Sabtu, 11 Desember 2010

TAMBANG: TINDAKAN BUNUH DIRI DAN PEMUSNAHAN MANUSIA


"Bapa, kami masih ada. Korban mangaan sudah banyak. Tidak hanya ibu hamil tetapi juga anak-anak. Generasi muda Belu punya potensi untuk sekolah. Tolong kami dikirim untuk sekolah agar potensi kekayaan Belu biarlah kami yang kelola untuk kami, bukan dikelola oleh orang luar dan hasilnya dinikmati orang luar. Kami diperbudak dan tidak menikmati kekayaan kami". Pernyataan ini keluar dari mulut Nellytania Fransisca Kun, Mahasiswa Akper Belu dalam sesi dialog Seminar Nasional Ekologi dan Demokrasi yang digelar Sekolah Demokrasi Belu di Atambua (10/7) lalu.
Tak ada yang menyangka, forum diskusi sekejab hening, ketika mahasiswi tingkat akhir Akademi Perawat Atambua ini mengungkapkan temuannya dalam pertanyaan yang diajukan kepada para narasumber. Ia menggugat kinerja pemerintahan tentang persoalan tambang dan perusakan lingungan di Kabupaten Belu. Nampaknya, Nely sangat tahu tentang dampak mangaan terhadap kesehatan masyarakat. Ia menemukan itu, pada saat praktek di lapangan dan merawat masyarakat yang sakit akibat tambang mangaan.
"Dampak eksplorasi mangaan terhadap kesehatan ada dua tahap, yaitu pertama; jangka pendek ekplorasi mangaan telah menimbulkan korban jiwa akibat reruntuhan yang menimpa warga saat melakukan penggalian mangaan. Jangka panjang, mangaan menimbulkan berbagai penyakit karena mengandung gas dan zat kimia yang sangat berbahaya bagi kesehatan manusia, lanjut nely menjelaskan.
Tak sampai disitu. Nelly menilai kebijakan pemberian ijin untuk melakukan tambang mangaan di wilayah Belu belum tepat. Mestinya, pada tahap eksplorasi, dilakukan dulu penyelidikan, studi kelayakan untuk mengetahui potensi kandungan mineral logam mangaan yang dimiliki, baru kemudian melakukan eksploitasi. Investor tidak boleh diizinkan untuk lakukan eksploitasi agar kekayaan Belu dapat dikelola dan dinikmati oleh orang Belu sendiri, terutama untuk kami generasi muda.
Kenyataan yang disaksikan Nelly ada benarnya. Pendiri Komunitas Indonessiauntuk Demokrasi (KID), Kresnayana Yahya, MA, searah dengan Nelly tentang dampak tambang. Ia mengatakan, dampak tambang terhadap manusia dan lingkungan terjadi dalam setiap tahapan tambang. Pada tahapan eksploitasi dan ektrasi saja efek terhadap perusakan lingungan, kesehatan kerja dan bahaya kesehatan masyarakat, penimbunan/buangan limbah, perusakan pemandangan dan suhu menjadi sangat panas. Tahapan pengolahan akan memiliki dampak yang lebih luas. Diantaranya; terjadinya limbah padat, radioktif, pencemaran air, udara dan tanah.
Bukan cuma itu, tambang juga merusakan tatanan sosial masyarakat adat. Herman Joseph Seran, MA sosiolog Undana Kupang, dalam pandangan sosio-antropolog mengatakan, filsuf-filsuf Timor memandang aneka pohon dan tanaman adalah rambut bumi (mukgubul nor - bahasa Tetun) sedangka batu-batuan yang ada di perut bumi timor adalah akar dari bumi ini. Membuat tanaman dan pepohonan serta mengeksploitasi batu-batuan adalah tindakan konyol yang berakibat pada kerusakan lingkungan hidup yang sangat parah yang dapat mengancam eksistensi orang Timor secara keseluruhan. Bukan cuma masyarakat Belu. Kerusakan di Belu, TTS, TTU, dan Kupang, imbasnya untuk Timor keseluruhan.
Pater Yakobus Soro Loe, SVD yang kini berada di Asian Social Institute-Central Manila-Philippines pun senada. Baginya, ekologi menyangkut keutuhan alam Timor yang telah dirusakkan dan diobrak-abrik oleh pengusaha di TTU dan TTS karena Marmer yang tidak hanya merusak lingkungan tapi seluruh kehidupan manusia. Tidak saja itu, ia menilai, pengekploitasian mangaan yang berujung pada pengrusakan lingkungan alam suatu daerah ataupun pulau merupakan pembunuhan secara perlahan terhadap generasi sekarang dan yang akan datang dari daerah atau pulau itu karena kekayaan alam itu akan diboyong habis-habisan oleh para pengusaha dan penguasa untuk kepentingan pribadi.
"Di mana-mana orang mengeluh tentang global warming, bencana alam dll. Ini semua karena kondisi alam yang tidak stabil akibat ulah manusia merusak lingkungan alamnya atau dirusak oleh yang lain. Di seluruh dunia orang serius omong tentang climate change atau perubahan iklim karena alam yang sudah tidak bersahabat lagi sementara kita masih membiarkan alam kita diobrak-abrik yang sebenarnya membunuh kita secara halus" ungkap Pater Yakobus.
Lain halnya dengan pandangan Pemda Belu. Pemda tidak bisa melarang masyarakat menambang mangaan.
"Bidang pertambangan, soal penggalian mangaan adalah persoalan yang berat bagi kami karena kami tidak bisa melarang untuk berhenti gali mangaan sebab di satu sisi masyarakat butuh uang" ujar Wakil Bupati Belu, Ludovikus Taolin, BA dalam dialog dengan peserta seminar tanpa menjelaskan dampak terhadap lingkungan dan kesehatan masyarakat.
Wakil Bupati Belu hanya mengatakan sedang dilakukan pemetaan ulang untuk penyesuaian proses IUP kepada Investor dan mengelak bahwa Pemda Belu mengalami kesulitan karena pengusaha mendapat ijin galian dari pemerintahan propinsi. Pada bagian lain, Wabup Ludovikus Taolin, BA mengatakan IUP yang diberikan kepada Investor adalah eksplorasi selama 3 tahun dan ada batasan hanya bisa 100.000 ton. Jadi setiap perusahaan hanya bisa eksplorasi 5000 ton.
Pernyataan ini berbeda dengan beberapa kepala desa yang ditemui. Pihak desa selama ini dalam posisi yang dilematis. Kepala Desa Wemeda, Hendrikus Bou misalnya, mengaku pemerintahan desa dalam kasus mangaan, maju kena mundur kena. Eksplorasi mangaan yang terjadi di desa, biasanya para investor datang membawa Kuasa Pertambangan (KP) dari Kabupaten.
"Mereka datang dengan surat resmi dari kabupaten. Jadi kami serba salah untuk terima atau tidak terima. Kalau kami tolak kami dianggap melawan pemerintah yang paling tinggi. Tapi pengalaman saya waktu persoalan muncul di tempat eksplorasi barulah kami dipanggil untuk menyelesaikan persoalan itu", ungkap Bou.
Disinyalir, di Kabupaten Belu saat ini terdapat puluhan bahkan lebih dari seratus pemegang ijin eksploitasi mangaan. Jembatan timbang untuk mengatur jumlah tonase mangaan yang keluar dari wilayah Kabupaten Belu sampai kini belum ada. Pemda Belu sendiri disinyalir tidak memiliki data akurat tentang berapa jumlah mangaan yang telah keluar dari Belu. Bahkan, hingga kini regulasi/perda yang mangatur tentang eksploitasi mangaan belum ada. Tak tahu berapa PAD yang didapat Pemerintah Kabupaten Belu sejak mangaan itu keluar dari Belu.
Alasan menggali mangaan karena masyarakat butuh uang tidak sertamerta diterima. Pater Yakobus Soro Loe, SVD mengingatkan, pengeksploitasian kekayaan alam dengan mengorbankan alam jelas merugikan manusia bahkan mematikan karena manusia tidak hanya hidup dari uang yang diperolehnya tetapi juga dari lingkungan alamnya dimana udara yang segar, air yang sejuk dan bersih hanya bisa diperoleh karena keutuhan alam lingkungan. Selain tiu, secara ekonomi, ini adalah satu tindakan pemiskinan manusia dan alam secara luar biasa dimana kekayan yang bisa dimanfaatkan untuk puluhan bahkan ribuan tahun dihabiskan hanya dalam waktu singkat dan oleh orang tertentu saja karena monopoli.
"Secara sosial ini adalah satu tindakan ketidakadilan karena pengeksploitasian itu hanya akan mendukung orang kaya menjadi bertambah kaya dan yang miskin tetap bertambah miskin walau marmer dan mangan menghasilkan sedikit uang untuk mereka yang miskin dari upaya pengeksploitasian itu. Secara politis sebuah daerah ataupun pulau dimiskinkan supaya dia tetap memiliki ketergantungan yang permanen pada daerah lain atau orang lain yang sudah kaya-raya. Secara manusiawi, ini adalah tindakan tidak manusiawi karena keinginan untuk hidup sendiri tanpa solider dengan yang miskin", jelas Peter Yakobus.
Boleh jadi. Heman J. Seran, menggambarkan planet bumi oleh para ekolog sudah berada dalam ambang kehancuran akibat ulah manusia yang merusak alam dengan membabat hutan dan mengambil batu-batuan dan minyak dalam perut bumi. Hutan-hutan adat dan segala symbol budaya hilang karena tambang dan pembabatan yang tak terkendali.
"Mereka adalah manusia-manusia serakah yg hedonistis-kapitalis. Mereka adalah calo-calo yg bekerja mati-matian untuk memperkaya kaun kapitalis dan pengusaha multi nasional. Orang Timor sendiri ikut-ikutan melakukan tindakan bunuh diri (suicide) dan pemusnahan manusia (genocide) dengan menghabiskan kekayaan alamnya karena janji-janji yang menggiurkan dan iming-iming harga. Lha!
Harga di pasaran internasional jauh dari harga beli di masyarakat. Harga mangaan yang berkualitas baik 60% mencapai 8-14 dolar/ Kg atau Rp. 9.064/ Kg
Pada masyarakat Belu dan Timor secara keseluruhan hingga saat ini, masyarakat hanya mendapatkan Rp. 1.300/ Kg jauh dari harga pasar internasional. Harga beli dari masyarakat pun diakui tidak diatur oleh pemerintah setempat.
"Soal harga mangaan dari awal pemerintah tidak menentukan harga standar dengan maksud agar ada persaingan harga sehingga masyarakat bebas menjual kepada perusahaan dengan harga yang menguntungkan. Harga mangaan saat ini sudah mencapai Rp.2300/kg di masyarakat", ungkap Ludovikus Taloin.
Nampaknya urusan mangaan berjalan tanpa pengendalian bukan saja soal harga tetapi aturan operasional. Aturan berupa Perda belum dibuat.
"Kita harus siap dengan aturan yang berpihak kepada masyarakat. Pemerintah harus buat perda operasional soal pengelolaan mangaan dan perda Tenaga Kerja. Biaya dampak harus ditanggung perusahaan. Usul kepada pemerintah untuk menetapkan retribusi mangaan Rp.2000/kg untuk pemerintah daerah guna meningkatkan PAD. Buat pemetaan awal untuk biaya rehabilitasi dan pemerintah harus mendapat seperempat harga dari biaya retribusi. Buat kuota jumlah yang harus dikelola oleh perusahaan. Buat operational plan dan operational budget, tukas Kresnayana menyarankan.
Kita berharap generasi Belu yang saat ini sedang sekolah ataupun belum punya harapan akan kekayaan Belu kelak. Iya toh !!! war (laporan; Remi, Denis, Agus, yansen, berbagai sumber) -

Tidak ada komentar: