Jumat, 22 Februari 2008

RAPOR MERAH TALO – LEBU RAYA: BERANTAS KORUPSI

RAPOR MERAH TALO – LEBU RAYA: BERANTAS KORUPSI

Langkah pemberantasan praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) masih terseok-seok. Masih ada sejumlah kasus korupsi yang sama sekali tak bergerak maju. Bahkan, sudah memakan waktu sampai seusia dengan usia pemerintahan duet Gubernur Piet A. Tallo – Wagub Frans Lebu Raya. Lima tahun. Padahal, diyakini korupsi menjadi salah satu biangkeladi kemiskinan. Salah siapa?

Aktifis Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Cabang Kupang Santu Fransiskus Xaverius yang bermarkas di Margasiswa, Jalan Soeharto No. 20 Kupang, persis di depan Markas Polda NTT, tak kuasa menahan gerah. Sontak saja, mereka bergerak beramai-ramai mendatangi Polda NTT dan Kejaksaan Tinggi (Kejati) NTT, Jumat (15/2) lalu. Mereka mempertanyakan mengapa penanganan sejumlah kasus korupsi tak pernah berujung.

Para aktifis PMKRI dipimpin ketua termandatnya, Ronald Raya Todo Boli, bergerak ke Mapolda NTT sekitar pukul 10.00 Wita. Mereka mengenakan simbol kebesaran marga yakni baret merah berbol kuning. Setelah melakukan orasi, lima orang wakil massa PMKRI diterima oleh Wakapolda NTT, Kombes Polisi Drs. Muharso, karena Kapolda NTT, Brigjen Polisi RB Sadarum sedang tidak berada di tempat.

Dalam pertemuan dengan Muharso di ruang kerjanya, aktifis PMKRI itu menyerahkan dan menyampaikan pernyataan sikap mereka yang intinya mendesak aparat penegak hukum untuk segera menuntaskan kasus-kasus korupsi di NTT. Mereka menilai penyelesaian berbagai kasus korupsi selama ini masih terkesan lamban dan terkatung-katung. Pihak penegak hukum dinilai belum memiliki komitmen dalam pemberantasan korupsi. Selain itu, aparat penegak hukum pun dinilai belum mengutamakan profesionalitas dan belum konsisten dalam penanganan kasus-kasus korupsi. Kondisi ini, menurut PMKRI, membuka peluang bagi kaum elit untuk melakukan korupsi di NTT.

Tak cuma di kepolisian. Massa PMKRI juga bergerak menuju gedung Kejaksaan Tinggi NTT di Jalan El Tari. Mereka berbaris menyusuri jalan El Tari dengan rapih, sembari membentangkan spanduk yang bertuliskan “PMKRI Mendukung Pengusutan Tuntas Berbagai Dugaan Korupsi di NTT”. Juga, dipampang poster-poster yang intinya mendesak penuntasan kasus korupsi, seperti Tangkap dan Adili Koruptor dan Kembalikan Uang Rakyat, Tegakkan Hukum dan Berantas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), Ayo Kita Goyang KKN. Massa didampingi oleh aparat kepolisian.

Di kantor Kejaksaan Tinggi, puluhan aparat keamanan sudah berjaga mengamankan jalannya penyampaian aspirasi. Mereka langsung diterima Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati), Djohani Silalahi, SH, didampingi oleh IGS Subawa, SH. Pertemuan dengan Kajati dilakukan di lantai dua. Tapi, Kajati hanya menerima 10 orang utusan PMKRI. Kepada Kajati mereka menyerahkan dokumen yang sama dengan yang diserahkan kepada Wakapolda.

Kepada Kajati, mereka menuntut agar kasus-kasus yang sudah masuk ke Kejati NTT segera dituntaskan. Mereka menilai bahwa Kejati lamban dalam menyelesaikan kasus-kasus korupsi, seperti Proyek Sarkes Rp 15 Miliar yang sudah memakan waktu lima tahun. Mereka meminta agar aparat yang kurang becus dalam menyelesaikan perkara korupsi itu segera ditindak atau dipecat.

Seusai bertemu menerima perwakilan PMKRI, Kajati langsung menjumpai massa di di depan kantor Kejati. Kepada massa inilah Kajati menyatakan tekadnya untuk menuntaskan hampir 100 perkara yang tertunggak.

“Saya sebagai Kepala Kejati yang baru, saya berkomitmen untuk melaksanakan penengakkan hukum untuk menuntaskan perkara-perkara korupsi baik yang ada di Kejati NTT maupun di daerah-daerah,” tandas Kajati di hadapan massa. Sontak saja, massa bertepuk tangan sambil teriakan “hidup, hidup”.

Kajati NTT yang baru dilantik itu menambahkan, “Perkara-perkara yang belum tuntas, dan sepanjang alat buktinya cukup, saya akan perintahkan perkara itu dilimpahkan ke pengadilan. Itu janjinya kepada mahasiswa. Kalau ada perkara di daerah saya akan undang para Kepala Kejaksaan Negerinya untuk ke Kupang ini untuk ekspos perkara, untuk mengetahui dimana kekurangan, dimana yang tidak bisa dilaksanakan. Saya Kepala Kejati NTT, bila ada hal-hal yang saudara ketahui di daerah-daerah yang tidak enak, tolong sampaikan kepada saya.”

Yang menarik, seusai menyampaikan aspirasi, para pengunjukrasa berpose bersama Kajati NTT. Mereka tampak akrab bersahabat. Boleh jadi, langkah aktifis PMKRI ini akan mengganggu sejumlah kalangan yang akan ikut bertarung pada Pemilihan Gubernur NTT nantinya.

Asal tahu saja, selama lima tahun pemerintahan Gubernur Piet A. Tallo, SH dan Wagub Drs. Frans Lebu Raya, sejumlah kasus dugaan korupsi masih belum dapat tersingkap. Di lingkup Pemprop NTT, misalnya, ada kasus Sarkes yang sempat menghadirkan Gubernur Tallo sebagai saksi. Kasus ini sudah merebak beberapa saat sebelum Tallo – Lebu Raya terpilih. Tapi, sampai kini prosesnya masih terkatung-katung.

Salah seorang tersangka, Ir. Karel Jani Mboeik –mantan sekretaris DPD PDIP NTT, sendiri masih harus menanti kejelasan status hukumnya karena belum juga disidangkan perkaranya. Apakah ia sendiri yang tersangkut atau masih ada koleganya di PDIP yang terlibat masih samar-samar. Kemana aliran yang dikorupsi itu pun tersungkup misteri. Siapa saja yang kebagian jatah, masih belum terkuak. Disebut-sebut ada sejumlah elit politik NTT yang ikut menikmati hasil korupsi proyek yang menghebohkan itu.

Di simpul inilah, Ir. Sarah Leri Mboeik bertanya-tanya, kenapa aliran dana yang dikorupsi tidak ditelusuri. “Di kasus Sarkes juga, gubernur bisa diperiksa misalnya, tetapi sebenarnya kan yang bermain di belakang itu siapa, tidak jelas juga. Kita harus cari tahu aliran uang itu lari kemana saja,” ujarnya, sinis.

Demikian halnya dengan kasus pengadaan kapal ikan di Kabupaten Kupang yang menyeret Bupati Kupang, Drs. IA Medah jadi tersangka. Pengusutannya pun sudah seusia kepemimpinan Bupati Medah dan Bupati Rote Ndao, Christian Nehemia Dillak, yang juga jadi tersangka.

Disatu sisi, perkara korupsi seolah menjadi ladang pembantaian karier politik seseorang. Tapi, disisi lain, seolah tampak ada kekuatan yang melindungi para elit dari jeratan hukum.

Tengok saja, komentar Sekretaris DPD Partai Golkar NTT, Cyrilus Bau Engo. Dia menilai banyak sekali kasus korupsi yang pada awal­nya begitu meng­gebu-gebu, tapi akhirnya kabur. “Sebalik­nya ada kasus-kasus yang tidak ada indikasi korupsi ta­pi dipak­sa-paksa untuk men­jadi korupsi. Dan, anehnya di NTT kasus korupsi itu baru ramai dibicarakan ketika ada suksesi,” kata dia, prihatin.

Jadi, sambung dia, “korupsi seringkali di­jadikan stigmatisasi aparat ataupun politisi tertentu. Mau­nya saya itu kalau me­mang mau berantas ko­rupsi harus tuntas sampai selesai se­hingga orang itu selesai dalam bingkai waktu tertentu. Dia ti­dak digan­tung-gantung, lalu menjadi alat un­tuk stig­­mati­sa­si orang. Kami juga tidak tahu siapa-siapa yang korupsi dan tidak korup­si. Karena proses hukumnya menggantung terus.”

Sementara Leri Mboeik, aktifis yang gencar mempersoalkan kasus korupsi di NTT, mensinyalir adanya pengaruh kepemimpinan politik terhadap proses hukum kasus korupsi. “Pengaruhnya besar sekali. Yang terjadi itu politik hukum atau hukum politik? Itu kan menjadi pertanyaan kami disitu. Karena yang kami temui, ada tarik ulur,” tandasnya.

Menurut Leri Mboeik, pihaknya mencatat sekitar 90 kasus korupsi yang masih tertunggak. “Ada (kasus) yang baru dan ada yang lama. Kalau rata-rata waktu itu (kasus) yang lama itu dari tahun 2000, 2001 tetapi ada yang sampai 6-7 tahun. Cukup lama itu. Ada kasus yang berulang tahun. Ada yang terjadi dari 2001 dan ada yang terjadi tahun 2002 sampai pada kasus baru. Dan, modus yang terbanyak itu adalah modus mark up,” ujarnya.

Jika modusnya adalah mark up (penggelembungan harga), sudah tentu birokrasilah yang lebih berperan. Uniknya, penanganannya pun masih tersendat-sendat. Upaya minimalisasi pun tampaknya masih belum optimal dilakukan.

Disinilah raport pemerintahan ini dinilai masih merah. Bukan cuma soal bagaimana mendorong agar perkara korupsi bisa diproses hingga berakhir dengan vonis pengadilan, tapi juga menyangkut upaya minimalisasi korupsi itu sendiri. Dan, yang lebih penting, menurut pakar hukum Universitas Katolik Widya Mandiri (Unwira) Kupang, Dr. Frans Rengka, SH, MHum adalah perlunya menemukan akar masalah yang melatari maraknya korupsi. “Kalau sudah tahu sebabnya maka sebab itu harus dibasmi pertama-tama. Misalnya, karena miskin, ya kemiskinan harus diatasi. Mi­salnya sebab integrasi/inte­gritas birokrasinya belum je­las, maka itu harus dibasmi. Maka rekrutlah birokrasi yang baik. Misalnya karena gaji pe­gawai negerinya, mung­kin itu harus diperbaiki. Jadi korupsi itu sebe­tulnya multi fase dan mul­ti faktor yang menye­bab­kannya,” jelasnya.

Upaya mengatasi korupsi, menurut dia, tidak bisa dilakukan secara parsial. Tapi, “Harus dilakukan secara komprehensif. Karena secara parsial percu­ma. Misalnya, sembuhkan disini, muncul disana,” tandasnya.

Pengamat ekonomi dari Universitas Kristen (Unkris) Kupang, Fritz Fanggidae, SE, MSi juga senada. Dia menilai semua ini terjadi karena pemerintah berjalan sendiri. “Yang harus dibuat pemerintah itu adalah rubah strategi. Jangan dilakukan sendiri-sendiri. Gunakan potensi kelembagaan yang ada dalam masyarakat, gunakan yang sifatnya partisipatif. Banyak potensi dalam masyarakat yang sudah membantu mengurangi kemiskinan. Pemerintah gunakan itulah. Jangan dia pakai pendekatan proyek. Itu nggak bisa,” tandasnya, mengingatkan. Lalu?

Jika raport pemerintahan sekarang masih merah menangani kasus korupsi, maka dibutuhkan pemerintahan baru yang lebih berkemampuan untuk memerangi korupsi. Karena, menurut Leri Mboeik, akar daripada kemiskinan di NTT adalah korupsi. “Saya lebih banyak berharap pada orang yang berani, dan orang yang berani itu menurut saya, itu saya bukan membela salah satu kan­didat, tetapi saya akan memilih kandidat yang benar-benar selama ini konsisten terhadap penegakkan korupsi. Karena menurut kami (PIAR) akar ke­miskinan di NTT itu adalah ko­rupsi,” tandasnya, serius. Siapa?

Entahlah. “Saya pikir figur yang menurut analogi kami begini: jangan me­milih kain lap kotor untuk mem­bersihkan meja. Karena kain lap kotor, meja pun ikut kotor. Paling tidak, kain lap harus lebih bersih dari yang sudah ada. Sa­ya juga tidak setuju kalau gu­bernur kedepan, gubernur yang bisa senyum. Rakyat tidak bu­tuh senyum. Rakyat butuh tin­dak­kan konkrit. Lima tahun yang lalu, wakil gubernur buat apa saja? Saya rasa tidak buat apa-apa. Jadi saya tidak percaya kalau dia bisa menyelesaikan kasus-kasus masa lalu,” ucap Leri Mboeik. Koq?

Ya, “Gubernur kan sakit banyak, seharusnya (wagub) punya ke­wenangan, mana, dimana, ada koq. Hanya HIV/AIDS yang men­jadi pola penyelesaian dengan foto-foto HIV/AIDS dan foto Wa­kil Gubernur. Dia (Wagub) tidak terlalu bersimpati untuk itu. Tulis aja, saya yang suruh,” ujar Leri Mboeik, menantang.

Tapi, Sekretaris Fraksi PDIP DPRD NTT, Kornelis Soi, SH menandaskan, “Penanganan masalah ko­rup­si itu tidak menjadi urusan gubernur. Untuk itu, harus jadi urusan kita semua. Jadi kalau eksekutif, legislatif­nya kuat dan yudikatifnya lemah juga tidak jalan.” Iya deh! Semoga tidak ada dusta diantara kita. n fredy wahon, agust riberu

Selasa, 05 Februari 2008

Pejuang dan Politisi

(Terdapat pengetikan kesalahan yang sangat mengganggu, sehingga naskah dengan judul ini dimuat kembali setelah dikoreksi)

Pejuang dan Politisi
Oleh: Fredy Wahon

“Pagi pejuangku! Kami bangga punya engkau. Selamat ya! Teguhlah pada janjimu pada rakyat! Sayang selalu dari mama dan anak-anak.”
SAYA tertegun membaca deretan kata-kata di “samsung”ku yang mulai usang dimakan usia. Maklum, pesan singkat itu datang tepat pada saat saya memutuskan untuk mencurahkan perhatian dan mengayun langkah di rimba raya politik. Sehingga pesan dari perempuan yang dalam kurun waktu satu dekade ini menjadi teman hidup saya, tentu saja, menjadi kekuatan mahadhasyat bagi langkah perjuangan. Untuk apa?
Ziarah hidup memang tidak pasti. Eyang Soeharto yang di masa mudanya tampak gagah berani memimpin pasukan perang, akhirnya harus membujur lemas di Rumah Sakit Pusat Pertamina sebelum akhirnya menghembuskan nafasnya terakhir. Kekayaan yang dikumpulkan –yang diduga sebagai hasil korupsi—selama 32 tahun memerintah, tak satupun yang dibawa ke liang lahat kecuali kain kafan. Tapi, berita kematiannya sungguh menyita pemberitaan seluruh media massa, terutama televisi dalam negeri. Beberapa rekan saya yang pernah satu atap di Jalan Sam Ratulangie No. 1 Menteng, Jakarta Pusat, menyempatkan diri untuk melayat ke rumah duka Eyang Sepuh di Jalan Cendana Nomor 8, tempat jenazah sang otoriter itu disemayamkan, tak jauh dari “markas pergerakan” kami tahun 1998 silam.
“Apakah ini harus disyukuri atau dimaafkan dan didoakan keselamatannya?” Itulah pesan singkat yang datang dari rumah duka. Tentu saja, dari seorang sahabat yang bersama-sama bergulat dengan teriknya matahari, dan ancaman senapan di tahun 1998. Saya tak menjawab pertanyaan itu. Saya cuma merenungkan kembali perjalanan hidup Eyang Sepuh dari masa mudanya hingga akhirnya wafat. Perjalanan hidup seorang pejuang yang akhirnya menjadi politisi yang sungguh otoriter.
Saya sendiri hanya satu kali berjabat tangan dengan Eyang Sepuh, ketika kebetulan saya berdiri disamping Uskup Dili, Mgr. Carlos Filipe Ximenes Belo, SDB dalam menerima rombongan Pak Harto untuk meresmikan sejumlah proyek nasional di Timor Timur, dan sekaligus meresmikan patung Kristus Raja di bukit Fatucama, Dili, Timor Leste. Telapak tangan Eyang Sepuh sungguh lembut, seolah tak pernah memegang benda keras. Wajahnya pun ramah, bersahabat. Tapi, siapa yang menyangka, kalau dari tangan itu pula tanda tangannya melahirkan sejumlah keputusan yang ademokratis. Keputusan yang bahkan tak sedikit melahirkan duka derita anak bangsa.
Pembantaian terbesar semasa pemerintahannya adalah pembunuhan aktifis Partai Katolik Indonesia (PKI) beserta antek-anteknya, setelah partai politik pemenang pemilu itu dinyatakan sebagai partai terlarang, tahun 1965. Dalam buku “PALU ARIT di Ladang Tebu”, sejarahwan Hermawan Sulistyo melukiskan bagaimana orang-orang PKI dihabisi. Diperkirakan sekitar 78.000 – 500.000 orang dibantai dalam kurun waktu 1965-1966.
Pak Harto benar-benar kejam. Lawan-lawannya disingkirkan. Sang pejuang yang jadi politisi kelas dunia itu, berubah jadi sangat otoriter. Ada tiga kelompok pendukungnya, yakni ABRI (sekarang TNI dan Polri), Golkar dan Birokrasi. Tiga kekuatan ini sangat dikuasai Pak Harto. Tak ada gubernur yang tak tanpa restu cendana. Semuanya menjadi sangat terpusat. Sentralistik.
Nah, politik memang selalu menggoda untuk berkuasa. Dan, kata Lord Action, kekuasaan cendrung korup. Kekuasaan yang terlampau lama hanya akan mengubah sosok seorang pemimpin menjadi koruptor besar. Nafsu besar untuk membangun, bisa hancur oleh nafsu orang-orang di pusaran kekuasaan untuk mengumpulkan kekayaan pribadi. Maka, berhati-hatilah mereka yang hendak akan ikut bertarung dalam Pilkada Gubernur atau Bupati di sejumlah daerah di NTT, tahun ini.
Ketika sedang asyik membangun diskusi dengan kelompok tani hutan di Lereng Labalekang, Pulau Lembata, saya kembali menerima pesan singkat dari perempuan yang telah melahirkan anak-anakku.
“Saya sudah habiskan buku Soe Hok Gie. Saya kurang hati karena dia mengaku atheis. Tapi, saya jatuh cinta pada laki-laki yang tak pernah saya temui ini. Mengagumi kecerdasannya, keberaniannya, keteguhannya, perjuangannya membela yang benar. Juga, kecintaannya pada alam. Saya tergila-gila pada ‘kegilaannya’ memandang hidup. Lalu, pada hujan setengah lebat sore ini, saya membatin: TUHAN, saya mau melahirkan seorang Soe Hok Gie, sang demonstran.”
Sungguh, saya tak menyangka kalau ngidam buku Soe Hok Gie, telah membuat istri saya tergila-gila pada demonstran yang meninggal di usia muda itu. Tapi, kepadanya saya mengingatkan bahwa pejuang tak selalu bisa menikmati hasil perjuangannya, persis seperti Soe Hok Gie yang mati muda. Atau, juga pejuang Bolivia sekaliber Nestor Paz, gerilyawan yang melihat penindasan, kekejaman dan kekejian imperialisme sebagai musuh yang harus ditumpas. Berbekal niat untuk menegakkan keadilan, Nestor Paz memutuskan untuk melakukan perlawanan dengan memanggul senjata.
Juga, kepada istri saya, saya mengingatkan bahwa ibunda seorang demonstran harus teguh, kuat, dan tidak jantungan. Sebab, hari-hari yang akan dilaluinya akan penuh dengan ancaman dari perkauman yang terusik. Tapi, apa jawabnya?
“Saya yakin, mungkin Dia yang akan mewarisi darah cerdas, pemberani, demonstran, punya ayahnya. Gie punya kesamaan dengan ayah dari anak-anak saya, sebelum dia terseret ke dunia politik. Itulah bedanya Gie dengan seorang Fredy. Sebab saya juga yakin kalau Gie tidak mati di usia 27 tahun, dia tidak akan memilih hidup sebagai politisi. Dia akan memilih hidup sebagai seorang dosen dan wartawan (penulis). Dengan begitu, dia menjadi orang-orang bebas.”
Duh! Saya katakan kepada mantan wartawati Harian Pos Kupang ini bahwa politik sebetulnya jalan bagi para pejuang untuk memperjuangkan kemaslahatan umat manusia. Kekuasaan politik harus direbut oleh orang-orang yang peduli pada rakyat. Peduli pada demokrasi. Peduli pada penegakan hukum. Peduli pada hak-hak azasi manusia. Seperti kata Bung Kanis Pari (alm), “Anakku! Kau mewarisi jiwa orang-orang pemberani, yang basah oleh keringat, air mata dan darah. Tapi, kau masa bodoh dan tidak menentu. Sekaranglah waktunya, kau merebut warisan itu dengan kebajikan dan pengorbanan.”
Ya, itulah yang harus diperjuangkan dalam merebut kekuasaan. Bukan dengan uang untuk membeli suara rakyat. Juga, bukan dengan tipu muslihat untuk merampas kekuasaan. Pun, bukan dengan kudeta untuk mengambil alih kekuasaan politik. Dengan begitu, kekuasaan politik bisa berjalan pada aras yang benar: demi kemajuan masyarakat yang dipimpin. Iya kan? (*)

Pejuang dan Politisi

Pejuang dan Politisi
Oleh: Fredy Wahon

“Pagi pejuangku! Kami bangga punya engkau. Selamat ya! Teguhlah pada janjimu pada rakyat! Sayang selalu dari mama dan anak-anak.”
SAYA tertegun membaca deretan kata-kata di “samsung”ku yang mulai usang dimakan usia. Maklum, pesan singkat itu datang tepat pada saat saya memutuskan untuk mencurahkan perhatian dan mengayun langkah di rimba raya politik. Sehingga pesan dari perempuan yang dalam kurun waktu satu dekade ini menjadi teman hidup saya, tentu saja, menjadi kekuatan mahadhasyat bagi langkah perjuangan. Untuk apa?
Ziarah hidup memang tidak pasti. Eyang Soeharto yang di masa mudanya tampak gagah berani memimpin pasukan perang, akhirnya harus membujur lemas di Rumah Sakit Pusat Pertamina sebelum akhirnya menghembuskan nafasnya terakhir. Kekayaan yang dikumpulkan –yang diduga sebagai hasil korupsi—selama 32 tahun memerintah, tak satupun yang dibawa ke liang lahat kecuali kain kafan. Tapi, berita kematiannya sungguh menyita pemberitaan seluruh media massa, terutama televisi dalam negeri. Beberapa rekan saya yang pernah satu atap di Jalan Sam Ratulangie No. 1 Menteng, Jakarta Pusat, menyempatkan diri untuk melayat ke rumah duka Eyang Sepuh di Jalan Cendana Nomor 8, tempat jenazah sang otoriter itu disemayamkan, tak jauh dari “markas pergerakan” kami tahun 1998 silam.
“Apakah ini harus disyukuri atau dimaafkan dan didoakan keselamatannya?” Itulah pesan singkat yang datang dari rumah duka. Tentu saja, dari seorang sahabat yang bersama-sama bergulat dengan teriknya matahari, dan ancaman senapan di tahun 1998. Saya tak menjawab pertanyaan itu. Saya cuma merenungkan kembali perjalanan hidup Eyang Sepuh dari masa mudanya hingga akhirnya wafat. Perjalanan hidup seorang pejuang yang akhirnya menjadi politisi yang sungguh otoriter.
Saya sendiri hanya satu kali berjabat tangan dengan Eyang Sepuh, ketika kebetulan saya berdiri disamping Uskup Dili, Mgr. Carlos Filipe Ximenes Belo, SDB dalam menerima rombongan Pak Harto untuk meresmikan sejumlah proyek nasional di Timor Timur, dan sekaligus meresmikan patung Kristus Raja di bukit Fatucama, Dili, Timor Leste. Telapak tangan Eyang Sepuh sungguh lembut, seolah tak pernah memegang benda keras. Wajahnya pun ramah, bersahabat. Tapi, siapa yang menyangka, kalau dari tangan itu pula tanda tangannya melahirkan sejumlah keputusan yang ademokratis. Keputusan yang bahkan tak sedikit melahirkan duka derita anak bangsa.
Pembantaian terbesar semasa pemerintahannya adalah pembunuhan aktifis Partai Katolik Indonesia (PKI) beserta antek-anteknya, setelah partai politik pemenang pemilu itu dinyatakan sebagai partai terlarang, tahun 1965. Dalam buku “PALU ARIT di Ladang Tebu”, sejarahwan Hermawan Sulistyo melukiskan bagaimana orang-orang PKI dihabisi. Diperkirakan sekitar 78.000 – 500.000 orang dibantai dalam kurun waktu 1965-1966.
Pak Harto benar-benar kejam. Lawan-lawannya disingkirkan. Sang pejuang yang jadi politisi kelas dunia itu, berubah jadi sangat otoriter. Ada tiga kelompok pendukungnya, yakni ABRI (sekarang TNI dan Polri), Golkar dan Birokrasi. Tiga kekuatan ini sangat dikuasai Pak Harto. Tak ada gubernur yang tak tanpa restu cendana. Semuanya menjadi sangat terpusat. Sentralistik.
Nah, politik memang selalu menggoda untuk berkuasa. Dan, kata Lord Action, kekuasaan cendrung korup. Kekuasaan yang terlampau lama hanya akan mengubah sosok seorang pemimpin menjadi koruptor besar. Nafsu besar untuk membangun, bisa hancur oleh nafsu orang-orang di pusaran kekuasaan untuk mengumpulkan kekayaan pribadi. Maka, berhati-hatilah mereka yang hendak akan ikut bertarung dalam Pilkada Gubernur atau Bupati di sejumlah daerah di NTT, tahun ini.
Ketika sedang asyik membangun diskusi dengan kelompok tani hutan di Lereng Labalekang, Pulau Lembata, saya kembali menerima pesan singkat dari perempuan yang telah melahirkan anak-anakku.
“Saya sudah habiskan buku Soe Hok Gie. Saya kurang hati karena dia mengaku atheis. Tapi, saya jatuh cinta pada laki-laki yang tak pernah saya temui ini. Mengagumi kecerdasannya, keberaniannya, keteguhannya, perjuangannya membela yang benar. Juga, kecintaannya pada alam. Saya tergila-gila pada ‘kegilaannya’ memandang hidup. Lalu, pada hujan setengah lebat sore ini, saya membatin: TUHAN, saya mau melahirkan seorang Soe Hok Gie, sang demonstran.”
Sungguh, saya tak menyangka kalau ngidam buku Soe Hok Gie, telah membuat istri saya tergila-gila pada demonstran yang meninggal di usia muda itu. Tapi, kepadanya saya mengingatkan bahwa pejuang tak selalu bisa menikmati hasil perjuangannya, persis seperti Soe Hok Gie yang mati muda. Atau, juga pejuang Bolivia sekaliber Nestor Paz, gerilyawan yang melihat penindasan, kekejaman dan kekejian imperialisme sebagai musuh yang harus ditumpas. Berbekal niat untuk menegakkan keadilan, Nestor Paz memutuskan untuk melakukan perlawanan dengan memanggul senjata.
Juga, kepada istri saya, saya mengingatkan bahwa ibunda seorang demonstran harus teguh, kuat, dan tidak jantungan. Sebab, hari-hari yang akan dilaluinya akan penuh dengan ancaman dari perkauman yang terusik. Tapi, apa jawabnya?
“Saya yakin, mungkin Dia yang akan mewarisi darah cerdas, pemberani, demonstran, punya ayahnya. Gie punya kesamaan dengan ayah dari anak-anak saya, sebelum dia terseret ke dunia politik. Itulah bedanya Gie dengan seorang Fredy. Sebab saya juga yakin kalau Gie tidak mati di usia 27 tahun, dia tidak akan memilih hidup sebagai seorang dosen dan wartawan (penulis). Dengan begitu, dia menjadi orang-orang bebas.”
Duh! Saya katakan kepada mantan wartawati Harian Pos Kupang ini bahwa politik sebetulnya jalan bagi para pejuang untuk memperjuangkan kemaslahatan umat manusia. Kekuasaan politik harus direbut oleh orang-orang yang peduli pada rakyat. Peduli pada demokrasi. Peduli pada penegakan hukum. Peduli pada hak-hak azasi manusia. Seperti kata Bung Kanis Pari (alm), “Anakku! Kau mewarisi jiwa orang-orang pemberani, yang basah oleh keringat, air mata dan darah. Tapi, kau masa bodoh dan tidak menentu. Sekaranglah waktunya, kau merebut warisan itu dengan kebajikan dan pengorbanan.”
Ya, itulah yang harus diperjuangkan dalam merebut kekuasaan. Bukan dengan uang untuk membeli suara rakyat. Juga, bukan dengan tipu muslihat untuk merampas kekuasaan. Pun, bukan dengan kudeta untuk mengambil alih kekuasaan politik. Dengan begitu, kekuasaan politik bisa berjalan pada aras yang benar: demi kemajuan masyarakat yang dipimpin. Iya kan? (*)

Jumat, 01 Februari 2008

Betekeneng Bantah Leo Boli Lajar

Petrus Gute Betekeneng:
Kenapa Kia Poli Tidak Ikut Tanda Tangan Statement 7 Maret ?

Ditemui di kediamannya, Lewoleba, Rabu (30/1/2008), Petrus Gute Betekeneng balik membantah penjelasan Leo Boli Lajar. Berikut petikan wawancara yang ditulis dengan gaya tutur:

Apa yang disampaikan oleh Leo Boli Ladjar, tidak benar. Kalau menurut Leo Boli Jan Kia Poli sebagai penggagas dan pemimpin rapat ketika tanggal 7 Maret 1954, itu tidak benar. Jan Kia Poli ketika itu masih di Makasar. Dia tidak hadir pada 7 Maret 1954.
Yang menggagas dan mempimpin rapat ketika itu adalah saya. Kalau memang Jan Kia Poli sebagai penggagas dan pemimpin rapat, ketika itu, kenapa Jan Kia tidak ikut menandatangani Statmen 7 Maret 1954 itu?
Pada tanggal 7 Maret tersebut terjadi dua kali rapat. Yaitu, rapat pertama adalah pembentukan Sub Komisariat Parkat Wilayah Lomblen dengan membentuk tujuh cabang berdasarkan jumlah paroki dan tiga puluh dua ranting berdasarkan jumlah sekolah waktu itu. Rapat kedua pada hari sama adalah Rapat Gabungan antara Partai Katolik (Parkat) Lomblen dan Masyumi Cabang Kedang dengan agenda menghilangkan status swaparaja. Dan, yang kedua adalah mempersatukan Paji dan Demong, dan ketiga, bersepakat untuk menjadi Lomblen sebagai daerah pemerintahan sendiri.
Jan Kia Poli hanya menerima mandat dari saya untuk melanjutkan perjuangan masyarakat Lomblen ke tingkat pusat untuk mendapat persetujuan menjadi pemerintahan sendiri, serta memperjuangkan Parkat Lomblen menjadi sub Komisariat diakui dan tidak di bawah sub Komisariat Larantuka.
Jan Kia Poli baru hadir pada Konfrensi Masyarakat Lembata yang diadakan bulan Juli, yang ketika itu, Jan juga berperan sebagai salah satu pemimpin rapat.
Berdasarkan mandat yang diterimanya, Jan yang ketika itu menjadi anggota DPRD di propinsi berjuang untuk merubah status Lembata menjadi Coordinator Shcap Lembata dengan SK Gubernur yang kala itu menjabat sebagai Gubernur adalah El Tari.
Dalam kaitan rapat stament 7 Maret itu, rapat digelar pada hari Minggu, yang dihadiri oleh seluruh utusan dari Lembata, yang hadir saat itu mencapai 300-an orang.
Pemimpin Masyumi Cabang Kedang seperti yang dikatakan oleh Leo Boli Lajar, bahwa Ketua Masyumi Cabang Kedang itu adalah Dia Sarabiti bukan Abdul Salam Sarabiti, itu Leo Boli sangat keliru. Apalagi Leo mengatakan bahwa Abdul Salam Sarabiti tidak hadir. Kalau Abdul Salam tidak hadir, mengapa Abdul Salam ikut menandatangani Statmen 7 Maret 1954 itu. Bapak Abdul Salam Sarabiti selaku Ketua dan Ambarak Bajeher selaku Sekretaris mewakili Partai Masyumi Cabang Kedang untuk menandatangani Statemen. Ini buktinya (Gute Betekeneng menunjukan bukti statement yang ditulis tangan olehnya). n eli/petris

Jan Kiapoli Penggagas Statement 7 Maret ?

Sejarahwan nasional, Anhar Gonggong pernah berucap, “Sejarah hanya akan dibuktikan kebenarannya oleh sejarah itu sendiri.” Bagaimana dengan sejarah lahirnya Statement 7 Maret 1954, yang dijadikan tonggak sejarah perjuangan otonomi Lembata? Siapakah yang menggagas pertemuan 7 Maret 1954? Siapa pula yang pertama kali memakai nama Lembata untuk menggantikan Lomblen?

Seolah hendak memutar jarum jam ke belakang, ke tahun 1954, dimana masyarakat Lembata masih terbelah dua: Paji dan Demon(g). Tahun-tahun sebelum itu, tanah Lembata senantiasa bersimbah darah. Darah anak tanah Lembata sendiri, darah kelompok Paji atau Demon(g). Ketika itu, pemerintahan Lembata memang terdiri dari enam hamente. Tiga hamente tunduk kepada pusat pemerintahan swapraja tingkat III di Larantuka, yang disebut dengan kelompok Demon(g). Yakni, hamente Lewoleba yang berkedudukan di Hadakewa, Hamente Lamalera yang berkedudukan di Lamalera, dan Hamente Kawela, yang berkedudukan di Belang. Ketiga hamente ini diperintah oleh seorang kakang.
Sedangkan, tiga hamente lainnya, yakni Hamente Lewotolok yang berkedudukan di Lewotolok, Hamente Kedang yang berkedudukan di Kalikur dan Hamente (Raja) Lebala yang berkedudukan di Lebala, tunduk pada pusat pemerintahan swapraja tingkat III di Sagu, Adonara. Kelompok ini disebut Paji.
Sedangkan, partai politik di Lembata, ketika itu, sudah ada Partai Katolik komisariat Lomblen yang dipimpin Petrus Gute Betekeneng, Masyumi (di Kedang), Parmusi dan beberapa partai lagi. Juga, ada Partai Kaum Tani Indonesia (PKTI). Partai yang memiliki kepengurusan hampir di seluruh pulau Lomblen, ketika itu, adalah Partai Katolik.
Alhasil, menghadapi pemilihan umum tahun 1955, partai-partai melakukan konsolidasi. Konon, momentum inilah yang melahirkan pertemuan Partai Katolik di Hadakewa. Sumber-sumber Demos NTT menyebutkan bahwa pertemuan Parkat dilakukan di Hadakewa sejak hari Jumat tanggal 5 Maret 1954. Pada hari terakhir rapat itulah, persis hari Minggu tanggal 7 Maret 1954, lahirnya pernyataan sikap bersama untuk memperjuangkan Lembata menjadi swapraja tingkat III, keluar dari swapraja Larantuka dan Adonara. Artinya, stop perang. Lembata bersatu. Dan, hilangkan sentimen Paji-Demon(g).
Nah, siapakah yang memimpin rapat pada tanggal 7 Maret 1954? Menurut salah peserta pertemuan 7 Maret 1954, Leo Boli Lajar, yang memimpin rapat adalah Jan Kia Poli, yang punya nama asli Johanes Kia Bote. Kia Poli waktu itu menjabat sebagai Kepala Kantor Urusan Agama Katolik di Ende, Flores, sejak tahun 1953, setelah sebelumnya menjabat Kepala Kantor Urusan Agama Katolik Propinsi Sulawesi (1951-1953).
Leo Laba Lajar yang ditemui di kediamannya, Kalikasa, Ibukota Kecamatan Atadei, membantah sejumlah literatur yang menulis tentang peristiwa terjadinya statement 7 Maret 1954. “Yang memimpin Rapat ketika itu adalah Bapak Jan Kia Poli, dan bertindak selaku sekretaris rapat ketika itu adalah Lambertus Magun. Beliau (Lambertus Magun-Red) tamatan Makasar orang Lelalein, dan ia juga pandai menulis steno,” tegas Leo Laba Lajar, setelah sebelumnya membaca mantra memohon leluhurnya agar ucapannya tetap sesuai fakta dan dapat bermanfaat bagi anak cucu.
Dia mengisahkan bahwa dirinya hadir dalam pertemuan di Hadakewa mewakili Raja Lebala. “Saya ketika itu saya mengajar di Lebala. Pada tanggal 5 Maret tepat hari Rabu (Jumat?), saya sedang duduk di pantai Wato Kleta. Tiba-tiba saya didatangi oleh seorang anak bernama Musa Kasim, dan menyampaikan pesan untuk Kang Guru (sapaan untuk guru saat itu) ke Istana Raja. Ketika saya sampai di Istana, Raja Baha Mayeli menyampaikan kepada saya bahwa ada surat dari Hadakewa bahwa ada sebuah rapat yang digelar di Hadakewa, yang akan dilaksanakan pada tanggal 7 Maret. Saya diminta untuk ikut. Bersama dengan saya ketika itu untuk mewakili Hamente Lebala adalah Opas Fransiskus Boli Kolin Gromang, opas terakhir di Hamente Lebala,” kisah Leo Boli Lajar.
Dikisahkan bahwa mereka berangkat dari Lebala tanggal 6 Maret 1954 dengan berjalan kaki dan sempat bermalam di Karangora. “Orang tua saya tinggal di Karangora. Keesokan harinya kami berangkat dari Karangora jam 6.00 pagi dan tiba di Kolibuto (kampung lama Desa Merdeka sekarang) sekitar pukul 08.00 pagi. Dari situ kami melanjutkan perjalanan ke Hadakewa. Kami tiba di Hadakewa sekitar pukul 11.00. Rapat belum mulai karena masih menunggu peserta dari seluruh Lomblen,” kisahnya.
Karena datang lebih awal, Leo Laba Lajar menuturkan bahwa dia melihat kehadiran Dia Sarabiti. Ya, “Utusan dari Kedang ketika itu yang datang pertama adalah Bapak Dia Sarabiti dengan mengendarai kuda berwarna merah belang kaki putih. Jadi bukan Mas Abdul Salam seperti yang diceritakan selama ini,” tandasnya.
Setelah itu, sambung dia, rombongan dari Kedang lain yang menyusul adalah Karama Bejeer. Sedangkan, peserta dari Watuwawer adalah Nuba Apa Lejap. “Bukan Nuba Mato seperti yang ditulis oleh Bapak Petrus Gute Betekeneng,” tegas Leo Laba Lajar.
Menurut dia, Nuba Mato adalah seorang kondektur kereta api di Jakarta. “Beliau (Nuba Mato-Red) hadir di Lembata pada tanggal 7 Maret 1967 di Lewoleba, membawa hadiah dari Jakarta,” ujarnya, seraya menyebut sejumlah nama yang hadir dalam pertemuan 7 Maret 1954 antara lain Petrus Gute Betekeneng, Guru Ribu Toran, Lambertus Kedang, guru Lela Tufan. “Hadir waktu itu banyak juga orang dari Ude, termasuk guru Lera Lozor, dari Kolibuto Kepala Desa Olak Lewar dan Kepala Payong. Rapat dibuka sekitar pukul 16.00. Tempat rapat terjadi adalah sekitar 30 meter ke selatan dari SDK Hadakewa, lima meter dari pinggir lapangan bola ke timur. Kalau tidak sala sekarang telah dibangun Puskesmas di tempat itu,” ujarnya.
Sayangnya, Boli Lajar mengaku tak banyak mengenal orang. “Waktu itu, banyak sekali yang hadir. Ketika mereka bicara baru kita tahu darimana asalnya. Tapi, nama-nama seperti Aleks Murin (alm), Mohamad Ali Raya Belen, saya tidak lihat. Dan, merteka kan suka bicara, kalau hadir pasti mereka omong. Tapi, waktu itu tidak ada. Yang paling banyak bicara Jan Kia Poli,” kata dia.
Apa agenda rapat? “Agenda rapat ketika itu adalah mempersatukan penduduk Lomblen dengan menghilangkan kata Demon dan Paji. Sehingga rencananya Jan Kia Poli untuk diganti Lomblen menjadi Lembata. Jadi bukan Pak Petrus Gute yang beri nama Lembata. Saya tetap tolak, karena saya masih hidup. Jadi kita jangan putar balikan fakta sejarah,” tandasnya, seraya menambahkan, “Saya juga ingat baik kata Jan Kia Poli ketika itu adalah kita ini harus menjadi pemerintahan sendiri atau menjadi Swapraja Tingkat II.” Selain itu, sambung dia, “Jan Kia juga mengatakan, sebelum ayam jantan berkokok kita sudah harus berdiri sendiri.”
Ditanya siapa yang menandatangani undangan untuk menghadiri pertemuan di Hadakewa, Leo Boli Lajar mengaku tidak membaca naskah undangan tersebut. Dia hanya menerima permintaan lisan dari Raja Baha Mayeli. “Raja Ibrahim Baha Mayeli itu orangnya buta huruf. Raja cuma perintahkan kami untuk hadir dalam rapat yang sedianya dilaksanakan pada tanggal 7 Maret 1954. Beliau tidak berceritra tetang dari mana gagasan pertemuan itu datang,” ujar Leo Boli Lajar, polos. Toh begitu, dia bersikukuh bahwa yang menggagas pertemuan 7 Maret 1954 adalah Jan Kia Poli. Ya, “Yang menjadi inspirator itu adalah Jan Kia Poli, yang –ketika itu-- menjabat sebagai ketua Parkat wilayah Flores,” tandasnya, dan menambahkan, “Setahu saya Jan Kia Poli sebagai pencetus statment 7 Maret 1954”.n fredy wahon/eli making

PILGUB NTT: Maksimal Lima Paket

Pilgub 2008:
Maksimal Lima Paket Bertarung

Gelegar pemilihan kepala daerah (Pilkada) Provinsi Nusa Tenggara Timur tinggal menghitung hari. Tanggal 15 Februari nanti, DPRD dan KPUD akan mengeluar pemberitahuan kepada Gubernur dan Wakil Gubernur bahwa masa jabatan mereka akan segera berakhir. Itu menjadi pratanda bahwa tahapan Pilkada Gubernur-Wagub NTT dimulai. Bagaimana kesiapan KPUD dan DPRD NTT? Berapa banyak paket calon yang mungkin bakal ikut bertarung?

Ditemui di tempat terpisah, Wakil Ketua DPRD NTT, Drs. Kristo Blasin dan juru bicara KPUD NTT, Hans Christian Louk, menegaskan bahwa KPUD dan DPRD sudah sama-sama siap untuk menjalankan proses Pilkada Gubernur-Wagub NTT periode 2008-2013.
Menurut Blasin, pihak akan mengirim surat pemberitahuan kepada Gubernur-Wagub dan KPUD pada tanggal 15 Februari 2008, tentang akan berakhirnya masa jabatan Gubernur-Wagub. “Proses selanjutnya adalah tahapan-tahapan Pilkada yang akan ditangani KPUD NTT. Kami hanya akan merekrut Panwas,” jelasnya.
Persiapan lain yang dilakukan DPRD NTT adalah membahas laporan pertanggungjawaban lima tahun kepemimpinan Gubernur Piet A. Tallo, SH dan Wagub Drs. Frans Lebu Raya. “Kita harapkan mulai Maret sudah terjadi pembahasan-pembahasan,” kata Blasin.
Diakui bahwa Gubernur Tallo saat ini masih menjalani perawatan. “Kita berharap bapak gubernur pada waktunya bisa hadir dan mempertanggungjawabkan kepemimpinan lima tahunan ini. Tetapi misalnya pak gubernur akhirnya karena kesehatan berhalangan, maka masih ada wakil gubernur. Kita harap ini prosedur hukum, legal, ini bisa diakhiri dengan baik. Sehingga mengapa DPRD minta jauh-jauh hari pemerintah sudah menyiapkan berbagai proses administrasi RKPJ dan lain-lain itu bisa dilakukan dengan baik,” ujarnya.
Dia menjelaskan bahwa DPRD dan KPUD NTT bertekad menjadikan Pilkada NTT menjadi sebuah proses politik yang berkualitas. ”Oleh karena itu, berbagai persiapan kita minta jangan didalam map tapi transparan, akuntabel dan taat pada berbagai regulasi yang ada. Betul dijaga agar tidak terjadi kemungkinan nanti ada kebijakan-kebijakan susulan sebagaimana yang terjadi di berbagai kabupaten/kota, daftar pemilih tetap sudah, tapi karena terjadi protes sana-sini lalu dibuka lagi, dan itu menjadi soal,” tegasnya, mengingatkan.
Dia mengingatkan bahwa memilih dan dipilih adalah hak setiap orang. Ya, ”Harus kita pahami bersama bahwa hak memilih dan dipilih itu melekat pada masing masing dan tergantung pada setiap orang apakah akan menggunakan haknya dan dalam konteksnya itu KPUD akan memprosesnya. Pendaftaran orang sebagai pemilih diharapkan masyarakat yang bertanggungjawab adalah masyarakat yang tahu kewajiban dan ketika ada berbagai pengumuman menyangkut pendaftaran peseta pemilu kita masih proaktif. Masyarakat sudah proaktif, partai-partai politik dengan jaringan yang ada harus proaktif membantu masyarakat untuk melakukan pandaftaran, karena tidak ada seorangpun dipaksa untruk mengunakan haknya. Setiap orang punya hak untuk bisa mengunakan dan tidak mengunakan haknya,” ucap mantan seminaris ini.
Dia minta semua pihak menghormati daftar pemilih jika sudah ditetapkan. ”Diharapkan tidak lagi terjadi akan ada pemaksaan-pemaksaan karena ada sogok masyarakat yang baru tahu bahwa ada sebuah proses dan dia belum mendaftarkan. Itu harus disepakati sejak awal, itu tidak dibuka. Kalau orang tahu hak dan kewajiban mesti proaktif. Kan ada beberapa media yang dipakai untuk urusan ini. Dan, kami sudah minta pada KPUD supaya sejak awal pengumuman daftar pemilih dan pemilih yang terdaftar itu diumumkan secara transparan di berbagai media. Terbuka supaya orang lihat saya sudah ada nama atau belum. Sehingga berbagai hal yang terjadi di berbagai tempat itu tidak terjadi lagi di NTT,” tegasnya.
Karena itu, dia mengaku terus melakukan koordinasi dengan KPUD supaya proses pendaftaran pemilih dilakukan secara transparan. Juga, ”Melibatkan banyak pihak termasuk partai-partai politik yang punya kepentingan dengan ini. Dan, ini diumumkan secara terbuka di berbagai media massa. Saya kira itu salah satu solusi dan semua pihak mesti sepakat, pegang satu prinsip bahwa hak dan kewajiban itu melekat pada masing-masing orang, dan orang tidak boleh dipaksa untuk menggunakan hak apalagi dimobilisasi menggunakan hak. Harus dilakukan dengan sadar,” kata dia, berkali-kali.
Makanya, dia memandang sosialisasi pendidikan politik kepada masyarakat menjadi kebutuhan. ”Misalnya kita cek pemilih di NTT ada sekitar 2,6 juta. Dan, kalau ada 60 % dari pemilih ini terdaftar menurut ketentuan, itu sudah bisa dilakukan sebuah pemilu kepala daerah,” jelas Blasin.
Demikian halnya dengan KPUD. Menurut Hans Louk, KPUD bahkan sudah melakukan prapersiapan. ”Tahapan pra persiapan tidak ada dalam ketentuan bakunya, tapi langkah ini kita tempuh untuk kita betul-betul masuk dalam tahapan persiapan sudah cukup bagus. Sehingga dalam masa sekarang ini kita sudah melakukan beberapa langkah yaitu pertama koordinasi dengan KPUD Kabupaten/Kota, dan itu sudah berlangsung beberapa kali. Dan, setiap saat kita berkoordinasi untuk persiapan-persiapan mereka di tingkat Kabupaten/Kota. Yang kedua, persiapan kita juga berkaitan dengan regulasi. Sebelum memasuki persiapan kita sudah menyiapkan draft regulasi, dan itu sudah kita lakukan sekarang. Sehingga ketika masuk dalam tahap persiapan sebagian pekerjaan itu sudah ada,” tandasnya.
Pemilihan Gubernur, kata dia, ditandai dengan pemberitahuan dari DPRD kepada Gubernur tentang akan berakhirnya masa jabatannya. ”Pemberitahuan yang sama juga akan disampaikan oleh KPUD Provinsi. Berdasarkan perhitungan akan jatuh pada tanggal 15 Februari 2008. Sehingga titik start proses pemilihan Gubernur adalah 15 Februari,” jelas dia.
Soal berapa banyak paket calon yang dimungkinkan untuk ikut bertarung, Hans Louk menjelaskan bahwa semua parpol yang ada di NTT dapat mendaftarkan calon. Hanya saja, persyaratan UU mengehndaki 15% suara/kursi DPRD. Ya, ”Kalau soal jumlah partai politik yang mendaftarkan calon ke KPU itu semua partai politik (Parpol) berhak mengajukan paket. Untuk seluruh NTT itu sekitar 24 parpol. Kalau berdasarkan perhitungan suara maka ke 24 parpol berhak untuk mengajukan calon dengan syarat apabila lebih dari 15 % kursi. Jumlah paket maksimal 5, karena 15 % kursi itu sama dengan 9 (sembilan) kursi Dewan jika partai atau gabungan partai yang mempunyai 9 kursi itu boleh mengajukan calon,” jelas dia.
Asal tahu saja, jumlah anggota DPRD sebanyak 55 orang. Dimana, Goklar (21 kursi) dan PDIP (11 kursi) dan selebihnya tak memenuhi syarat mengajukan calon jika tidak berkoalisi. ”Kita mengharapkan pemilihan gubernur berjalan di atas aturan yang ada. Kalau pelaksanaannya berjalan diatas aturan yang ada, saya kira permasalahan tidak akan muncul, dan itu kita maksimalkan. Sehingga kita bisa memastikan seluruh jajaran KPU, kita bertekad untuk berjalan diatas aturan. Jadi segala ketentuan itu baik berkaitan dengan pencalonan, pemutahiran data pemilu dan lain-lain, berdasarkan aturan dan tidak bisa kita ambil keputusan yang diluar aturan,” tegasnya. Semoga! (laporan: agust riberu)

Jumlah Suara Pemilih 12 Partai Yang Tidak Miliki Kursi di DPRD NTT
1. Partai Amanat Nasional (PAN): 31.845
2. Partai Patriot Pancasila: 37.500
3. Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB): 37.328
4. PNI Marhaenisme: 31.353
5. Partai Buruh Sosial Demokrat: 29.532
6. Partai Sarikat Islam (PSI): 24.526
7. Partai Merdeka: 23.424
8. Partai Perhimpunan Indonesia Baru (PPIB): 22.940
9. Partai Bulan Bintang (PBB): 22.130
10. Partai Keadilan Sejahtera (PKS): 19.020
11. Partai Bintang Reformasi (PBR): 7.319
12. Partai Persatuan Nahdatul Ummah Indonesia (PPNUI): 1.397
T o t a l: 288.319

PILGUB NTT: Membaca Arus Politik Tallo

PILGUB: Membaca Arus Politik Tallo

* Lebu Raya Di Ujung Tanduk,
* EHOK - HARMAN Rebutan Pintu,
* Medah - Adoe - Laiskodat Antre

Genderang pemilihan kepala daerah (Pilkada) langsung Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi NTT baru akan ditabuh 15 Februari nanti. Namun sejak setahun silam, kalender dan stiker para bakal calon sudah bertebaran hingga ke pelosok daerah terpencil. Sosok Gubernur Piet Alexander Tallo, SH disebut-sebut masih memegang kunci dalam menentukan siapa yang bakal memenangkan pertarungan. Kemanakah arus politik dialirkan Tallo?

Kendati tahapan Pilkada Gubernur/Wagub sudah di ambang pintu, baru sa­tu paket yang dipastikan maju ke arena pertarungan. Yakni, Drs. Frans Lebu Raya-Ir. Eston Foe­nay, MSi alias FREN yang diusung PDI Perjuangan. Paket kedua yang hampir bisa di­pastikan tem­bus ke arena adalah Drs. Gaspar Parang Ehok – Yulius Bobo, SE, MM alias GAUL yang di­dekla­rasikan partai-partai gu­rem.
Namun, posisi GAUL masih terancam oleh guncangan di tu­buh PPDI –salah satu partai pen­dukungnya. Sekalipun, PPDI versi Jhon Dekrasano memang meng­akomodir GAUL, tapi versi Simon Hayon justru meng­usung Doktor Benny Kabur Harman, SH, MH yang dipasangkan dengan Drs. Alfred Kase, MSi --Sekretaris Daerah Kabupaten Timor Te­ngah Selatan (TTS). Mak­lum saja, Benny Harman adalah kader PKPI yang kini jadi ang­gota Ko­misi III DPR RI. Jika PKPI keluar, GAUL masih harus mencari tam­bahan sua­ra. Pasalnya, total sua­ra partai pendukung yang tersisa cuma delapan kursi Dewan, ter­paut 1 kursi dari 9 kursi yang di­per­­sya­ratkan untuk meme­nuhi quota 15%. Partai-partai pendu­kung GAUL adalah PPDI yang punya empat (4) kursi di DPRD NTT, Partai Pelopor (2 kursi), PNBK (1 kursi), PPD (1 kursi). Ka­rena itulah, kubu GAUL sedang gencar memburu PDS (4 kursi) dan Partai Demo­krat (2 kursi).
Celakanya, PPD tampaknya mulai goyah oleh pendatang baru di pentas politik NTT, Benediktus Bosu, SH –notaris sekaligus pengusaha real estate kelahiran Ende, yang boleh dibilang cukup sukses di Jawa Timur. Apa­lagi, dikabarkan tim sukses Bosu se­dang meminang Ina Tallo, putri Gubernur Piet Alexander Tallo. Paket Bosu – Ina Tallo dikabarkan tengah menggalang kekuatan partai-partai non parlemen plus PPD. Arti­nya, prosentase akumulasi perolehan suara pemilu legislatif yang dikejar, dan diyakini akan mencapai 17% lebih jika ditambah PPD.
Goncangan di tubuh PPD ini diakui pentolan tim sukses GAUL, Drs. Jhon De­kra­sano. Ya, “Partai Persatuan Daerah (PPD) itu baru-baru ini sebenarnya men­­du­kung kita, tapi tidak ikut menan­datangani deklarasi. Padahal di Jakarta DPP-nya itu menandatangani deklarasi tanggal 9 Maret 2007. Kita tinggal lihat saja bagaimana ke­putusan DPP untuk Partai Persatuan Daerah (PPD) itu,” ujarnya.
Figur lain yang ikut meramaikan pere­butan pintu masuk melalui gabungan partai adalah Kombes Polisi Alfons Loemau, putra NTT asal Belu yang kini bertugas di Ma­pol­da NTT. Dikabarkan, Loemau akan berpa­sangan dengan Dok­tor Frans Salesman, ke­tua Bappeda Manggarai sekarang. Paket ini disebut-sebut sudah mengantongi empat kursi Partai Damai Sejahtera (PDS), dan te­ngah membidik Partai Demokrat. Tapi, kalau pun dua partai itu berhasil digaet mere­ka ma­sih terpaut tiga kursi lagi untuk mencapai quota 15%.
Sementara satu figur lagi yang masih samar-samar adalah Jhonatan Nubatonis, putra TTS yang kini berkiprah di Dewan Per­wakilan Daerah (DPD). Dise­but-sebut Ketua Persatuan Orang Timor (POT) ini akan berpasangan dengan dr. Valens Sili Tupen, mantan Kadis Kese­hatan Ngada, yang kini memimpin Dinas Kese­hatan Flotim. Dua tokoh non partai ini masih belum terdengar soal pintu masuknya.
Bagaimana dengan Golkar? Sekretaris Golkar, Cyrilus Bau Engo menyebut bahwa LSI masih melakukan survei untuk menen­tukan siapa yang dido­­minan di mata publik. Tapi, sesungguhnya ada tiga figur dominan di bawah beringin. Yakni, Drs. Ibrahim Agustinus Medah (Ketua DPD Golkar NTT/Bupati Kupang), Victor Bungtilu Laiskodat, SH (anggota DPR-RI) dan Drs. Melkianus Adoe (Ketua DPRD NTT).
Sebagai pemegang tongkat komando partai di NTT, Medah sesung­guhnya punya kans besar. Tapi, belakangan ia digebuk dengan sejumlah kasus dugaan korupsi di Kabupaten Kupang, yang proses hukum­nya jalan di tempat. Hanya saja, melihat proses hukum terhadap Wakil Bupati, Ru­ben Funay atas dugaan ko­rup­si semasa men­jadi Ketua DPRD Kabu­pa­ten Kupang, yang akhir­nya divonis bebas, kal­kulasi poli­tik terhadap posisi Medah agak ber­beda. Politisi kawakan itu di­se­but-sebut akan keluar dari ke­me­lut hukum untuk maju terus melaju di are­na Pilkada. Hanya saja, , ia masih harus berha­dapan dengan Victor Bungtilu Laisko­dat yang gencar menggempur la­pang­an melalui Yayasan Victori, mi­liknya. Apalagi Lais­­kodat telah ke­sohor lan­­­tar­­­an mampu me­nan­dingi Piet Tallo dalam pe­ngumpulan suara di DPRD NTT, lima tahun lalu. Berpasangan de­ngan Simon Hayon, Laiskodat nyaris menjadi Gubernur NTT ji­ka tidak terpaut satu suara. Me­nge­­jutkan memang!
Sayangnya, Laiskodat ter­­co­reng oleh pemberitaan seputar masa mudanya yang pernah men­jadi penghuni bui. Ya, “Pak Viktor di satu sisi lain dia punya kelemahan adalah masa lalu, per­nah masuk pen­­jara. Itu masa lalu­nya,” aku Arif Rahman, salah seorang tim suksesnya.
Namun, sambung Arif, “ke­ung­­gulannya adalah aset finan­sial. Viktor tidak meng­gunakan uang dengan mark up proyek un­tuk suksesi. Kita di Pak Viktor saja kita hitung biaya jaringan saja itu Rp 15 miliar itu sampai ke tingkat de­­sa. Kita belum hitung ongkos ban­­tuan kepada masyarakat.” Gila!
Boleh jadi, inilah yang mem­buat Golkar harus menghi­tung moment untuk meng­u­mum­­kan paket yang akan diajukan untuk bertarung. Jika tidak diakomodir, bukan tidak mungkin figur yang tersingkir akan memburu kenda­raan politik lain untuk balik meng­ge­buk paket Golkar. Penga­laman Daniel Adoe dalam Pilkada Kota Kupang sungguh jadi pelajaran, bahwa figur unggul­an Golkar jus­tru terjung­kal oleh kader yang di­gu­sur Golkar.
Figur ketiga yang agak te­nang tanpa badai berarti adalah Mell Adoe. Jajaran pengurus te­ras Gol­kar bahkan sempat meng­ancam me-recall Mell dari DPRD karena rajin masuk keluar kam­pung meng­galang dukungan. Ta­pi, jika Medah tersandung, dan Lais­­­kodat tergusur oleh masa la­lu­nya, maka langkah Mell Adoe ke arena per­tarungan akan mu­lus. Terus?
Dari peta kandidat yang ber­edar, tampaknya benar apa yang dikatakan mantan sekretaris DPD PDIP NTT, Ir. Karel Jani Mboeik bahwa yang menentukan siapa yang bakal memenangkan pertarungan nantinya adalah massa pemilih dari Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS). Se­lain merupa­kan kabupaten de­ngan pemilih terbesar di NTT, hampir bisa dipastikan tidak ada figur dari wilayah ini yang maju ber­ta­rung. Sebab posisi Jona­than Nubatonis masih cukup sulit mendapatkan pintu. “Siapa pun yang menang di TTS, dialah yang akan menjadi gubernur kalau kons­telasinya macam sekarang ini,” ujar Jani Mboeik, optimistis.
Apalagi, diyakini bahwa pemi­lih NTT masih belum cukup na­sio­nalis dan rasional. Orang ma­sih cenderung memilih dengan per­timbangan-pertim­bangan ke­dekatan emosional primordia­lis­tik. “Kalau ada orang yang me­nga­takan pemi­lih di NTT itu na­sio­nalis, itu tidak benar. Itu pem­bodohan bagi saya. Dan ini harus di­lihat oleh partai bahwa pemilih tidak nasional itu inti pokok. Bu­kan militansi, mereka tidak nasio­nalis. Mereka memilih karena su­ku, agama, golongan dan lain-lain,” tandas Jani Mboeik, lagi.
Pada simpul inilah posisi po­litik Piet Tallo menjadi dominan. Mantan bupati TTS dua periode ini masih sangat didengar para tokoh politik TTS. Pun, warga TTS masih sangat mendengar suara­nya. Lihat saja, pertarungan Pil­gub lima tahun silam. Golkar TTS mati-matian mempertahankan Piet Tallo, bahkan sampai nekad me­merintahkan wakilnya di DPR­D NTT untuk memilih paket Tallo-Lebu Raya yang diusung PDIP. Se­lain karena di TTS, masih ada Chris Tallo, adik Piet Tallo, toh ke­beranian Golkar TTS me­nan­tang arus DPP yang mendu­kung Eston Funay-Gaspar Ehok, bu­kan­lah sesuatu yang mudah. Ta­pi, Gol­kar TTS tentu tak mau ke­hilangan massa pemi­lih TTS meng­h­adapi pemilu 2004, ketika itu.
Sesungguhnya, Lebu Raya pu­nya kans menggaet massa pen­­dukung Tallo. Karena dia sem­pat jadi “penyelamat” bagi Tallo untuk kembali memimpin NTT kedua kali, setelah Golkar meninggalkan Tallo. Sekalipun, ketika itu, Tallo juga punya kans di Fraksi Gabungan untuk berpa­sangan dengan Simon Hayon, toh tidak semulus jika lewati pintu PDIP. Tapi, itu lima tahun lalu.
Langkah politik PDIP setelah duduk di puncak kekuasaan justru acapkali balik “menggebuk” Tallo. Lihat saja, kasus Sarkes yang di­kerjakan “orang-orang dekat” pu­sar kekuasaan PDIP justru bikin Ta­llo harus berurusan dengan po­lisi. Lebih parah lagi, gempuran po­litisi PDIP atas proyek pemba­ngunan gedung Bank NTT yang me­mojokkan sejumlah “orang de­kat” Tallo. Pun, disinyalir kalau ‘rumor mening­galnya Piet Tallo’ senga­ja ditiup­kan untuk melanggengkan langkah Lebu Raya mengambil alih kekuasaan dari tangan Tallo.
“Dulu merengek-rengek minta gandeng Piet Tallo. Se­telah masuk, malah balik menikam dari bela­kang,” ujar salah seorang tokoh yang dikenal dekat dengan Piet Tallo, mengomentari sikap pentolan PDIP.
Di titik inilah, Lebu Raya ber­ada di ujung tanduk. Apalagi, Le­bu Raya telah “membuang” Piet Dja­mi Rebo yang sempat ber­pe­rang dengan Tallo dalam kasus mu­tasi Ir. Andre Ratu Kore ke Ba­ppeda NTT dari Kasubdin Cipta Ka­rya, dan merangkul Eston Foe­nay. Terbuangnya Djami Rebo ten­­tu saja membuka jalan mulus bagi GAUL di daratan Sumba. Ka­rena selain kelahiran Sumba, Yu­lius Bobo juga kader PDIP yang sem­pat jadi anggota fraksi PDIP DPR-RI dan calon bupati Sumba Barat dari PDIP. Sehingga harapan terbesar FREN adalah mendulang suara Kota dan Kabupaten Ku­pang serta TTS, yang selama ini dipadati massa pendukung Tallo. Sayang­nya, Eston juga sempat menantang Tallo pada Pilgub lima tahun silam. Artinya, pergantian figur tetap sa­ma sekali tak mam­pu menjinakan hu­bungan politik dengan kubu pendukung Tallo. Sing­katnya, kecil peluang Tallo mengalirkan arus po­litiknya ke ku­bu FREN. Lalu, kemana akan dia­rah­kan?
Munculnya nama Ina Tallo da­lam bursa bakal cawagub me­micu spekulasi baru. Bisa jadi, ini sebagai pilihan alter­na­tif jika Me­­dah dan Mell Adoe sa­ma-sa­ma tersandung. Tapi, bila Me­dah atau Mell yang lolos, ma­ka arena per­ta­rungan akan be­nar-be­nar sengit. Lawan tanding ter­hebat mereka adalah ga­bung­an par­tai: entah Gaspar Ehok, Be­nny Har­man atau Benny Bosu. Atau, mungkin juga Laiskodat yang di­kabarkan memiliki tim sukses yang sudah cukup mera­ta di se­mua kabupaten se-NTT. Karena, Laiskodat memang agak royal belanja pemben­tukan ja­ring­an. “Kita hitung biaya jaring­an saja itu Rp 15 miliar itu sampai ke tingkat desa. Kita belum hitung ongkos bantuan kepada ma­sya­rakat,” ucap Arif Rahman.
Sekalipun pernah berhadap-hadapan, Laiskodat dan Tallo saat ini sama-sama bernaung di ba­wah beriringin. Artinya, bila Lais­kodat lolos dari Golkar dan Ina Tallo tak jadi dipinang Bosu, boleh jadi, tak akan ada arus po­litik yang dialirkan Tallo. Tapi, bu­kan tidak mungkin pula kalau arus politik Tallo meng­alir kepada Laiskodat jika putra Pulau Semau itu mam­pu lentur. Bisa juga, du­kungan Tallo bisa mengalir ke Gas­­par Ehok yang per­nah mem­bantu Tallo jadi Ka­dis maupun Asisten Setda.
Tapi, bukan tidak mungkin pu­la kalau Tallo akhirnya men­su­port Alfred Kase yang berpa­sa­ng­an dengan Benny Harman. Jika ini sampai terjadi, maka per­ta­rungan bakal sungguh-sung­guh se­­ru. Karena tanpa dukungan Ta­llo pun, Kase tentu akan mam­pu membelah suara TTS. Jika Benny mampu mendulang suara di ka­wasan Flores, jalan ke pusar ke­kua­saan akan mulus.
Nah, kita nantikan saja, babak akhir pertarungan perebutan pin­tu masuk arena Pilkada Gubernur 2008. Dari situ akan bisa terbaca jelas, kemana arah arus politik Tallo akan mengalir, sekalipun ki­ni ia sedang menderita sakit. n fredy wahon