Rabu, 01 Desember 2010

Nelayan Lamalera dan Ikan Paus

Kamis, 2 Desember 2010 | 01:00 WIB 
KISAH tentang nelayan Lamalera berburu ikan paus sudah melegenda. Menjadi magnet bagi orang luar untuk datang mengunjungi tanah Lomblen. Banyak orang dari luar yang ingin menyaksikan sendiri bagaimana para nelayan dengan peralatan tradisional berburu ikan paus di laut lepas. Bagaimana sampai ikan paus yang lebih besar lima sampai 10 kali dari perahu nelayan itu takluk  di tangan para nelayan, menjadi daya tarik luar biasa, selain rangkauan seremoni adat sebelum dan sesudah perburuan paus.
Meski tak pernah dilegitimasi secara eksplisit dalam kemasan paket wisata budaya, misalnya, namun pemerintah dan masyarakat Lembata pada umumnya sudah banyak menikmati manfaatnya, langsung maupun tidak langsung dari tradisi orang Lamalera itu. Sebab berburu ikan paus sudah menjadi ikon bagi Lembata.
Penangkapan ikan paus oleh nelayan Lamalera, seperti dikatakan Charles Beraf (Pos Kupang 5 Maret 2009),  bukan sekadar aktivitas konsumtif. Tak sekadar cari nafkah di laut seperti nelayan pada umumnya. Penangkapan ikan paus adalah aktivitas kultural, sosial dan (bahkan) religius masyarakat Lamalera; suatu hal yang jarang dijumpai di belahan dunia mana pun.
Tradisi ini sudah berlangsung turun temurun. Dari beberapa literatur tertulis bahwa nenek moyang orang Lamalera berasal dari Sulawesi Selatan. Dari tuturan adat diketahui bahwa kepindahan nenek moyang orang Lamalera ke Lembata itu pada masa Kerajaan Majapahit di bawah Raja Hayam Wuruk.
"Seba olak lau léfa harri lollo  dai épitka, dai marangka  apé tafa géré  raé motti Lango Fujjo  raé morri Nara Gua Tana.  Feffa bélàkà Bapa Raja Hayam Wuruk  pasa-pasa pekka lefuk lau Luwuk  yang kurang lebih berarti: Kucari nafkah di tengah laut  kembali ke pantai  merapat ke pinggir,  tampak nyala api di tempat Lango Fujjo - nama lain dari Lamalera, di sana, di Gubuk Nara Gua Tana. Dan demi Kehendak Bapa Raja Hayam Wuruk  terpaksa kutinggalkan desaku di Luwuk sana. (Charles Beraf, Pos Kupang 5 Maret 2009)
Syair adat itu salah satu bukti bahwa laut memang menjadi "kebun" orang Lamalera sejak dulu. Tradisi berburu ikan paus sudah menjadi warisan yang harus dipertahankan oleh orang Lamalera.
Maka itu saat mendengar rencana rencana penetapan Laut Sawu sebagai kawasan konservasi nasional, masyarakat Lembata, khususnya warga Lamalera sudah dilanda kekhawatiran. Mereka takut tak bisa lagi berburu ikan paus dengan leluasa.
Hari Minggu, 1 Maret 2009, usai misa hari Minggu, sekitar 2.000 warga Lamalera A dan Lamalera B menggelar pertemuan di Namang Blikololong Desa Lamalera untuk membahas apa sikap mereka terhadap rencana pemerintah itu. Kekhawatiran para nelayan tradisional itu setelah mereka mendengar bahwa rencana penetapan Laut Sawu sebagai kawasan konservasi nasional itu menjadi salah satu agenda World Ocean Conference and Coral Triangle Initiative Summit di Manado, Sulawesi Utara, Mei 2009
Kini, Laut Sawu sudah jadi kawasan konservasi nasional. Dan sekitar 120 utusan warga Lamalera kembali mendatangi kantor DPRD Lembata, Senin (29/11/2010), untuk menyatakan sikap dan kekhawatiran yang sama. Kepada utusan warga Lamalera itu, pimpinan dan anggota DPRD Lembata menyampaikan bahwa tradisi berburu paus tetap bisa dilakukan sampai pesisir Pulau Pantar (Pos Kupang, Rabu 1 Desember 2010).
Kenyataan ini membuktikan bahwa sosialisasi mengenai penetapan Laut Sawu sebagai kawasan konservasi nasional belum dilakukan maksimal. Pemerintah Kabupaten Lembata sebagai yang "empunya" rakyat belum memberitahu atau menjelaskan kepada masyarakat Lamalera tentang penetapan kawasan konservasi nasional itu.
Kita harus sepakat bahwa Lamalera dengan tradisi uniknya itu harus dipertahankan sebagai aset. Di sini dibutuhkan peran pemerintah daerah untuk menjelaskan mengenai apa dan bagaimana manfaat dari penetapan kawasan konservasi nasional itu dan bagaimana nelayan Lamalera menyikapinya agar tradisi perburuan paus itu tetap lestari.
Para nelayan tradisional harus diberi pemahaman tentang perubahan dan kemajuan yang terjadi, termasuk beragam upaya pelestarian lingkungan yang saat ini sedang gencar-gencarnya dilakukan. Tak ada pilihan lain, selain dibutuhan kebijakan pemerintah daerah untuk menyiasati perubahan yang terjadi dengan beragam tata regulasi baru --yang bisa juga mengancam tatanan tradisional-- agar nilai-nilai lokal tetap lestari dan tidak selamanya harus dibenturkan dan kemudian menjadi korban dari kemajuan. Semoga. *

Tidak ada komentar: