Rabu, 26 Desember 2007

PERNYATAAN SIKAP IKALAYA SOAL TAMBANG LEMBATA

PERNYATAAN SIKAP
IKATAN KELUARGA LEMBATA YOGYAKARTA (IKALAYA)
“LEMBATA MASA LALU, MASA KINI DAN MASA AKAN DATANG”


A. LATAR BELAKANG
Ikatan Keluarga Lembata Yogyakarta (IKALAYA), merupakan bagian yang tak dapat dipisahakan dari masyarakat Lembata secara keseluruhan. Menyadari sebagai putra-putri Lembata kami terpanggil untuk tidak bersikap diam dan berpangku tangan saja tetapi kami perlu merespon dan mengambil sikap tegas terhadap fenomena yang terjadi di Lewo Tanah tercinta. Sikap tegas kami ini benar-benar lahir dari nurani yang tulus dan tidak terkontaminasi dengan berbagai kepentingan, sebaliknya sebagai wujud kepedulian kami generasi muda terhadap fenomena yang telah terjadi.
Untuk menindaklanjuti pernyataan sikap IKALAYA yang pertama tertanggal 5 September 2007, dimana niat baik dari kami tidak direspon oleh pihak PEMDA LEMBATA maka kami kembali memberikan pernyataan tegas dan menjelaskan kepada PEMDA Lembata sikap kami sesungguhnya. Adalah salah apabila kami Cuma diam dan berpangku tangan menyaksikan fenomena yang terjadi. Tetapi kami terus mencari data dan informasi terkait rencana pertambangan yang terjadi di Lembata. Dari hasil informasi dan data yang kami terima, kami menemukan bahwa rencana pertambangan yang terjadi di Lembata tidak mendapat dukungan dari sebagian besar masyarakat Lembata, malah melahirkan konflik baik yang bersifat vertikal maupun horisontal. Melalui diskusi panjang dan melelahkan yang dilakukan berkali-kali, kami akhirnya melalui forum kerjasama IKALAYA dengan :
ü International centre for development of right,
ü Pusat studi hak asasi manusia dan demokrasi universitas atmajaya Yogyakarta
ü Fransiscan’s office justice, peace and integrity of creation
ü Forum Mahasiswa NTT Yogyakarta
mengadakan sarasehan yang berlangsung pada tanggal 13 November 2007 bertemakan,”Pengaruh pertambangan emas terhadap kehidupan masyarakat Lembata.” Guna mengkaji data-data yang sudah kami peroleh dari hasil sarasehan tersebut, kami tindaklanjuti lagi dengan pertemuan IKALAYA, tanggal 18 November 2007, bertempat di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, yang melahirkan kata sepakat yang kami tuangkan dalam pernyataan ini.
Tambang merupakan suatu anugerah yang diberikan Sang Pencipta yang patut disyukuri. Rasa syukur ini, harus direalisasikan dalam bentuk dan cara yang bisa diterima semua pihak. Tak dapat dipungkiri bahwa pengalaman pertambangan hampir diseluruh belahan dunia, yang selalu mengedepankan iming-iming kesejaterahan masyarakat pada umumnya secara khusus daerah pertambangan, tampak jauh dari harapan dan kenyataan. Kini masyarakat Lembata dihadapkan pada kenyataan akan pertambangan emas, yang telah menimbulkan respon pro dan kontra diberbagai lapisan masyarakat. Dalam kenyataannya hingga detik ini persoalan pro dan kontra semakin mencuat dan memanas yang belum mengudang respon penyelesaian terhadap persoalan ini.
Pihak pro yang dalam hal ini PEMDA Kabupaten Lembata dan pendukungnya, terus merapatkan barisan dan memperjuangkan agar proses pertambangan emas Lembata harus terjadi. Di sisi lain realitas empirik menunjukan mayoritas masyarakat Lembata, khususnya masyarakat Kedang dan Leragere yang menjadi daerah obyek pertambangan dengan tegas menolak rencana pertambangan emas Lembata. Ironis memang, ditengah arus penolakan yang begitu besar dan bertubi-tubi, akan tetapi PEMDA Lembata tetap memaksakan kehendak untuk mewujutkan rencana pertambangan emas tersebut.
Sampai pada situasi dan kondisi saat ini apa yang harus diperbuat? Semua orang dan semua pihak telah terkotak dalam bingkai pengkotakan antara pro dan kontra. Lalu kemanakah simpul penyelesaian konflik pro dan kontra yang seharusnya dilakukan, guna mengantisipasi keadaan yang semakin terpuruk?

B. RUMUSAN MASALAH
“Apakah Pertambangan Emas, Mensejahterahkan Masyarakat Lembata”?

C. PEMBAHASAN

Kami mengkritisi fenomena pertambangan emas Lembata, yang kami bingkaikan dalam tiga cara pandang yakni :

1. Masa lalu

Masa lalu adalah guru terbaik dalam hidup, dan keliru kalau kita tidak belajar dari padanya. Pengalaman masa lalu perihal pertambangan di Kabupaten Lembata diantaranya : Pertambangan Batu Barit di Atanila Kecamatan Omesuri, yang masuk dalam jenis tambang golongan B,tidak meninggalkan suatu kesejahteraan tetapi membawa derita dimana tidak adanya proses reklamasi yang jelas untuk menangani keadaan yang telah tercemar oleh aktifitas tersebut. Pertambangan Gas Alam di Watuwawer Kecamatan Atadei yang masuk dalam jenis tambang golongan A, dimana melalui survey menyatakan apabila dikelola untuk dijadikan pembangkit listrik tenaga gas, maka akan mengairi seluruh NTT bahkan sampai dengan pulau dewata Bali, serta pertambangan Batu dan Pasir di Waikomo Kecamatan Nubatukan, yang masuk dalam jenis tambang golongan C, yang mana membawa dampak pelebaran terhadap sungai waikomo serta mambawa dampak terhadap rusaknya sarana dan prasarana yang menghubungkan beberapa kecamatan, setidaknya memberikan kita pelajaran berharga yang patut kita jadikan cerminan untuk segala bentuk kegiatan pertambangan di Kabupaten Lembata, bukan hanya sekedar cerita klasik yang diwariskan dari generasi-kegenerasi bahwa disana, dipulau Lembata, diwaktu lampau ada kisah tentang pertambangan, tapi tidak memberikan kesejaterahan bagi masyarakat Lembata, malah sebaliknya penderitaan yang menjadi buah dari pertambangan tersebut. Iming-iming pertambangan masa lalu di Kabupaten Lembata adalah sama dengan iming-iming yang lagi marak disuarakan oleh PEMDA Lembata yakni “Demi Kesejaterahan Masyarakat Lembata”, yang tidak jauh berbeda dengan janji-janji para calon pemimpin dalam kampanye baik dalam pemilihan umum Legislatif maupun Eksekutif.
Dahulu hingga sekarang iming-iming kesejaterahan menjadi senjata pemungkas yang dapat menghibnotis masyarakat demi dan untuk sesuatu yang dalam kenyataan sulit untuk direalisasikan. Inilah salah satu proses pembodahan memanfaatkan kelemahan Sumber Daya Masyarakat (SDM), oleh karena itu masyarakat jangan terus dibodohi oleh janji-janji palsu yang dikedepankan.

2. Masa kini

Pertambangan merupakan keseluruhan proses yang dilakukan guna mengambil hasil kekayaan alam yang terkandung dalam perut bumi, dimana tambang / bahan galian yang terdapat didalam perut bumi tersebut merupakan anugerah terindah dari sang pencipta, yang tidak dapat ditolak oleh siapapun melainkan harus disyukuri dan dimanfaatkan dengan cara yang baik dan benar.
Namun dalam konteks persoalan di Lembata bukan masyarakat bersih keras menolak tambang yang nota bene merupakan anugerah terindah dari sang pencipta tetapi menolak kebijakan PEMDA Lembata mengenai pertambangan emas di Lembata, Penolakan oleh masyarakat terhadap kebijakan PEMDA Lembata disebabkan oleh beberapa faktor :
1. Tidak transparannya PEMDA Lembata dari proses awal hingga penandatangnan MoU dengan PT. Meruch Interprice, Cooper mengenai pertambangan emas di Kabupaten Lembata. Yang seharusnya diawali dengan proses sosialisasi terlebih dahulu kepada masyarakat, baru penandatangannan MoU. Dengan demikian yang dilakukan PEMDA Lembata adalah TERBALIK. Dan perlu diketahui bahwa apabila dikaji dari sisi hukum secara khusus mengenai hukum pertambangan perihal pengaturan soal Kontrak Kerja, sulit untuk dibatalkan apabila sudah ada kata sepakat yang dituangkan lewat penandatanganan kontrak kerja antara kedua belah pihak.
2. Yang disosialisakan PEMDA Lembata setelah penandatanganan MoU pun, materi-materi yang lebih bersifat positif dengan iming-iming kesejaterahan masyarakat tanpa mensosialisakan dampak negative apabila pertambangan itu terjadi, disamping itu isi yang diatur dalam MoU seperti apapun tidak disosialisasikan dan tidak dipublikasikan sehingga menambah kecurigaan masyarakat terhadap rencana tersebut. Kelihatan PEMDA Lembata lupa akan pengalaman pertambangan yang pernah dilaksanakan dihari kemarin.
3. Inisiatif PEMDA Lembata untuk mensejaterahkan masyarakat lewat usaha pertambangan emas ternyata melahirkan PRO dan KONTRA dalam masyarakat. Ironisnya PEMDA Lembata Mendiskriminasikan Masyarakatnya sendiri, dimana ketika kelompok Pro melakukan aksi demo malah diterima oleh PEMDA, sebaliknya apabila kelompok Kontra melkukan aksi demo ternyata diabaikan dan terkesan tidak dikenal
4. Tidak bijaksananya PEMDA Lembata dalam menyikapi persoalan yang terjadi, sehingga terjadi pengkotakan baik yang bersifat vertical maupun horizontal yang berdampak pada konflik berdarah. Ketika ada aksi penolakan dari masyarakat malah PEMDA Lembata semakin ngotot agar pertambangan emas di Lembata harus terjadi, dengan mengirim ahli-ahli pertambangan asli Lembata guna melakukan study bangding ke BUYAT-Minahasa. PROFICIAT buat para AHLI, jebolan UNIVERSITI jagung titi dan Merungge.
5. Keputusan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang baru disahkan, menujukkan kata sepakat untuk berpihak dan mendukung kebijakan Pertambangan Emas Lembata merupakan keputusan yang tidak TERPUJI dan telah MEMPERKOSA iklim demokrasi, yang bertendensi memanfaatkan dan menghalalkan segala cara termasuk gesekan SARA untuk mencapai tujuan. Ironiskan, disaat masyarakat melakukan aksi penolakan kebijakan tersebut mala wakil-wakil rakyat yang terhormat mendukung kebijakan tersebut. Idealnya wakil rakyat yang terhormat membela rakyatnya dan atau sebagai lembaga formal yang hadir sebagai “pahlawan” dalam menyelesaikan konflik yang lagi hangat terjadi antara rakyatnya dan pemerintah daerah.
6. Tidak bijaksana pula masyarakat Lembata yang melihat persoalan ini merupakan persoalan sekelompok kecamatan yang menjadi obyek dari rencana pertambangan tersebut, tanpa disadari keuntungan yang dihasilkan dari pertambangan tersebut merupakan keuntungan bersama yang tertuang dalam kesejahteraan masyarakat Lembata secara umum, serta dampak yang akan dihasilkan oleh pertambangan tersebut juga tidak hanya dirasakan oleh masyarakat disekitar lokasi pertambangan melainkan membawa dampak kerusakan lingkungan yang luas, tidak hanya di sekitar pulau Lembata melainkan juga wilayah NTT pada umumnya, karena kita tahu bahwa lautlah yang menghubungkan relasi antar pulau sehingga apabila limba dibungan kelaut maka celakalah kita. Oleh karena itu, marilah kita melihat persoalan ini sebagai persoalan kita bersama. PERLU DINGAT bahwa kami generasi muda asal Lembata sedang DIAJARKAN dan DIWARISKAN sikap yang tidak terpuji oleh masyarakat kami sendiri yang nota bene, juga bagian dari keluarga kami dan kerabat kenalan kami, yakni SIKAP APATISME yang mengedepankan SIKAP PRIMODIAL yang sangat tinggi.
7. Pegawai negeri sipil (PNS) Kabupaten Lembata secara keseluruhan menunjukan sikap loyalitas terhadap kebijakan pemimpin sebagai cermin pola penyelenggaraan pemerintahan yang bersifat “Top-Down”. Yang walaupun secara pribadi hati nurani mereka menunjukan sikap penolakan terhadap kebijakan tersebut. Sikap diamlah yang mereka kedepankan, sambil melontarkan bahasa pembelaan diri bahwa berada dalam system. Patut kita mengerti bahwa satu-satunya lapangan pekerjaan yang paling dominan dan diminati hampir sebagian besar masyarakat Lembata adalah menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Ironis memang kita menginjak-injak sesuatu yang memiliki nilai kebenaran dan keadilan yang keluar dari nurani kita, tetapi tidak membakar semangat kita untuk memperjuangkannya. Kita menjadi orang yang pasif, dengan terus mempertahankan posisi kita dengan menunjukan sikap loyalitas pada kebijakan pimpinan yang tidak humanis.

3. Masa Depan

Beranjak dari persoalan masa lalu dan saat ini, yang diulas singkat diatas dan apabila tidak direspon bijak dalam rangka penyelesaian konflik baik yang bersifat vertical (antara masyarakat dan PEMDA Lembata), maupun horizontal (antara masyarakat yang PRO dan yang KONTRA) maka akan berakibat akan terjadinya hal-hal sebagai berikut :
1. Terjadi tirani antara PEMDA Lembata yang di Beck up oleh militer apabila dipaksakan untuk terjadi pertambangan, serta antara masyarakat yang PRO dan masyarakat yang KONTRA. Karena realitas empirik menunjukan bahwa aksi penolakan dari masyrakat yang tolak kebijakan pertambangan emas Lembata, wujud konkretnya tidak hanya dalam bentuk demonstrasi beleka tetapi dengan penyatuan ritual adat masing-masing desa yang masyaraktnya dengan berani dan tegas menujukan sikap penolakan. Tak dapat kita pungkiri bahwa NTT pada umumnya dan Lembata pada khususnya hingga detik ini masih menjunjung tinggi segala bentuk ritual adat dalam konteks apapun.
2. Secara psikis dapat mempengarui kehidupan sosial –budaya yang seharusnya terjadi, karena setiap saat masyarakat hanya berpikir tentang pertambangan dimana, dan kapanpun. Sebagai salah satu contoh konkrit dalam acara sarasehan yang dilaksanakan pada tanggal 13 November 2007, ada pangakuan dari seorang perawat yang pernah bekerja di Dinas Kesehatan Kabupaten Lembata dan lagi melanjutkan study di Yokyakarta menuturkan bahwa ketika Ia bersama tim medis melakukan penyuluhan kesehatan di salah satu desa yang berada di Kecaatan Lebatukan, merasa terganggu dan tidak efektif karena masyarakat lebih aktual merespon isu dan kasus pertambangan dari pada moment yang pada waktu itu dilaksanakan.
3. Kecamba terjadinya konflik SARA (suku, ras dan agama). Kita tahu bahwa masyarakat Lembata yang memiliki sifat heterogen yang mengedepankan sikap primodial yang sangat menojol ditengah arus Sumber Daya Manusia (SDM) yang masih dibawah standar, yang amat rentan apabila diprofokasi oleh pihak-pihak yang tidak bermoral, memanfaatkan situasi dan kondisi yang sedang terjadi. Perlu disadari bersama bahwa ini masalah Pertambangan bukan masalah SARA.
4. Menghambat proses pembangunan disektor lain karena semua terfokus pada masalah pertambangan yang lagi hangat terjadi. Diakibatkan karena manajemen birokrasi Kabupaten Lembata yang sangat Loyal pada pemimpinnya dan masih dominan pola penyelenggaraan pemerintahan yang bersifat “TOP-DOWN” (dari atas ke bawah) dari pada “BOTTON-UP” (dari bawah ke atas). Sebagai salah contoh dalam kasus Pertambangan ini.
5. Melahirkan mosi tidak percaya dan krisis kepercayaan pada PEMDA yang berimplikasi pada aksi penurunan BUPATI dan WAKIL BUPATI. Persoalan pertambangan berahli jadi persoalan politik. Perlu di ingat bahwa Soeharto yang berkuasa 32 tahun, dapat dilengserkan dengan muda oleh masyarakatnya sendiri. Dulu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang Memilih, sekarang masyarakat yang memilih.
6. Keputusan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Lembata yang menyetujui kebijakan PEMDA Lembata perihal pertambangan emas Lembata, tersirat adanya KOLUSI yang dilakukan antara PEMDA Lembata dan DPRD Lembata yang telah BERKOMPIRASI untuk menetang aspirasi rakyat. Hal inilah yang melahirkan kebencian masyarakat yang berujung pada mosi tidak percaya dan krisis kepercayaan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Lembata. Perlu diingat bahwa Kedaulatan Tertingi Berada Pada Tangan Masyarakat, oleh karena itu amat sangat berbahaya ketika rakyat MURKA. Segala sesuatu yang tidak pernah direncanakan dan dibayangkan bisa saja dengan muda terjadi. Adalah menarik untuk direnungkan syair pepata klasik yang berujar, “VOX POPULI VOX DEI”, yang artinya “SUARA RAKYAT ADALAH SUARA TUHAN”. Ingat itu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang Terhormat bahwa anda sampai dikursi empuk dan menyandang gelar yang terhormat karena andil dan pilihan rakyatmu, jangan lupa dan jangan sia-siakan itu. Kepercayaan rakyat padamu hanya diberi untuk sekali, bisa untuk lebih dari sekali apabila Bapak-bapak yang terhormat bisa lebih rendah hati dan menjunjung tinggi kemauan rakyatmu. Cuma itu yang dipintah darimu wahai Dewan yang TERHORMAT. Cintailah Rakyatmu jika anda orang yang punya hati dan moral Ketimbang Cinta Akan Kenikmatan Sesaat, sebab Itu DOSA.

D. KESIMPULAN

Berdasarkan paparan pernyataan yang diulas dari atas serta kajian dari sisi masa lalu, masa kini, dan masa depan, dengan satu kata sepakat dari kami, Ikatan Kelurga Lembata Yogyakarta (IKALAYA), maka dari nurani yang tulus, dan dengan tegas kami menyampaikan beberapa hal sebagai berikut :
1. Kami Ikatan Keluaraga Lembata Yogyakarta (IKALAYA), dengan berbagai pertimbangan masa lalu perihal pertambangan yang tidak mensejahterakan masyarakat Lembata maka, kami “MENOLAK” kebijakan pertambangan yang telah dibuat PEMDA Lembata dan telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Lembata, dengan membatalkan MoU yang telah disepakati mersam pihak PT.Meruck Interprice, Cooper.
2. Kami Ikatan Keluarga Lembata Yogyakarta (IKALAYA), “MENOLAK” Kebijakan PEMDA sungguh sangat tidak POPULIS di mata masyarakat sehingga mendapat protes keras dari masyarakat. Untuk itu PEMDA perlu melakukan Re_Thinking terhadap kebijakan tersebut agar dapat mengembalikan rasa kepercayaan rakyat kepada PEMDA.
3. Kami Ikatan Keluaraga Lembata Yogyakarta (IKALAYA), “MENGHENDAKI” agar konflik yang terjadi segera untuk diselesaikan dan mengembalikan keadaan seperti keadaan sebelumnya. Keadaan dimana masyarakat hidup dengan tenang, damai berdampingan satu dengan yang lainnya dalam nuansa persaudaraan dan kekeluargaan.
4. Kami Ikatan Keluaraga Lembata Yogyakarta (IKALAYA), “DENGAN TEGAS MENGATAKAN” Bahwa Bupati Lembata sama sekali tidak mau mendengarkan aspirasi masyarakat dan tidak punya nilai kebijakan public yang berpihak kepada hak-hak dasar rakyat. Bupati telah menunjukan perilakunya yang otoriter sejati dalam pengambilan keputusan. Maka pantas dan layak diberikan PIAGAM PENGHARGAAN kepada bupati Lembata sebagai seorang Bupati yang memiliki karakter suka memaksakan kehendak. Apabila Bupati Lembata Tidak menggubris point SATU dan DUA dari kesimpulan ini, maka kami akan melanjutka pernyataan serta sikap tegas kami untuk berpihak kepada kepentingan serta aspirasi masyarakat Lembata.
5. Kami Ikatan Keluaraga Lembata Yogyakarta (IKALAYA), “DENGAN KERAS MENGECAM DAN MENGUTUK” keptusan Dewan Perwakilan Rakyat Lembata yang tidak Populis dan Humanis, dengan berpihak dan mendukung kebijakan PEMDA Lembata. Adalah lebih baik seorang “PELACUR” yang menjual diri untuk kepentingan dirinya ketimbang DPRD Lembata yang menjual “RAKYATNYA” untuk kepentingan diri dan golongannya.
6. Kami Ikatan Keluaraga Lembata Yogyakarta (IKALAYA), “TIDAK SIMPATI” pada sikap apatisme yang ditunjukan masyarakat diluar KEDANG dan LERAGERE yang mengambil sikap diam juga sebagai penonton menyaksikan adegan penolakan masyarakat terhadap kebijakan PEMDA Lembata. Kalau mengharapkan Lembata kedepannya bisa maju seperti yang diimpikan bersama maka sikap apatisme yang mengedepankan sikap primodial yang sangat tinggi harus kita singkirkan dari bumi penyelesaian konflik dan pembangunan Lembata saat ini dan kedepannya.
7. Kami Ikatan Keluaraga Lembata Yogyakarta (IKALAYA), “SANGAT-SANGATLAH MENYAYANGKAN” sikap pengecut yang ditunjukan oleh Pegawai Negeri Sipil yang bekerja di Kabupatan Lembata, yang rata-rata memiliki Sumber Daya Manusia (SDM) diatas standar. Dahulu semasa muda memiliki idealisme yang melangit dan sekarang menunjukan sikap loyalitas yang sedalam dasar lautan, kendatipun mereka tahu bahwa bertentangan dengan hati nurani mereka. Intinya asal BABE senang kata orang Betawi. Abis kamikan berada dalam system jadi mau tidak mau harus begitu, setuju tidak setuju, baik tidak baik kami harus mendukung biar posisi kami aman. Itulah bahasa pembelaan diri yang sering dilontarkan oleh hampir semua PNS yang berada di Kabupaten Lembata.

E. SARAN

Ada rupa-rupa pernyataan yang sering digunakan manusia. Ada yang mengatakan “Nasi Sudah Menjadi Bubur”, ada juga yang mengatakan “Penyesalan Selalu Datang Terlambat Setelah Semuanya Terjadi”, Ada pula yang mengatakan “Lebih Cepat, Lebih Baik”, dan masih banyak lagi pernyataan yang sering kita jumpahi dalam kehidupan kita yang paling tidak memiliki subtansi dan makna yang sama. Kami Ikatan Keluarga Lembata Yogyakarta (IKALAYA), mengamini semua pernyataan diatas dalam rangka penyelesaian konflik yang terjadi di Bumi Lembata. Oleh karena itu, sebelum semuanya terlambat dalam nada dan irama penyelesaian konflik kami menyarankan beberapa hal sebagai buah dalam bentuk solusi yang kami paparkan dibawah ini:
1. Kami, Ikatan Keluarga Lembata Yokyakarta (IKALAYA), menyarankan kepada masyarakat Lembata untuk Cool in-down (Mendinginkan Situasi), dan kepada PEMDA, LSM serta masyarakat baik yang pro maupun yang kontra untuk menghentikan segala bentuk kegiatan yang berkaitan dengan pertambangan.
2. Kami, Ikatan Keluarga Lembata Yogyakarta (IKALAYA), menyarankan Kepada PEMDA dan LSM – LSM terkait dengan Lingkungan SEGERA Menghentikan segala Aktivitasnya yang berhubungan dengan Proses pertambangan dalam bentuk dan cara apapun. Dan dalam situsi Cool In-Down PEMDA SEGERA Melakukan dialog terbuka dengan seluruh masyarkat Lembata untuk menyelesaikan persoalan ini tanpa melibatkan PT. Merukh Enterprice untuk mengembalikan rasa kepercayaan masyarakat kepada Pemda. Hal ini HARUS SEGERA dilakukan oleh Pemda untuk mencegah hal – hal yang tidak diinginkan kita bersama,
3. Apabila point 2 diatas tidak dapat direalisasikan maka kami Ikatan Keluarga Lembata Yogyakarta menganjurkan beberapa jalan penyelesaian diantaranya:
Ø Mengharapkan agar para pimpinan tertinggi masing-masing agama, yang sudah tercerai-berai para bawahannya dengan menunjukan sikap PRO dan KONTRA terhadap konflik yang terjadi, untuk bersatu, membangun kekuatan sebagai pihak yang diandalkan untuk memediasi penyelesaian konfik secara damai di Kabupaten Lembata, sebab Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Lembata sudah tidak dapat diharapkan lagi. Kita tahu bersama bahwa suara para petinggi masing-masing agama, dihadapan rakyat Lembata yang beragama maupun tak beragama sangat-sangat didengarkan. Oleh karena itu dari pihak pimpinan agama tidaklah cukup hanya sekedar menghimbau dan menghimbau tetapi menunjukan ketegasan dalam bingkai penyelesaian konflik yang sedang terjadi karena situasi dan kondisinya kian hari memanas.
Ø Mengandaikan pihak agamapun tak mampu hadir untuk menyelesaikan konflik secara damai maka menggunakan pihak ketiga yang dianggap bijak dan bersikap netral yang masih merupakan satu-kesatuan yang tak dapat dipisahkan dalam hirarki pemerintahan Negara Indonesia. Oleh karena itu, dalam konteks Negara kesatuan Republik Indonesia yang bersifat sentralistik maka yang paling pas hadir sebagai pihak ketiga adalah PEMDA Propinsi yakni PEMDA Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Karena dilihat dari sisi wilayah, Kabupaten Lembata merupakan salah satu bagian dari propinsi NTT dan atau Pemerintah Pusat.
Ø Jika point satu dan dua dalam anjuran diatas tidak dapat menyelesaikan konflik di Kabupaten Lembata maka, menghadirkan pihak lain diluar wilayah territorial Negara Rapublik Indonesia baik itu Negara, Organisasi Internasional dan atau Lembaga-lembaga yang bergerak khusus dalam penyelesaian sengketa, yang dianggap bisa dan kompeten menjembatani proses penyelesaian konflik di Kabupaten Lembata.



F. PENUTUP
Menurut Gay Hendricks dan Kate Lubeman dalam bukunya The Corporate Mystic, Pemimpin yang sukses selalu menerima umpan balik atau kritik yang jujur, meskipun kritik itu “Pedas, Kasar dan Merendahkan”. Pemimpin harus menerimanya dan bila perlu mengucapkan terima kasih.
Rahasia sukses seorang pemimpin adalah ”KOMUNIKASI”. Hal yang paling sulit dirasakan banyak orang dalam berkomunikasi , selain mendengar aktif, adalah mendapatkan dan memberikan umpan balik yang JUJUR. Pada hal itu merupakan sesuatu yang paling berharga. Lebih dari itu, pemimpin yang Agung tidak saja menerima umpan balik yang tidak mengenakan, tetapi juga “KEMATIAN” yang bisa dipakai sebagai umpan balik yang berdampak luar biasa. Pemimpin Agung adalah Pemimpin yang sangat mencintai dan dicintai oleh orang yang dipimpinnya. Meskipun demikian, pemimpin tersebut siap menerima umpan balik demi KEMATIAN DIA, bahkan siap menerima balasan dari orang-orang yang pernai dilukai, dan hal itu merupakan salah satu rahasia sukses pemimpin agung.
Oleh karena itu, apa yang diperbuat harus dapat dipertanggung jawabkan kepada ALLAH sebagai pertanggung jawaban seorang Pemimpin.


Yogyakarta, 06 Desember 2007
Disahkan Oleh :

A. Sesepuh IKALAYA
1. Johanes M. Kedang :…………………………….
2. H. Nasrullah Krisnam :…………………………….
3. Yoseph Yappi Taum :…………………………….
4. Antonius L. Tukan :…………………………….


B. PENGURUS IKALAYA

KETUA IKALAYA

Florentinus V.D Blikololong

C. TEMBUSAN DISAMPAIKAN :
1. Dirjen Mineral, Batubara dan Panas Bumi.
2. Kementrian Energi dan Sumber daya Mineral
3. Komisi VII DPR RI
4. Pemerintah Propinsi D.I.Y
5. Dinas Pertambangan dan Energi (ESDM) Propinsi D.I.Y
6. DPRD D.I.Y
7. Pemerintah Propinsi Nusa Tenggara Timur
8. DPRD Nusa Tenggara Timur
9. DPRD Kabupaten Lembata
10. Keuskupan Larantuka
11. Deken Lembata
12. JPIC OFM Jakarta
13. JPIC OFM – SVD Ende
14. LSM yang berada di Lembata
15. Media Masa Lokal

3 komentar:

KULYUBI ISMANGUN mengatakan...

KEPADA KAUM MISKIN DESA :
REVOLUSI DAN PERJUANGAN KAUM BURUH KOTA

Banyak petani barangkali sudah mendengar tentang kegelisahan buruh di kota-kota. Di antara mereka ada yang telah ke ibukota-ibukota dan pabrik-pabrik serta melihat sendiri perusuhan-perusuhan itu, sebagaimana polisi menamakannya. Lian-lainnya tahu kaum buruh yang ambil bagian dalam kegelisahan-kegelisahan dan diusir ke pedesaan oleh yang berkuasa. Lainnya lagi berkesempatan memperoleh selebaran-selebaran yang dikeluarkan oleh kaum buruh, atau brosur-brosur tentang perjuangan kaum buruh. Yang lainnya lagi hanya mendengar ceritera-ceritera tentang apa yang sedang berlangsung di kota-kota dari orang yang telah kesana.

Dulu, hanya para mahasiswalah yang memberontak, tetapi sekarang ribuan dan puluhan ribu kaum buruh telah bangun di semua kota besar. Mereka kebanyakannya berjuang menentang majikan-majikan mereka, menentang pemilik-pemilik pabrik, menentang kaum kapitalis. Kaum buruh mengadakan pemogokan, semua buruh di satu pabrik berhenti bekerja dengan serentak dan menuntut jangan dipaksa bekerja sebelas atau sepuluh jam sehari, tetapi bekerja hanya delapan jam saja. Kaum buruh juga menuntut bermacam-macam peringana lain dalam kehidupan seorang buruh. Mereka menghendaki supaya bengkel-bengkel diperbaiki dan supaya mesin-mesin dilindungan dengan alat-alat yang khusus guna mencegah mesin-mesin itu membikin cacat kaum buruh; mereka menghendaki supaya anak-anak mereka dapat pergi ke sekolah, supaya yang sakit mendapat pertolongan yang selayaknya di rumahsakit-rumahsakit; mereka menghendaki supaya tempat tinggal kaum buruh itu menyerupai rumah manusia dan bukannya kandang anjing.

Polisi turun tangan dalam perjuangan kaum buruh. Polisi menangkap kaum buruh, menjebloskan mereka ke dalam penjara, membuang mereka tanpa pemeriksaan pengadilan kembali ke tempat kelahiran mereka, atau bahkan ke Siberia. Pemerintah telah menyatakan pemogokan-pemogokan serta rapat-rapat kaum buruh di luar uandang-undang. Tetapi kaum buruh terus melakukan perjuangan melawan polisi, maupun melawan pemerintah. Kaum buruh berkata: Cukuplah bagi kami, jutaan Rakyat pekerja, untuk membungkukkan punggung kami! Cukuplah bagi kami untuk bekerja demi keuntungan orang-orang kaya, sambil sendiri tetap tinggal sebagai orang-orang miskin! Cukuplah kami memperbolehkan mereka merampok kami! Kami hendak bersatu dalam perserikatan-perserikatan, mempersatukan semua kaum buruh dalam satu serikat kaum buruh (sebagai partai kaum buruh) yang besar dan bersama-sama memperjuangkan kehidupan yang lebih baik. Kami hendak mencapai suatu susunan masyarakat yang baru dan lebih baik: di dalam masyarakat yang baru dan lebih baik ini tidak boleh ada si kaya ataupun si miskin; semua orang harus ikut bekerja. Bukan golongan kecil orang-orang kaya, melainkan seluruh Rakyat pekerja harus menikmati hasil-hasil kerja bersama. Mesin-mesin serta penyempurnaan-penyempurnaan lain harus meringankan pekerjaan semua dan bukan memungkinkan beberapa gelintir orang menjadi kaya atas kerugian ber-juta-juta dan puluhan juta Rakyat. Masyarakat yang baru dan lebih baik ini dinamakan masyarakat sosialis. Ajaran tentang masyarakat yang lebih baik ini dinamakan Sosialisme. Serikat-serikat buruh yang memperjuangkan masyarakat yang lebih baik ini dinamakan partai-partai kaum Sosial-Demokrat. Partai-partai sedemikian itu berdiri secara terbuka hampir di semua negeri (kecuali Rusia dan Turki), dan kaum buruh kita, ber-sama-sama dengan kaum Sosialis dari kalangan orang-orang terpelajar, juga telah membentuk sebuag partai sedemikian itu: Partai Buruh Sosial-Demokrat Rusia.

Pemerintah mengejar-kejar Partai itu, tetapi ia berdiri secara rahasia, kendatipun segala larangan; ia menerbitkan suratkabar-suratkabar serta brosur-brosurnya dan mengorganisasi serikat-serikat rahasia. Dan kaum buruh tidak hanya berapat secara rahasia, mereka juga keluar ke jalan-jalan berbondong-bondong dan mengibarkan panji-panji mereka yang bertuliskan: -- “Hidup hari kerja delapan jam! Hidup kemerdekaan! Hidup Sosialisme!” Karena ini pemerintah mengeja-ngejar kaum buruh dengan keganasan. Bahkan ia mengirim pasukan-pasukan untuk menembaki kaum buruh. Serdadu-serdadu Rusia pernah membunuh kaum buruh Rusia di Yaroslawl dan Petersburg, di Riga, di Rostov, di Don, di Zlatoust [*1].

Tetapi kaum buruh tidak menyerah. Mereka harus berjuang. Mereka berkata: baik pengejaran maupun penjara, pembuangan, hukuman kerjapaksa, ataupun maut tak dapat menakut-nakuti kami. Urusan kami adalah urusan yang adil. Kami berjuang untuk kemerdekaan dan kebahagiaan semua yang bekerja. Kami berjuang untuk membebaskan puluhan dan ratusan juta Rakyat dari kekerasan, penindasan dan kemiskinan. Kaum buruh sedang kian menjadi sadar klas. Jumlah kaum Sosia-Demokrat sedang membesar dengan cepatnya di semua negeri. Kami akan menang kendatipun segala pengejaran.

Kaum miskin desa haruslah jelas mengerti siapa kaum Sosial-Demokrat ini, apa yang mereka kehendaki dan bagaimana orang harus bekerja di pedesaan guna membantu kaum Sosial-Demokrat mencapai kebahagiaan bagi Rakyat.

KULYUBI ISMANGUN mengatakan...

Kemiskinan, dan Arah Perjuangan Kaum Tani Indonesia

Di Amerika, kendati lahan pertaniannya sempit (karena telah bertransformasi menjadi pusat-pusat industri) namun produktifitasnya sanggup untuk di eksport keluar negeri ini. Selain, itu pemerinatah AS masih terus memberikan subsidi 82 Milyar US$ dalam sepuluh tahun. Ini adalah ironi, Pemerintah AS sendiri masih terus mensubsidi sektor pertaniannya yang notabene sudah memiliki kapasitas tehknologi modern. Disisi lain, AS bersama sekutunya negara-negara maju lewat forum WTO dan struktural Adjusmet (IMF) untuk memaksakan liberalisasi sektor pertanian dan pencabutan subsidi pertanian bagi negara miskin. Pemerintah AS, sungguh menyadari bahwa subsidi akan semakin meningkatkan kapasitas petaninya dalam hal produksi dan kesejahteraan. Tapi, watak keserakahan dan keinginan akumulasinya di paksakan terhadap petani-petani miskin di negara-negara berkembanga. Kenyataan inilah yang membuat seorang petani Korea Selatan Lee Kyung Hae tiba-tiba memanjat barikade polisi saat aksi menolak liberalisasi pertanian. Ia membentangkan spanduk bertuliskan “WTO membunuh para petani”. Petani Korea Selatan ini lalu menikam dadanya dengan sebilah pisau. Ini adalah merupakan bentuk protes petani Korea selatan atas sistem perdagangan global di bawah WTO yang bukan hanya memiskinkan petani tetapi seluruh rakyat negara dunia ketiga.



Seperti “Ayam yang mati di lumbung padi” seperti itulah kondisi yang dirasakan oleh petani Indonesia. Kendati Indonesia memiliki lahan pertanian yang amat luas dan subur ditambah sumber daya manusia yang merupakan sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja, namun, hingga hingga saat ini sektor pertanian tetap menjadi sektor paling tidak produktif. Tidak heran, semakin banyak masayarakat desa yang meninggalkan daerahnya menuju kota (ber-urbanisasi) atau menjadi tenaga kerja di luar negeri (TKI).



Problem Pokok Kaum Tani Indonesia

Untuk kasus Indonesia, sejarah hubungan-hubungan produksi didominasi penguasaan tanah kecil sepetak-petak dalam sistim masyarakat penyakap (tenancy) dan bukan feodalisme model Eropa atau Amerika, di mana tanah terkonsentrasi besar di kalangan baron pemilik hacienda/tuan tanah besar. Sepanjang sejarah perkembangan negeri mana pun, kepemilikan tanah dalam petak-petak kecil dalam alam kapitalisme selalu ditakdirkan untuk melenyap. Sehingga cara untuk memajukan pertanian tersebut hanya dengan Hukum perkembangan kapitalisme dalam pengertian memajukan tenaga produktif di pedesaan tidak lain adalah sentralisasi alat-alat produksi dan sosialisasi dalam hubungan kerjanya. Sehingga dalam melihat pijakan problem kaum tani ini, maka ukurannya adalah sejauh mana mobilisasi tenaga kerja dan anggaran untuk memajukan produktifitas pertanian. Bukan hanya berputar-putar pada persoalan redistribusi tanah, karena terbukti kepemilikan tanah tanpa produktifitas tidak akan merubah nasib kaum tani:



Berikut beberapa problem mendasar yang dialami oleh kaum tani di Indonesia; Pertama Kepemilikan lahan kecil sangat susah untuk memacu sehingga hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Tahun 1993-2003, rata-rata luas lahan pertanian turun dari 0,80 ha menjadi 0,72 ha. Di Jawa, rata-rata luas lahan pertanian turun dari 0,47 ha menjadi 0,38 ha. Akibatnya, jumlah petani gurem, yang menguasai lahan kurang dari 0,5 ha, meningkat 2,17 persen per tahun, jumlahnya 13,3 juta rumah tangga tahun 2003. Ini berarti bahwa lebih dari 55% rumah tangga pengguna lahan adalah kategori petani gurem. Penyempitan lahan pertanian selain karena penambahan jumlah rumah tangga tani juga karena industrialisasi dan konversi lahan. Celakanya, struktur petani di Indonesia didominasi oleh pemilik lahan sempit itu. Hasil penelitian Departemen Pertanian pada tahun 2000 menunjukkan bahwa 88 persen rumah tangga petani hanya menguasai lahan sawah kurang dari 0,5 ha. Dengan luas lahan ini, petani hanya mendapatkan keuntungan semusim berkisar antara Rp 325.000 hingga Rp 543.000, atau hanya Rp 81.250 hingga Rp 135.000 per bulan (Kompas, 21/5/2002). Jika setiap rumah tangga petani memiliki anggota keluarga lima orang, maka pendapatan per kapita komunitas petani hanya sekitar Rp 25.000 per bulan atau setara dengan Rp 300.000 per tahun (pendapatan ini bahkan lebih rendah dari tingkat upah minimum per bulan yang diterima oleh tenaga kerja di sektor formal).



Kedua rendah dibidang tekhnologi, membuat petani masih mengelolah pertanian dengan cara-cara konvensional yang sangat tidak efisiena, boros tenaga kerja, dan butuh waktu lama. Penyebab mahalnya tekhnologi pertanian adalah karena ketidakmanpuan pemerintah dalam menemukan dan menciptakan tekhnologi untuk pertanian. Sekolah-sekolah pertanian dan fakultas pertanian yang ada tidak dibekali karakter kerakyatan, sehingga kalaupun ada temuan tekhnologi mereka tidak segera dimassalkan tetapi malah di jual kepada korporasia. Mestinya, untuk meningkatkan produktifitas pertanian pemerintah membantu menfasilaitasi petani dengan pengadaan tehknologi murah. Caranya bisa dengan memberikan subsidi kepada petani agar sanggup beli, atau menurunkan bea-impor tekhnologi pertanian agar harganya lebih murah dan bisa dijangkau. Ketiga Tidak cukup modal bagi petani untuk mengembangkan pertaniannya. Pemerintah memang beberapa tahun menyediakan KUT kepada petani tetapi dilapangan KUT banyak di korupsi dan kalaupun sampai di tangan petani dikenai syarat-syarat pemimjaman yang berat, sehingga petani enggan menggunakan KUT. Mayoritas petani (85 persen) bergantung pada modal sendiri untuk membiayai pertaniannya. Hanya tiga persen mendapat kredit bank, dua persen kredit nonbank, dan 10 persen kredit lain. Padahal, modernisasi pertanian menuntut biaya lebih besar. Banyak kasus menunjukkan bahwa akibat kurangnya modal yang dimiliki kaum tani, memaksa mereka mensiasati dengan pengelolaan sederhana yang tentunya berpengaruh pada kualitas dan kuantitas. Misalnya tanaman padi mestinya di berikan pupuk tiga kali tetapi banyak petani karena keterbatasan modal hanya sekali dan dua kali. Kenaikan harga BBM telah memicu kenaikan bahan-bahan dan alat kebutuhan untuk pertanian, kurangnya modal membuat petani mikir untuk mengolah lahannya, sehingga banyak diantara mereka yang malah menjual lahannya.



Keempat Tidak adanya jaminan dari pemerintah dalam hal proteksi dan jaminan pasar. Liberalisasi impor beras telah memukul produksi petani dalam negeri, sehingga keuntungan yang mereka dapatkan hampir tidak ada. BPS mencata penuruan NTP (Nilai Tukar Petani) pada tahun 2006 hingga sebesar 15,55% yang disebabkan oleh kenaikan biaya produksi pertanian tidak diimbangi dengan jaminan harga di pasar. Salah satu pendorong dari liberalisasi perdagangan dunia adalah World Trade Organization (WTO), dimana Indonesia merupakan salah satu negara anggotanya. Dengan menjadi anggota WTO, Indonesia harus tunduk atas aturan di dalamnya, yang mengikat secara hukum (legally binding). Dalam konteks pertanian, negosiasi WTO tertuang dalam Agreement on Agriculture (AOA). Negara kaya sangat kuat mengendalikan AOA untuk kepentingan pasar mereka dan sesungguhnya yang terjadi adalah perdagangan yang tidak adil. Pemerintah Indonesia tidak berani mengambil resiko berhadapan dengan kepentingan negara maju dalam melinduangi dan membuka akses perdaganagan yang menguntunkan untuk produk pertanian.



Keenam lemahnya infrastktur lain seperti jalan raya, alat angkutan hasil pertanian, dan sistem pengairan. Lemahnya infrastuktur ini memaksa petani mengeluarkan biaya tinggi untuk memaksa hasil poduksinya laku dipasar. Selain itu, kelemahan infrastrktur seperti transfortasi yang menghubungkan produk pertanian dengan pasar membuka peluang bagi pedagang, penimbun, atau makelar untuk mematoka harga tinggi dan memainkan harga di kota. Padahal value yang di terima petani sungguh sangat kecil.



Ketujuh konflik agraria yang terus meningkat melibatkan petani Vs pengusaha, petani dengan mafia tanah, atau petani dengan pihak militer (seperti dalam kasus Alas Tlogo, Pasuruan). Gambaran tentang tidak diselesaikannya konflik agraria, diungkapkan oleh Herlambang Perdana dari LBH Surabaya. Dia mengungkapkan bahwa dalam kurun 2002 -2003 di Jawa Timur terjadi 26 kasus pertanahan yang tidak selesai. Kasus ini berkaitan dengan tanah perkebunan yang meliputi sekitar 7.923 hektare. Dalam kasus-kasus itu rakyat umumnya melakukan reclaiming atas tanah mereka yang dulu diambil secara paksa.Dalam konflik tersebut kekerasan secara fisik maupun psikis sering kali terjadi dan menimpa mereka yang terlibat konflik dan dalam posisi yang lemah. Herlambang menyebutkan juga bahwa konflik-konflik agraria yang terjadi di Jawa Timur juga banyak melibatkan anggota TNI (AU, AL dan AD). Keterlibatannya bisa sebagai pihak yang berkonflik dalam kasus sengketa tanah, atau karena digunakan oleh pemilik modal yang bersengketa dengan rakyat.Dia menyebutkan dalam 2002-2003 ada 25 kasus tanah yang melibatkan mereka. Sedangkan kasus sengketa tanah yang melibatkan pihak militer dan sampai sekarang dinilai belum selesai ada 12 kasus yang meliputi 12.577 hekto are tanah.



Situasi Ekonomi Nasional dan Kehidupan Kaum Tani.

Situasi ekonomi nasional saat ini di cirikan oleh kecenderungan kearah liberalisasi ekonomi yang sangat agressif. Hampir semua sektor ekonomi rakyat diserahkan dalam mekanisme perdagangan bebas yang begitu massif termasuk pertanian. Dominasi kepentingan imperialis dalam perekonomian Indonesia memaksakan penyerahan kedautalan atas kekayaan alam (tambang, mineral, hutan, hayati, perikanan, dan sebagainya) dalam kunkungan pemilik modal Internasional. Jika di telusuri dari proses sejarah, sejak jaman kolonialisme swasta mulai menjadikan pertanian sebagai lahan untuk menggandakan modalnya. Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan UU Agraria untuk mengundang modal-modal swasta berinvestasi. Swasta punya hak sewa tanah dengan hak erfpacht antara 25 dan maksimal 75 tahun. Kemudian ketika revolusi hijau di luncurkan oleh Orde Baru, banyak pihak yang menilai bahwa tindakan ini lebih banyak di tujukan untuk memuaskan monopoli penjualan pestisida dari negara maju dan menghancurkan kekayaan genetika negara berkembang, termasuk Indonesia. Banyak studi menunjukkan, penyeragaman benih (monokultur) padi varietas unggulan dan paket teknologi Revolusi Hijau telah menyebabkan erosi (baca: kepunahan) keanekaragaman hayati. Dimensi penting Revolusi Hijau adalah kontrol kaum imperialis dan kapitalis (negara maju) terhadap kekayaan genetika Dunia Ketiga. Caranya, dengan mengganti kekayaan genetika negara maju –yang dikembangkan lewat 12 pusat riset pertanian yang seluruhnya dibiayai oleh Consultative Group on International Agricultural Research (CGIAR)– yang diperoleh secara biopiracy (mencuri) dari negara-negara berkembang.



Masuknya Indonesia dalam perjanjian pertanian (AoA) WTO tahun 1995 dan tunduk dalam LoI IMF pada tahun 1997, telah membuat liberalisasi pertanian di Indonesia berlangsung secara radikal dan lebih cepat dari yang direncanakan. Liberalisasi sektor pertanian berarti menghilangkan fungsi negara yang seharusnya melindungi pertanian dalam negeri. Petani Indonesi yang di dominasi petani gurem, dengan kemanpuan tekhnologi rendah, dipaksa bertarung dengan petani negara maju yang masih terus menerus mendapat subsidi dari pemerintahnya. Kerangka dasar Agreement of Agriculture(AOA) sendiri, adalah pengurangan tarif bagi produk dari negara-negara maju, dan mengkonversi semua hambatan perdagangan bebas dengan tarif. Akibatnya, poduk-produk pertanian dengan harga murah dan di dukung tekhnologi membanjiri pasar dalam negeri, sekaligus genderang kematian bagi produk pertanian lokal.

Liberalisasi pertanian yang radikal tersebut setidaknya bisa dilihat dari tekanan IMF atas pemerintah Indonesia dalam hal : (1) pencabutan subsidi pupuk dan liberalisasi tata niaga pupuk yang sebelumnya dikendalikan PUSRI. Hal ini dilakukan dengan tanpa kompensasi apapun bagi petani, yang mengakibatkan melonjaknya harga pupuk dari Rp.450/kg menjadi Rp. 1.115/kg. Hal tersebut berakibat pada peningkatan biaya produksi petani menjadi 2 kali lipat. (2) Pemerintah melikuidasi peran BULOG, sebagai instrumen untuk menjaga stok pangan dan perlindungan petani dengan membuka peran swasta secara luas untuk mengimpor beras. Pemerintah juga menghapuskan pemberian kredit likuiditas Bank Indonesia bagi Bulog untuk membeli gabah petani. (3) Yang paling fatal adalah mematok tarif impor pangan pada angka 5 %, untuk beras sebagai makanan pokok bahkan sampai 0 % pada bulan September 1999. Seiring dengan dibukanya swasta untuk mengimpor beras maka beras impor membanjiri pasaran beras domestik, dan memenuhi gudang gudang importir beras. (4) Sejak tahun 2001, pemerintah menghapuskan skema kredit murah untuk petani dan digantikan dengan kredit komersial dengan nama Kredit Ketahanan Pangan (KKP). Akibatnya penyerapan petani terhadap kredit menjadi rendah, sehingga petani tidak bisa menutupi melonjaknya biaya produksi. (sumber; Neoliberalisme, Indonesia dan Kaum Tani).

demo-tani.jpgdemo-tani.jpgdemo-tani.jpg

Pertemuan WTO di cancun telah menumbuhkan pengelompokan antara kepentingan negara maju (AS dan Uni-Eropa) dan kelompok negara G-33 yang di dalamnya termasuk Indonesia dan kelompok G-20. Posisi Indonesia sebagai pemimpin kelompok G-33 adalah memperjuangkan Spesial Product (SP) dan Special Safeguard Mechanism (SSM). Isu SP adalah negosiasi untuk produk produk tertentu negeri berkembang yang diminta mendapat fleksibilitas dan pengecualian dalam perdagangan internasional, karena menyangkut persoalan ketahanan pangan, pembangunan pedesaan dan pengentasan kemiskinan. Sementara itu, SSM adalah untuk meminta negara berkembang boleh menerapkan aturan aturan perbatasan, secara temporer atas impor pangan tertentu, bila menghadapi jatuhnya harga secara tiba tiba dan derasnya arus impor. Sedangkan posisi negara maju adalah menuntuk akses pasar yang luas dan terbuka. Akhirnya pertemuan mengalami titik kebuntuan, dan pembahasan soal ini di lanjutkan dalam pertemuan KTM Hongkong.

Lahirnya Perpress 36/tahun 2005 dan berbagai paket kebijakan UU lainnya yang memudahkan akses swasta (baca;MNC dan TNC) seperti UU Sumber Daya Air, RUU Minerba, dan terakhir UU Penanaman Modal, menyiratkan begitu leluasanya kepentingan asing mengeruk dan mengambil alih sumber daya kita. UU penanaman modal sekarang lebih terbuka dan lebih welcome dibanding dengan UU PMA tahun 1967. Dari substansi UU ini kelihatan sangat memberikan keleluasaan bagi pemodal asing seperti kemudahan berbagai bentuk pajak, pembebasan lahan, kemudahan repatriasi, bebas memindahkan modalnya kapan dan dimanapun, hingga bebas dari tindakan nasionalisasi. Sementara biaya sosial/konsekuensi politis dari penanaman modal selama ini, diantaranya ribuan konflik lahan, pelanggaran HAM, perusakan lingkungan dan pemiskinan, tidak sedikitpun menjadi rujukan penyusunan UU PM oleh pemerintah. Liberalisasi ekonomi semakin sempurna dengan adanya payung hukum bagi tindakan kekerasan dan militerisme, ini membuktikan bahwa sebenarnya neoliberalisme adalah anti demokrasi. Penolakan untuk pembebasan lahan, untuk kepentingan modal akan dianggap anti pembangunan dan dengan segera melegitimasi pendekatan kekerasan dengan alasan Undang-undang.



Program Kita dan Lapangan Perjuangan Politik Kaum Tani Indonesia

Dalam kerangka perjuangan tani Indonesia keluar dari penindasananya maka tidak cukup hanya berbicara pada tuntutan sektoralnya, apalagi hanya berkutak pada persoalan Land-reform seperti yang banyak diangkat gerakan dan LSM berbasis tani. Menjawab problema struktur agraria kita yang “kurus kering” ini tidak bisa semata-mata dengan redistribusi tanah, melainkan mendorong maju lemahnya perkembangan tenaga produktif (force of production) di sektor pertanian/pedesaan. Sehingga dalam kerangka ini maka program perjuangan tani sekarang harus mengkombinasikan program sektoral tani dan program tuntutan untuk jalan keluar situasi ekonomi –politik yang kuasai Imperialisme.

Maka bagi kami tuntutan kaum tani adalah:

(1). Tanah, Modal, dan Tekhnologi murah-modern bagi kaum tani. Pemerintah harus menyelesaikan semua konflik agraria yang ada, dan dengan segera memobilisasi tanah-tanah yang selama ini dirampas oleh negara ataupun perusahaan perkebunan untuk di kembalikan kepada petani. Rencana pemerintah untuk membagikan tanah seluas 8 juta hektar lebih dalam Program Pembaharuan Agraria Nasional (PPAN) atau Landreform Plus harus di konkretkan dan di luaskan skalanya dengan keterlibatan dan kontrol organisasi dan dewan-dewan tani. Untuk persoalan modal, pemerintah harus memobilisasi anggaran(subsidi) untuk sektor pertanian termasuk memberikan jaminan kemudahan bagi petani mendapat kredit di Bank dengan resiko ringan. Untuk massifnya pembangunan perekonomian di desa-desa maka dalam jangka panjang pemerintah menyiapkan bank pedesaan yang akan memberikan bantuan kredit khusus bagi petani dan perempuan di desa untuk mengembangkan usahanya. Tekhnologi murah dan modern untuk pertanian terutama traktor, alat-alat dan obat-obatan yang dapat menunjang kelancaran proses produksi (alat penyemprot hama, pestisida, pupuk, dll) ; alat-alat penunjang lainnya, seperti Alat pengering (Oven) untuk mengeringkan hasil produksi, misal : beras, jagung, kedelai, kacang, dll, yang selama ini petani hanya dapat mengandalkan panasnya matahari untuk dapat mengeringkan hasil produksinya, harus di fasilitasi oleh pemerintah.

(2) menghentikan liberalisasi impor pangan dan mengembalikan fungsi BULOG sebagai lembaga yang mengontrol dan memastikan ketersediaan pangan nasional.

-Program perjuangan untuk Aliansi Kaum tani-Klas pekerja- dan Klas tertindas untuk Melawan Imperialisme!

(1). Penghapusan Hutang Luar negeri; Selama ini 30-40% anggaran APBN justru di porsikan untuk membayar utang luar negeri sedangkan subsidi untuk pertanian justru di cabut. Alasan defisit anggaran sudah tidak layak lagi dijadikan alasan pemerintah karena justru anggaran negara justru di pake untuk membayar utang luar negeri. Padahal sebagian besar dari komponen utang itu adalah utang najis warisan rejim Orde Baru. Selama ini utang luar negeri juga di jadikan jerat (Debt Trap) oleh negara-negara Imperialis untuk mengintervensi kebijakan ekonomi-politik di Indonesia.

(2). Nasionalisasi Industri Pertambangan; selama ini kekayaan alam kita yang sangat besar di sektor tambang justru mengalir kekantong MNC karena Kontrak Production Sharing yang tidak adil. Negara sama sekali tidak memperoleh keuntungan dari sektor tambang, demikian pula dengan tidak ada manfaat yang dirasakan warga di sekitarnya. Padahal sektor pertambangan menyediakan potensi anggaran yang sangat besar untuk pembiayaan modernisasi pertanian. Menurut catatan Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), sejak 1991 hingga tahun 2002, PT Freeport memproduksi total 6.6 juta ton tembaga, 706 ton emas, dan 1.3 juta ton perak. Dari sumber data yang sama, produksi emas, tembaga, dan perak Freeport selama 11 tahun setara dengan 8 milyar US$. Sementara perhitungan kasar produksi tembaga dan emas pada tahun 2004 dari lubang Grasberg setara dengan 1.5 milyar US$. Sebuah potensi dana yang sangat besar, tetapi sayang pemerintah indonesia tidak memperoleh sedikitpun dari industri pertambangan tersebut.

(3). Industrialisasi Nasional sebagai program untuk membangun industri nasional yang kokoh—menciptakan lapangan kerja yang massa bagi rakyat Indonesia, secara politik untuk menciptakan kemandirian nasional.

Pekerjaan di lapangan politik adalah menggalang kekuatan anti imperialis untuk perebutan kekuasan politik dari rejim yang pro-imperialisme dengan membangun aliansi klas pekerja-kaum tani dan rakyat tertindas. Kaum tani yang tertindas harus terlibat aktif dalam perjuangan anti imperialisme dengan membangun aliansi strategis dengan klas pekerja dan rakyat tertindas lainnya. Kaum tani harus menyadari bahwa musuh pokok kaum tani saat ini adalah imperialisme yang terus menerus menyingkirkan dan memiskinkan klas tani. Perkembangan kapitalisme sekarang ini semakin menutup ruang-ruang yang tersisa bagi perkembangan tenaga produktif pertanian, setelah negeri-negeri imperialis mampu mencukupi, bahkan mengalami surplus dalam produksi pangan dan komoditas pertanian lainnya. Rakyat dari negeri-negeri seperti Indonesia, termasuk kaum taninya hanya akan dijadikan pasar bagi produksi pangannya. Berharap pada kapitalis nasional sebagai sumber kapital (modal) dan motor perubahan untuk kemajuan teknologi adalah kemustahilan. Kapitalis nasional kita hanyalah embel-embel dari sistem imperialis dunia, sehingga basis dari kemajuan industri dan akumulasi kapitalnya sangatlah rapuh dan tak mampu mengalirkan modal ke sektor pertanian, yang dalam sistem ekonomi ultra liberal ini tidak menjanjikan keuntungan. Mengapa tidak menjanjikan? Jelas, sistem produksi pangan di negeri-negeri maju saat ini telah menghasilkan kelimpahan produksi, sehingga prioritas yang dicari sekarang adalah pasar, bukan ekspansi produksi.

Dari uraian problem politik jelas bahwa (1) Pemerintahan SBY-Kalla adalah boneka imperialisme di Indonesia. Kebijakan dan orientasi ekonomi politiknya adalah untuk melayani nafsu serakah imperialisme,dengan mengorbakan rakyat Indonesia khususnya kaum tani, pekerja, dan kaum miskin kota. (2) Partai-partai politik pengusung neoliberal dan partai-partai yang selama ini membuka jalan lebar-lebar bagi masuknya neoliberalisme untuk memasung kesejahteraan kaum tani. merekalah partai-partai besar, yang terus memuluskan kebijakan anti rakyat miskin dan menjegal partisipasi rakyat dalam politik dengan menyempitkan ruang demokrasi. PDIP dan Golkar merupakan refresentasi utama dua kekuatan parpol musuh rakyat sekarang yang jika di biarkan berkuasa malah akan memperpanjang penderitaan rakyat Indonesia. Jalan terbuka bagi rakyat untuk bisa sejahtera hanya dengan jalan menyingkirkan kekuatan-kekuatan musuh rakyat ini.

Kaum tani bersama gerakan rakyat yang lainnya harus membangun wadah persatuan yang di beri nama front persatuan nasional. Tujuannya adalah menghimpun semua kekauatan anti-imperialis terlibat dalam lapangan politik agar rakyat bisa berkuasa, rakyat bisa sejahtera. Momentum politik, termasuk momentum politik pemilu 2009 harus dimaanfaatkan, diolah dan dimaksimalkan oleh gerakan rakyat untuk memuluskan jalannya berkuasa.

PAPERNAS merupakan partai yang dibangun oleh organisasi-organisasi gerakan rakyat seperti serikat pekerja, organisasi mahasiswa, serikat tani, serikat kaum miskin kota, pekerja seni, dan individu progressif. Papernas bisa menjadi sandaran politik, sekaligus alat politik alternatf kaum tani untuk memperjuangkan hak-haknya sekaligus untuk memenangkan ruang politik elektoral dalam pemilu 2009. karena jika kaum tani masih jauh dari kekuasaan, maka selamanya kaum tani akan miskin.***

pa-jong mengatakan...

selamt su jadi angg dprd,, cocok dan hebat kali abang ini bole juga ikut bertrung kalo saran saya abang maju bupati to modal sua kuat tu massa ok, lsm lokal ok luar ok, tomas ok toga ok smua su ok kan? bravo