Rabu, 29 Desember 2010

Demo (Lagi) Tolak Tambang: Potret “Pura-pura Tuli” Penguasa di Lembata


FINCE BATAONA
Oleh: Fince Bataona

LEWOLEBA  Rabu (24/11/2010). Hanya sekejap mendung. Sekejap saja. Lalu, terik lagi. Panas  tak terhingga.Tapi ribuan warga: tua, muda, anak-anak, perempuan, laki-laki,  dari delapan kampung di Kawasan Nobo Buto Leragere, kawasan pesisir Lebatukan Timur (Desa Dikesare, Tapobaran dan Tapolangu) dan Kedang di Kabupaten Lembata seolah tak perduli. Berjemur di panas, itu hal biasa, kata mereka. Sebab mereka memang lahir dan dibesarkan sebagai petani. Tahan panas pun dingin. Makanya, meski hampir dua jam lebih berjubel di halaman depan kantor DPRD Lembata,  lalu bergeser sekitar 200 meter ke kantor bupati Lembata dan terus bertahan hingga malam kelam menunggu kehadiran bupati (meski akhirnya tanpa alasan, bupati Manuk menolak menemui mereka), mereka tetap bersemangat meneriakan yel-yel: Tambang? Tolak! Tolak Tambang, Harga Mati! Tambang?Tolak! Tolak Tambang, Harga Mati!
Kita telusuri sejenak seperti apa pergerakan perjuangan  ribuan warga di kawasan Nobo Buto (enam desa: Lamadale, Lewoeleng, Ledotodokowa, Atakowa, Seranggorang, Balurebong), pesisir Lebatukan Timur (Desa Dikesare, Tapobaran dan Tapolangu) dan Kedang, untuk menolak yang namanya: tambang di Lembata. Sebab faktanya, demo warga yang tergabung dalam Barisan Rakyat Kedang Bersatu (Baraksatu), Forum Komunikasi Tambang Lembata (FKTL), Forum Komunikasi Masyarakat Antar Kawasan (FOKAL), Forum Komunikasi Masyarakat Pesisir (FORKOMDISIR) dan Komunikasi Keadilan Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan SVD, Rabu (24/11), bukan yang pertama kalinya dilakukan.
Sejak Agustus tahun 2006, begitu Bupati Drs Andreas Duli Manuk yang baru saja memenangkan pertarungan Pilkada Lembata mulai ‘main mata’ dengan investor pertambangan PT Merukh Enterprises untuk “mengebor” tanah Lembata yang kaya emas itu, tgl 12 Desember 2006, aksi penolakan itu mulai dilakukan. Warga amat resah, gelisah dengan kebijakan bupati untuk membuka lebar-lebar usaha pertambangan emas di wilayah Lembata. Ketika itu hanya warga Lamadale, satu dari enam desa di kawasan Nobo Buto Leragere yang melakukan aksi demo di kantor DPRD dan kantor bupati Lembata. Masih di bulan yang sama, warga Lewoeleng bersama Forum Komunikasi Masyarakat Antar Kawasan (FOKAL) melakukan aksi serupa: penolakan terhadap tambang emas di wilayahnya.
 Tahun berikutnya, Februari 2007, seluruh warga Leragere yang menghuni kawasan Nobo Buto lagi-lagi melakukan aksi penolakan dengan berdemo di dua tempat yang sama: gedung DPRD dan Kantor Bupati Lembata. Setidaknya tercatat dilakukan tiga kali aksi demo menolak tambang sepanjang tahun 2007. Pada aksinya di bulan Juni tgl 22 dan 23, mereka  bahkan menginap di halaman kantor tersebut dua hari lamanya. Tak ada tuntutan lainnya selain agar pemerintah menghargai hak atas tanah mereka sendiri dan menolak tambang di wilayahnya. Mirisnya lagi, permintaan mereka untuk bertemu langsung dan berbicara soal sikap mereka dengan bupatinya sendiri, Drs Andreas Duli Manuk, tak kesampaian. Seberapa banyak kali mereka berdemo di kantor bupati Lembata soal tambang, tak sekalipun bupati menemui warganya itu. Bupati ‘tak sudi’ bertemu.

Tahun 2008 hingga 2009, masyarakat memilih tidak lagi berdemo. Apalagi, ketika itu masyarakat sedang terkonsentrasi dengan urusan memilih para wakil rakyat. Namun gerakan perlawanan tetap dilakukan, misalnya penolakan masyarakat untuk tidak memilih figur-figur calon wakil rakyat yang pro tambang dan sebaliknya memilih figure wakilnya yang jelas menolak tambang---meski juga bukan tak mungkin banyak figure yang mengaku menolak tambang dan dipilih lalu mengkhianati suara masyarakat kawasan tambang. Gerakan perlawanan spontanitas juga dilakukan masyarakat terhadap   kehadiran pemerintah. Aksi penyanderaan pejabat dan mobil-mobil dinas pemerintah ketika melakukan kunjungan ke desa-desa dengan tujuan sosialisasi tambang, seolah menunjukkan betapa kuatnya mereka mau mempertahankan tanahnya dari ‘garukan tangan’ investor PT Merukh Enterprises. Secuilpun, mereka tidak rela.
Anehnya, meski terus ditolak, para penentu kebijakan di Lembata tak juga surut langkah, menutup pintu untuk Merukh. Terkesan pemerintah terus membiarkan PT Merukh Enterprises kian leluasa mengumbar janji adanya keuntungan berlipat-lipat, menjamin kesejahteraan masyarakat Lembata berlapis-lapis bahkan  mengaku sebagai orang yang diutus Tuhan untuk mensejahterakan masyarakat Lembata. Boleh jadi, tergiur dengan ke “wah” an yang ditawarkan PT Merukh Enterprises, diam-diam Bupati Manuk dan Ketua DPRD periode 2004-2009 ketika itu, menandatangani MOU dengan perusahaan pertambangan tersebut di Jakarta. Tak heran, jika akhirnya PT Merukh Enterprises ‘memberi jaminan’ Rp 1,7 Miliar ke pemerintah Kabupaten Lembata.
Ibarat ungkapan ‘anjing menggonggong, Kafilah berlalu’, ketika menyusun Rancangan  RTRW, pemerintah menunjukkan langkah berani dengan memasukkan tambang mineral sebagai kekayaan daerah yang bisa dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat Lembata. Perang babak baru pun mulai ditabuh di gedung Peten Ina, DPRD Lembata. Konsep RTRW itu dikembalikan DPRD Lembata ke pemerintah terkait dengan Peraturan Menteri PU Nomor 16/PRT/M/2009 tentang Pedoman Penyusunan RTRW. Ini terjadi sekitar bulan Mei 2010.
Pada masa sidang berikutnya, dilakukan konsultasi ke Ditjen Tata Ruang terkait pasal tambang. Oleh Ditjen diarahkan bahwa penetapan kawasan pertambangan adalah di lokasi yang sudah ada saat ini (existing). Sementara, terkait dengan Permen PU Nomor 41/PRT/M/ 2007 tentang kriteria penetapan budi daya, terdefinisi budi daya pertambangan yang sedang dan akan dilakukan pertambangan. Untuk pertambangan di Lembata, belum dilakukan eksplorasi sama sekali. Karena itu, mestinya, sesuai ketentuan PP No 15 tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang, ada tahapan-tahapan yang harus dilakukan dalam proses penetapan kawasan.  
Soal RTRW ini lalu dibawa ke Badan Legislatif DPRD Lembata. Dari Sembilan (9) data dasar yang diminta dari pemerintah, hanya dipenuhi tiga data dasar. Studi kelayakan dan dampak lingkungan, sebagaimana yang diatur dalam UU No 4 tahun 2010 tentang Pertambangan Mineral Batu Bara, juga belum (untuk tidak dibilang secara tegas: tidak) dilakukan Pemerintah Kabupaten Lembata.
Nah, ketika dibahas pada paripurna tgl 12 Nopember 2010, soal pertambangan ini akhirnya dipending dan dikembalikan ke pemerintah untuk diperbaiki dan ‘diwajibkan’ untuk melakukan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) sebagaimana diamanatkan oleh UU Nomor 32 tahun 2009 dalam penyusunan RTRW. Belum usai, kan soal tambang?
Gerakan perlawanan terhadap kebijakan tambang di Lembata, akhirnya harus dilakukan lagi Rabu kemarin. Pressure memang harus dilakukan. Sebab penguasa di Lembata nampaknya “pura-pura tuli” dengan reaksi penolakan masyarakat kawasan tambang sejak tahun 2006. Bayangkan! Di  gedung Peten Ina DPRD Lembata, pembahasan soal RTRW juga selalu menarik perhatian masyarakat untuk diketahui dan bukan rahasia lagi kalau nurani sebagian wakil rakyat—yang ketika kampanye berteriak menolak tambang kini seolah-olah ‘lupa’ dan ikut-ikutan ‘pura-pura tuli’?
Panjang dan terlihat melelahkan, mengikuti ‘kisah perjuangan’ petani kecil dari kawasan tambang ini. Banyak yang empati dan peduli terhadap perjuangan mereka. Bahkan tak segan turun langsung di lapangan demo. Banyak pula yang dengan caranya sendiri berjuang bersama mereka. Tak cukupkah itu membuka mata hati dan telinga penguasa di Lembata untuk mengerti bahwa rakyat memang menolak tambang di wilayahnya.
Coba tengok sejenak, realita ini. Ini musim hujan, musim berkebun. Musim sibuk-sibuknya mereka (petani kecil di kawasan tambang) saat ini. Kalau tanahnya tak diusik, mestinya Rabu kemarin dan hari-hari sebelumnya, juga nanti selama musim hujan ini, mereka tengah sibuk membersihkan rumput yang mulai mengganggu tanaman jagung dan bukannya harus menghabiskan waktu di kantor bupati dan gedung DPRD Lembata untuk meneriakkan hal yang sama sejak empat tahun lalu: Tambang? Tolak! Tolak Tambang, Harga Mati! ***

Tidak ada komentar: