbagai alternatif untuk membangun sebuah tempat baru, sementara kepintaran, kekayaan dan keterampilan yang dibawa oleh pendatang mulai diapresiasi oleh warga setempat sebagai keunggulan yang perlu dikompensasi dengan status tertentu. Dalam perjalanan waktu, pendatang sesungguhnya melakukan kolonisasi teritori dan apropriasi aset, namun tindakan yang sama dengan penjajahan ini telah diubah oleh kebijaksanaan warga lokal menjadi sebuah tatanan baru dengan mengikorporasikan pendatang menjadi bagian integral dalam pembagian kerja (division of labor) yang sudah ada. Pendatang mendapat peran baru sebagai Ata Kebelen yang menjalankan administrasi pemerintahan. Untuk mengokohkan legitimasi mereka sebagai penguasa dibuatlah mitologi tentang asal usul penguasa baru sebagai 'anak kedua' karena 'anak pertama' - yang sibuk mengurus warisan orangtua, tanah, kebun, dan berbagai urusan adat lainnya tidak dapat bersekolah, tidak luas pergaulannya, dan tidak terampil baca tulis - tidak memiliki keterampilan yang memadai untuk mengelola pemerintahan. Istilah 'anak kedua' menjadi semacam appeasement terhadap 'anak pertama' yang posisinya 'direbut' sekaligus menjadi etiologi dan penjelasan bagi kekuasaan yang diembannya. Karena itu kalau ditelusuri pembagian kerja yang melekat pada stratifikasi sosial, maka peran dan kedudukan lewo alap (tuan tanah, pemilik kampung) dan ata kebelen (kelompok aristokrat) lebih sering tidak paralel atau tidak sejajar.
Kalau di masa lampau warga pendatang diinkorporasikan menjadi bagian integral dari tatanan masyarakat setempat di mana pembagian kerja menempatkan mereka sebagai penguasa, maka dewasa ini pendatang baru yang memasuki sebuah wilayah dengan sistem kekerabatan yang rigid tetap juga mengalami inkorporasi yang sama, dengan alasan bahwa dalam urusan perkawinan dan kematian, warga tidak dapat bertindak sebagai individu, atau sebagai keluarga batih yang tertutup, melainkan sebagai warga dari sebuah marga atau sistem kekerabatan. Perkawinan dan kematian tetap merupakan peristiwa komunal, dan tidak dapat diperlakukan sebagai peristiwa individual.
Semua ini keluar dari filsafat Lamaholot yang tidak melihat dirinya secara tertutup dan eksklusif, melainkan dari kesadaran bahwa dia selalu berhubungan atau melekat (holo, holot) dengan orang lain. Dalam sebuah teks yang amat tua yang diperiksa oleh Paul Arndt, holo juga berarti manusia. Ini artinya manusia yang sejati, manusia yang benar adalah adalah manusia selalu melihat dirinya dalam hubungan dengan orang lain, dengan lingkungannya dan dengan Tuhan. Dengan kata lain: manusia yang benar adalah manusia yang menjaga persatuan dan kebersamaan. Dengan menjadikan ini sebagai pegangan kita bertanya, manakah tugas pemimpin dan manakah tugas warga?
Tugas pemimpin adalah pehen lewo, pegen tana, menyelenggarakan tugas-tugas pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan sedemikian rupa sehingga masyarakat itu bersatu helo tapo tonu mating olon/nopen jin jawa, seperti buah kelapa dalam satu jinjingan, seimbang. Sikap-sikap ekstrem yang mempertahankan pendapat dengan dalih bahwa yang disampaikan adalah pendapat pribadi, jelas-jelas salah, karena begitu seseorang mengemban jabatan publik, pada dirinya hampir tidak tersisa area privat. Seorang presiden tidak bisa keseringan batuk dan terlalu banyak minum air putih dalam sidang kabinet, karena penampilannya yang memberi kesan kurang sehat segera membuat kurs rupiah anjlok di pasar bursa. Demikian pula apa pun yang diucapkan seorang bupati, tidak bisa lepas dari kapasitasnya sebagai pejabat publik. Dengan demikian seorang bupati yang taat azas kepada budaya Lamaholot harus lage ae niku kola, peten pali hukut bauk: melangkah maju tetapi selalu menoleh ke belakang, ingat kepentingan hari ini tetapi tidak boleh mengabaikan kepentingan yang akan datang. Dengan lain perkataan, setiap kebijakan, termasuk juga ucapan, selalu harus dievaluasi kembali dengan memperhatikan gejolak yang ada. Konsistensi penting, tetapi ribu ratu toh jauh lebih penting dari konsistensi.
Lalu di manakah tugas warga? Tugas warga adalah hunge baat, tonga blola, menghormati dan menjunjung tinggi pemimpin yang dipilihnya. Kalau bupati mengeluarkan ucapan yang menyinggung martabat warga, bahkan menyesatkan warga, maka warga perlu tobo tiba pae badi/koda pulo kirin lema/puin taan uin tou/gahan taan kahan ehan/pana taan kuno mupur/gawe taan teba lalan yang secara singkat berarti duduk bersama melakukan adu argumentasi yang jernih sehingga dicapai kesepakatan bersama yang relatif bisa diterima semua pihak, tanpa perlu mencederai semangat persaudaraan. Musyawarah yang tersumbat membuat masyarakat memilih demonstrasi sebagai jalan keluar.
Tetapi kita lalu bertanya, martabat warga mana yang diinjak-injak, dan warga mana pula yang telah disesatkan oleh ucapan bupati? Saya berani bertaruh: dari 230an ribu penduduk Flores Timur tak seorang pun yang telah disesatkan. Lalu apa gunanya membuang begitu banyak energi dengan melakukan demonstrasi berkepanjangan, dengan orasi yang bertele-tele, kalau tak satu ucapan pun yang dihiraukan oleh sang bupati?
Di lain pihak, tugas-tugas pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan harus dilakukan sedemikian rupa sehingga warga tidak dipecah belah. Dalam beberapa kali unjuk rasa warga memperlihatkan sikap kurang hormat kepada pemimpinnya dengan mengeluarkan kata-kata yang kurang patut. Warga tidak bisa menjunjung tinggi martabat pemimpinnya karena pemimpin tidak lage ae niku kola, melangkah maju tetapi tidak menoleh ke belakang.
Yang terjadi di Flores Timur, dengan demikian, adalah sebuah ironi: meneriakkan agar pembangunan didasarkan pada budaya, tetapi yang terjadi sama sekali tidak mencerminkan budaya: mempertahankan pendapat pribadi secara ekstrem, melakukan demonstrasi yang sama sekali tidak memberi ruang kepada musyawarah dan dengar pendapat, tidak menghormati pemimpin yang dipilih, dan tidak menghargai aspirasi yang lahir dari wacana publik. Yang tampak adalah sebuah wacana budaya dalam sebuah pentas yang sama sekali tidak berbudaya. *

Tidak ada komentar: