Kamis, 13 Desember 2007

Tak Ada Gunanya Tambang di Lembata

Semarang - Pemangku adat Suku Amungtau yang berdiam di sekitar areal PT Freeport Indonesia (FI), Timika, Provinsi Papua, Diaz Gwijangge menegaskan, tidak ada gunanya mengijinkan sebuah perusahaan pertambangan beroperasi di Lembata, NTT karena pulau itu sangat kecil dan beresiko terhadap lingkungan hidup.
Diaz yang juga aktivis Lembaga Studi Advokasi dan Hak-hak Asasi Manusia (ELSHAM) Papua diminta tanggapannya terkait rencana PT Merukh Lembata Coopers (MLC), kelompok usaha Merukh Enterprise, melakukan kegiatan pertambangan di Lembata yang disetujui Bupati Andreas Duli Manuk dan DPRD Lembata namun ditolak keras masyarakat dan beberapa elemen, termasuk para pastor se-Dekanat Lembata.
“Kita lihat saja Papua. Pulau itu secara geografis sangat luas tetapi setelah PT Freeport Indonesia (PT FI) beroperasi sekian puluh tahun, limbahnya membuat tumbuhan rusak dan masyarakat sekitar areal pertambangan justru pindah dari tempat tinggal mereka,” ujar Diaz Gwijangge kepada FLORES POS di Hotel Patra Semarang, Jawa Tengah belum lama ini.
Kenyataan ini, ujar Diaz, sangat merugikan masyarakat sehingga ia menyarankan agar jika ada perusahaan yang berencana melakukan pertambangan di Lembata sebaiknya masyarakat adat atau komponen-komponen yang ada di sana menolak. Ini sangat penting karena jangan sampai Pulau Lembata menjadi Freeport kedua.
“Saya ini salah satu korban kekerasan ketika Freeport hadir di wilayah kami. Selama ini kami sudah berusaha mengadakan advokasi tetapi perusahaan begitu kuat karena bermain mata dengan pemerintah. Perusahaan menggunakan uang untuk membeli semua kekuatan sehingga perjuangan kami selama ini tak pernah digubris dan perusahaan beroperasi terus. Saya ingatkan agar jangan sampai hal ini dialami lagi oleh masyarakat Lembata,” tegas sarjana Antropologi jebolan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisip) Universitas Cendrawasi (Uncen) ini mengingatkan.
Diaz Gwijangge adalah salah satu korban yang ditabrak hingga cacat kakinya karena dianggap sebagai tokoh yang menentang PTFI dan pemerintah setempat. Ia menceritakan, banyak sanak familinya meninggal karena berjuang mempertahankan hak ulayat. Mereka malah dituding terlibat dalam gerakan separatis padahal ingin mempertahankan tanah ulayatnya.
Ia mengingatkan, DPRD Lembata mestinya bicara untuk menyuarakan penolakan masyarakat terhadap rencana perusahaan pertambangan beroperasi di Lembata. DPRD semestinya menyampaikan aspirasi penolakan masyarakat kepada perusahaan pertambangan yang berniat menanamkan investasinya di sana (Lembata).
“Di alam demokrasi saat ini, penghargaan terhadap hak-hak masyarakat lokal menjadi sangat penting. Hal itu juga menjadi salah satu bentuk penghormatan terhadap prinsip-prinsip kemanusiaan universal. Jangan membuat sebuah kebijakan investasi tanpa persetujuan pemangku ulayat dan masyarakat. Ini sangat berbahaya,” tegas Diaz.
Pemerintah Kabupaten Lembata dan masyarakat perlu banyak belajar dari sejarah kelam kehadiran perusahaan pertambangan di Papua. Kehadiran sebuah perusahaan pertambangan tak hanya mengambil emas, perak, tembaga, dan lain-lain tetapi masyarakat akan terancam mempertahankan hak-hak ulayatnya karena pendekatan represif menjadi sangat dominan.
“Saya pikir pengalaman perusahaan pertambangan di Papua dapat dijadikan cermin bagi Pemkab dan masyarakat Lembata dan di manapun di Indonesia ini. Masyarakat Lembata yang hidup dari bertani dan nelayan justru akan kehilangan mata pencahariannya. Mereka juga akan tercerabut dari akar budayanya dan menjadi orang asing di kampung sendiri. Ini tentu sangat menyakitkan,” ujarnya.Janji Perusahaan
Sementara itu, pemangku ulayat lainnya di Timika Melkianus Kiwang mengingatkan agar masyarakat Lembata mewaspadahi janji-janji manis yang diumbar oleh perusahaan pertambangan. Ini penting karena jika sudah beberapa tahun beroperasi dan mengeruk banyak keuntungan dari tanah ulayat masyarakat maka masyarakat akan ditinggalkan dan tetap hidup dalam balutan kemiskinan.
“Tanah kami yang begitu luas, saat ini tak bisa kami harapkan lagi untuk menjadi sumber kehidupan. Nah, bagaimana jika hal itu terjadi di Pulau Lembata? Lambat laun masyarakat akan habis jika mengijinkan perusahaan tambang beroperasi di wilayah itu,” tandas Kiwang yang juga Wakil Ketua I Sinode Gereja Papua.
Ia menegaskan, masyarakat tentu tidak akan bertahan hidup di mana pun jika dipindahkan secara paksa oleh karena hadirnya sebuah perusahaan pertambangan. Masyarakat sudah hidup menyatu dengan alam dan lingkungannya walaupun dalam kesederhanaan. Namun, itu merupakan bagian kehidupan mereka.
“Ya, hari ini perusahaan menjanjikan banyak hal hanya karena ingin mengeruk emas dan kandungan lainnya. Tetapi, setelah itu masyarakat akan diusir secara paksa. Ini pengalaman kami sebagai pemangku ulayat di areal Freeport. Sampai saat ini kami merasa bahwa hak ulayat kami diambil namun kami tidak pernah diperhatikan. Dulu kami banyak dijanjikan tetapi sampai dengan hari ini kami tidak pernah dapat apa-apa. Kalau masyarakat Lembata masih memikirkan bahwa mereka punya generasi berikut maka sebaiknya menolak tegas kehadiran perusahaan pertambangan,” ujarnya.
Ansel Deri
Sumber: harian FLORES POS edisi 11 Desember 2007

Tidak ada komentar: