Selasa, 05 Agustus 2008

Limbah Tambang Berisiko Rusak Jalur Migrasi Paus

Jakarta–Masalah limbah pertambangan yang berpotensi merusak lingkungan akan diserahkan seluruh mekanismenya pada kajian Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal). Terlepas dari potensi kerusakan lingkungan yang ada, pengelolaan dampak lingkungan dari pertambangan di Indonesia diperkirakan jauh lebih baik dari pada negara lain.
“Tambang intan di laut yang baru saja dibuka di Kanada membuat laut harus dikeringkan. Saya sudah lihat beberapa tambang di Australia, Kanada, maupun Amerika, kok rasanya tambang di Indonesia (kecuali PETI dan tambang yang hanya cari rente) masih jauh lebih bagus,” kata Direktur Teknik dan Lingkungan Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Witoro Soelarno, Senin (16/6).
Tanggapan Witoro itu sendiri terkait dengan dugaan akan makin tercemarnya wilayah laut Sawu, yang berada di selatan Lembata, karena akan dibangunnya penambangan emas dengan sistem Submarine Tailing Disposal (STD). Dengan sistem pembuangan limbah yang masih diragukan, yaitu STD tadi, kerusakan lingkungan seperti tercemarnya wilayah laut diperkirakan bisa terjadi. Dampak besarnya kemudian merupakan terputusnya jalur migrasi ikan paus yang hingga kini masih kerap melewati lautan Sawu di selatan Lembata.
Penelitian Benjamin Khan dari Apex Environmental hingga 2007 lalu menemukan kawasan Alor merupakan area ekologi yang penting bagi cetacean laut dan satwa laut besar lain yang bermigrasi. Total dari penelitian mulai tahun 2001, hingga kini ada 18 jenis cetacean telah berhasil diidentifikasi selama 336 pertemuan, dalam 51 hari survei lapangan.
Terdapat nilai 367 jam, dengan jarak jelajah 2916,4 mil dan 112 stasiun suara paus bisa terdengar dengan menggunakan hydrophone. Sementara itu, studi identifikasi foto telah dilakukan untuk dua paus besar, yaitu paus sperm (Physeter macrochepalus) dan paus biru (Balaenoptera musculus). “Dari penelitian tersebut dapat disimpulkan kedua jenis paus tersebut menghabiskan banyak waktu di laut Indonesia,” kata Benjamin.
Dengan pergerakan mencapai ribuan kilometer, celah Solor-Alor yang sempit tapi dalam dan wilayah laut Sawu yang luas, menjadi jalur migrasi sempit pelbagai jenis paus yang penting. Hanya sayangnya, celah sempit tersebut akan digunakan sebagai titik buang limbah yang setidaknya berjumlah 350 ton per 24 jam.
“Tambang emas tersebut bisa menjadi terbesar di Indonesia bahkan Asia Tenggara, dengan perkiraan limbah mencapai 350 ton per 24 jam,” ujar Benjamin Khan, melalui surat elektronik, akhir minggu lalu. Dengan buangan sebanyak itu, Benjamin memperkirakan ekosistem di laut Sawu bisa rusak, dan memusnahkan jalur migrasi paus dunia.
Menurut Witoro, mengenai izin penambangan emas di Pulau Lembata, yang diperkirakan bisa merusak jalur migrasi paus dunia, sebaiknya diserahkan seluruh nilai kompetensinya melalui mekanisme Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal). “Mekanisme ilmiah untuk menyaring kegiatan berdampak signifikan atau tidak sudah ada, yaitu Amdal,” urai Witoro.
“Amdal tersebut harus disusun oleh peneliti murni, tidak punya interest, tidak tergantung pesanan baik yang menginginkan adanya tambang maupun yang memang anti tambang,” kata Witoro.

Kerja Sama Asing
Sementara itu, dari informasi yang diberikan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menunjukan kalau daerah pertambangan akan berada di sekitar wilayah Batu Mera, dibagian selatan Lembata. Kontroversi mengenai tambang tersebut masih berlangsung sampai sekarang. Awal pertikaian telah mulai dari tahun 2007 lalu, di mana para wakil masyarakat melalui Forum Komunikasi Antar Petani Kawasan Laragere (Fokal), Forum Komunikasi Masyarakat Pesisir (Forkomdisir) dan Barisan Rakyat Kedang Bersatu (Baraksatu), menyatakan penolakan mereka terhadap dibangunnya tambang milik PT Pukuafu Indah.
“Sejak bulan Oktober 2006, warga Lembata resah–mendengar rencana pertambangan emas dan tembaga di pulau mereka, apalagi mengetahui sang Bupati dan Ketua DPRD Piter Boli Keraf dengan bersemangat mendukung rencana-rencana perusahaan tersebut,” urai Siti Maemunah dari Jatam.
Belakangan PT Pukuafu Indah menggandeng Kupfer Produkte GmbH Jerman, mendirikan PT Merukh Lembata Copper-untuk meminta status Kuasa Pertambangan dirubah Kontrak Karya. PT Merukh Lembata Copper yang terkait dengan Yusuf Merukh mengklaim mendapatkan dukungan pendanaan, teknis dan pengamanan mulai dari Jerman, Polandia dan Australia.
Sistem STD sendiri terus menjadi kontroversi hingga saat ini. Pada kasus Newmont Minahasa Raya (NMR), tahun 2005 lalu, Sistem STD diperkirakan sebagai penyebab tercemarnya lautan Minahasa dan membuat ikan serta air bersih di tempat tersebut menjadi berbahaya untuk konsumsi manusia.
(sulung prasetyo)

1 komentar:

Anak Pantai mengatakan...

Salam Kenal Ama Fredi, Saya Kanis Lasar, Bagus juga tulisanmu, Oh ya Ini Blogerku
www.bloganakpantai.blogspot.com