Rabu, 01 Desember 2010

Membuka Perang Terbuka Antar-Mitra

fince bataona
Oleh Fince Bataona
Rabu, 16 September 2009 | 10:44 WIB
Perubahan Lembata bukan sekadar diukur bupatinya saat ini, Drs. Andreas Duli Manuk, dari wartawan yang dulunya berjalan kaki dan kini bersepeda motor, bahkan bermobil (Aktualita, 34/Thn IV). Miris, memang!

Upaya Menunda Pelantikan
Mari  kita runut hiruk ketika hari H pelantikan tinggal menunggu jam. Undangan pelantikan DPRD 2009-2014, tanggal 1 September sudah  disebar, ketika ada informasi pembatalan yang diikuti tidak dilakukannya gladi bersih tanggal 31 Agustus 2009, sore hari. Bahkan sudah ada surat pembatalan pelantikan yang diberikan kepada anggota DPRD yang lama dan 'ragu-ragu' dibagikan kepada anggota DPRD yang baru, yang tentunya sudah siap lahir batin untuk dilantik.
Adakah keengganan meninggalkan kursi Dewan karena sebuah kepentingan? Hanya mereka yang berusaha menunda pelantikan yang tahu jawabannya. Yang bisa diketahui adalah akibat dari tarik ulur kepentingan pribadi dan kelompok inilah yang mengorbankan 'tak digelarnya' gladi bersih, bahkan nyaris mengacaukan  situasi Kota Lewoleba yang damai jelang pelantikan.
Hanya sekitar satu jam sebelum waktu menunjukkan hari berganti ke tanggal 1 September, ketukan palu Ketua DPRD, Drs. Pieter Boliona Keraf, memastikan digelarnya Rapat Paripurna Pemberhentian DPRD Lembata Periode 2004-2009 dan Pelantikan DPRD Lembata Periode 2009-2014 tetap dilangsungkan 1 September 2009.
Namun tak semulus yang seharusnya terjadi. Hari pelantikan pun menyimpan kesan seolah-olah Rapat Paripurna Pemberhentian DPRD 2004-2009 dan Pelantikan DPRD Lembata 2009-2014 hanya sebuah acara arisan yang tidaklah penting. Sesuai undangan, Rapat Paripurna  digelar pukul 09.00 Wita.  Ruangan sidang yang tidak ber-AC karena AC rusak, sudah dipenuhi undangan sejak pukul 07.30 Wita. Ini lantaran harus dilakukan gladi bersih sesaat sebelum pelantikan karena sehari sebelumnya batal dilaksanakan.
Detik, menit dan jam terus berlalu, gladi bersih juga sudah usai dilakukan, namun rapat paripurna tak juga dibuka. Suara-suara kesal sudah mulai memenuhi ruangan sidang. Di luar gedung DPRD, bahkan sempat terjadi ketegangan karena ada orang-orang yang mempertanyakan mengapa Erni Manuk, salah satu anggota DPRD terpilih -- Erni merupakan salah satu tersangka karena diduga sebagai otak pembunuhan Yohakim Langoday --  tidak dilantik.
Siapa yang ditunggu? Pertanyaan itu baru terjawab ketika akhirnya Wakil Bupati Lembata, Drs. Andreas Nula Liliweri, tiba di gedung Dewan dan Rapat Paripurna Pemberhentian DPRD 2004-2009 dan pelantikan DPRD 2009-2014 mulai dibuka, sekitar pukul 11.00 Wita.
Adalah Alwi Murin, salah seorang anggota DPRD lama yang terpilih kembali menginterupsi pimpinan dan mempertanyakan ketidakhadiran bupati, dan diperoleh jawaban bupati sakit. Sekedar diketahui, malam sebelumnya, bupati hadir dalam Paripurna Penandatanganan Perda tentang APBD Perubahan 2009.

Tidak Salah
Apakah sebagai ayah, Bupati Manuk mungkin tak kuasa menyaksikan pelantikan Dewan tanpa anaknya, Erni Manuk, yang kini mendekam di tahanan? Ataukah Bupati Manuk memang benar-benar sakit? Toh, tidak ada aturan hukum yang memaksa bupati harus hadir pada hajatan penting lima tahun ke depan.
Tapi, apakah masyarakat Lembata marah dan kecewa karena ketidakhadiran bupati sama halnya dengan menyepelekan soal etika dalam sebuah kemitraan, menyepelekan wakil mereka. Itu hak masyarakat untuk menyatakan perasaannya.  Maka, tak salah juga kalau siapa pun masyarakat Lembata membaca ketidakhadiran bupati sebagai awal yang buruk dalam hubungan kemitraan pemerintah dan DPRD, sebagai awal ditabuhnya 'perang terbuka' antar mitra di tanah Lembata.
Sebab dalam tugasnya mengontrol jalannya roda pemerintahan, DPRD yang baru dilantik tentu saja tidak menutup mata, telinga dan hatinya terhadap sejumlah proyek bermasalah dan ditengarai berindikasi korupsi yang terjadi di Lembata.  DPRD tentu saja butuh pertanggungjawaban pemerintahan di bawah kendali Bupati Drs. Andreas Duli Manuk, terhadap berbagai soal KKN yang sudah menjadi rahasia umum di masyarakat.
Sebut saja yang paling menghebohkan saat ini adalah keterkaitan pembunuhan Yohakim Langoday dengan proyek rumput laut yang anggarannya dari Departemen Kelautan dan Perikanan RI. Juga, kasus pabrik es yang merugikan negara ratusan juta rupiah.
Penunjukan langsung (PL) dalam proyek tersebut telah menyalahi aturan Keppres 80 tahun 2003. Bagaimana persekongkokolan pemerintah dan kontraktor tak bisa disembunyikan dari mata hati masyarakat Lembata. Apalagi ada temuan yang mengungkapkan adanya mark up harga yang nilainya mengejutkan!
Itu baru pada satu kasus yang secara kebetulan terkait dengan pembunuhan Langoday. Kasus-kasus PL lainnya beraroma KKN tanpa malu-malu kerap dipertontonkan penguasa di Lembata.
Sempat pula diributkan  adanya indikasi penyimpangan APBD tahun 2004 yang nilainya puluhan miliaran rupiah.
Tentu saja, itu kasus besar yang butuh sebuah kekuatan besar untuk mampu mengungkap, mendorong terus menerus dan mengawal hingga tuntas penyelesaiannya. Namun yang paling sederhana, tanyakan pada masyarakat di wilayah Selatan Lembata misalnya, atau di Ile Ape dan Kedang, apakah sudah menikmati jalan yang memadai, listrik dan air yang cukup? Mengapa pembangunan Lembata sepertinya jalan di tempat?(*)

Tidak ada komentar: